Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Tuesday, November 20, 2007

UU 20 Tahun 2001

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :
a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak
hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara
luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan
yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa;

b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman
penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas
tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan huruf b, perlu membentuk Undang-undang tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar
1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3209);
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3851);
4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874);


Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI.

Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai
berikut:

1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga
rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal
angka 1 Undang-undang ini.

2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan
unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undangundang
Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili; atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan
maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili.

(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).

Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,
atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan
bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan
negara dalam keadaan perang;

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang
yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil
atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut.

Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftardaftar
yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00
(tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya; atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut; atau

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut.

Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau
yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut
ada hubungan dengan jabatannya.

Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili;

d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili;

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang;

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan,
telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya
bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan;
atau

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun
tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal
12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi
yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).

Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan
ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan
wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau
milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undangundang
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi
Pasal 26 A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26 A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat
diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,
angka, atau perforasi yang memiliki makna.

5. Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal
37 A dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat (2)
dengan penyempurnaan pada ayat (2) frasa yang berbunyi
"keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
baginya" diubah menjadi "pembuktian tersebut digunakan oleh

pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti", sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 adalah sebagai berikut:

Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut
dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti.
b. Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) dengan penyempurnaan kata "dapat" pada ayat (4) dihapus
dan penunjukan ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (5) dihapus, serta ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5) masing-masing berubah menjadi ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 A adalah
sebagai berikut:

Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat
bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5
sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut
umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
6. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni
Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi
sebagai berikut :

Pasal 38 A
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan
pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pasal 38 B
(1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib
membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum
didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak
pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari
tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh
atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.
(3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan
tuntutannya pada perkara pokok.
(4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada
saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat
diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa
pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala
tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta
benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus
ditolak oleh hakim.

Pasal 38 C
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga
atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum
dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap
terpidana dan atau ahli warisnya.

7. Di antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai
Ketentuan Peralihan yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang
diletakkan di antara Pasal 43 dan Pasal 44 sehingga keseluruhannya
berbunyi sebagai berikut:


BAB VI A
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 43 A
(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana
penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan
ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan
Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal
7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi
yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang ini
diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum
pidana penjara bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari
Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2) Undang-undang ini.
8. Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni
Pasal 43 B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43 B
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210,
Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal
419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang
Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh
Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 Nopember 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSII.

I. UMUM
Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang
berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan Undangundang
tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan
Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan
hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.

Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara
sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara,
tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara
luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus
dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem
pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran,
dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu
diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah
yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain
diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga
diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
14
yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung
elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram,
teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam
secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat "premium remidium" dan
sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undangundang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak
melakukan tindak pidana korupsi.

Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang
gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang
diduga berasal dari salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal
16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini.
Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan
gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan
atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan
atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak
pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau
ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk
kuasanya untuk mewakili negara.

Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru
mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana
korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan
bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
Di samping itu, dalam Undang-undang ini dicantumkan Ketentuan
Peralihan. Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai
dengan asas umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

II. PASAL DEMI PASAL
15
Pasal I
Angka 1
Pasal 2 ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah
keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku
tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan
bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial
yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan
pengulangan tindak pidana korupsi.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyelenggara negara" dalam Pasal ini adalah
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undangundang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian
"penyelenggara negara" tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal
berikutnya dalam Undang-undang ini.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
16
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "advokat" adalah orang yang berprofesi memberi
jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf I
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 12 A
17
Cukup jelas
Pasal 12 B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau
tanpa sarana elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12 C
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 26 A
Huruf a
Yang dimaksud dengan "disimpan secara elektronik" misalnya data yang
disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM)
atau Write Once Read Many (WORM).
Yang dimaksud dengan "alat optik atau yang serupa dengan itu" dalam
ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data
interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.
Huruf b
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 37
Ayat (1)
Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian
terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan
hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang
18
berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination).
Ayat (2)
Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut
undang-undang (negatief wettelijk).
Pasal 37 A
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 38 A
Cukup jelas
Pasal 38 B
Ketentuan dalam Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang
dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga keras juga
berasal dari tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal
14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai
dengan Pasal 12 Undang-undang ini sebagai tindak pidana pokok.
Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda tersebut
dirampas untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan
prikemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa.
Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ialah
alasan logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa
dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti terdakwa bukan
pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut.

Pasal 38 C
Dasar pemikiran ketentuan dalam Pasal ini adalah untuk memenuhi rasa
keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga berasal dari
tindak pidana korupsi.
Harta benda tersebut diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dalam hal tersebut, negara memiliki hak untuk
melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya
terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan
memperoleh kekuatan tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada

Undang-undang sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau setelah
berlakunya Undang-undang tersebut.
Untuk melakukan gugatan tersebut negara dapat menunjuk kuasanya
untuk mewakili negara.
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4150

Friday, November 16, 2007

Heroes of Banten

MASA AWAL

Perjalanan BCW (Banten Corruption Watch) ketika didirikan tidak terlepas dari peran kawan-kawan dalam proses pembelanjaran dimasa awal, Nikita, Eka Satialaksana,Yulis Martawena, Mas rori, M. sauki, Aryad, M. Latif, melalui diskusi dan aksi. Hampir setiap minggu sekali kami mengadakan diskusi didaerah kemang dan Masjid Nawawi Al-Banteni di Untirta. Kami khawatir dimasa awal perjalanan Propinsi Banten akan banyak diguncang oleh kasus korupsi, sehingga pada tanggal 5 Oktober BCW didirikan sebagai antisipasi dan proaktif terhadap tindakan tersebut.

Diskusi intensif berakhir pada tahun 2003, tetapi kegiatan aksi demonstrasi berlangsung sangat intensif dan berani. Sebelumnya dimasa awal pada tahun 2000 mengungkap kasus Situ Cipondoh Tangerang melalui statement disurat kabar (data diberikan pada Kejati pada tahun 2005 secara tertutup berikut data dugaan kasus jalan lingkar selatan, dsb. bersama saksi pelapor sdr. dr. Nikmatullah, Bob Sulaeman, didampingi saya dan divisi investigasi BCW Adityawarman)

Pada tahun 2000 kasus dugaan kebocoran JPS dan kredit macet 174 milyar sempat kami sikapi. Tahun 2001 dengan hanya lima orang (eka satia laksana, mas rori, arsyad, M. Latif) aksi unjuk rasa pertama BCW mengeluarkan MANIFESTO ANTI KORUPSI, Hukuman Mati bagi koruptor kakap dan dugaan kasus pembelian paket proyek. Berbarengan masa itu aksi mahasiswa dan lSM semakin mulai tumbuh menolak Pilkada Banten berakhir anarkis, para mahasiswa berhamburan lari dikejar golok yang dibungkus koran.


Pada tahun 2002 paket pembelian kapal bekas sebesar 1 milyard lebih mulai tercium bersama rencana pembebasan kasus Tanah Mapolda dan Karang Sari 5 milyard (nikita). Statement mengenai kasus kapal bekas dan kasus lainnya berkibar diudara pada tahun 2003-2005 melalui Radio Dimensi FM. Pada tahun 2002 terjadi kerusuhan besar setelah terjadi kebakaran hebat sebelumnya (diduga dibakar) yang melibatkan ribuan rakyat Serang, terutama kaum pedagang pribumi menolak pembebasan Pasar Rawu dan melawan kekuasaan H. Chasan Sochib yang mulai menancapkan taringnya. Keributan akhirnya dapat ditengahi oleh Taufik Nuriman yang ketika itu mulai didaulat seluruh elemen.

Gejolak mahasiswa tahun 2003 terutama dimotori oleh elemen mahasiswa Untirta BEM Untirta dan FKM Untirta, SATMA PP dsb. menolak hasil LPJ Gubernur Banten. Terjadi keributan besar dengan para Pendekar Banten dan terjadi aksi pemukulan.

Pada tahun yang sama para elit dan tokoh organisasi diantaranya; H. Embay Mulya Syarief, Taufik Nuriman, dsb menyelenggarakan Banten Outlook (M3B)di gedung DPRD. Dialog Publik yang digelar telah mengundang rakyat untuk berkomentar terhadap jalannya roda pembangunan di Banten.Istilah Gubernur Jendral yang terkenal bagi Chasan Sochib muncul pada pertemuan tersebut oleh seorang pemuda bernama Robi mahasiswa Fakultas Hukum Untirta.

Dari tahun 1998 reformasi awal hingga tahun 2004 konflik tajam antara rakyat, mahasiswa dengan Pendekar Banten berakhir dijalanan. Hal ini disebabkan gerakan mahasiswa dimana-mana mulai berani turun kejalan tak terbendung dan reposisi dari pihak kepolisian sendiri yang mulai tegas tidak lagi menggunakan polisi sipil bersenjata golok sebagai mitra.


MASA TENGAH
Pertikaian politik dan hukum paling tajam antara rakyat dan penguasa tercatat dalam sejarah selain Chasan Sochib, yaitu dengan legislatif pada tahun 2004 kasus dana perumahan dan tunjangan fasilitas 14 milyard. Delik dakwaan yang dikenakan salahsatunya adalah PP.110.(sayangnya sudah dicabut)

Arus gerakan sosial terbangun sangat tajam dan keras dimasa itu, hampir seluruh elemen berkomentar dan menyatakan sikap. Disela tahun yang sama Joko Munandar menghentikan pembangunan gedung DPRD dengan alasan tidak tepat waktu. Sebelumnya Muslim Jamaluddin (alm) atas desakan 6 organisasi kemahasiswaan Banten menandatangani pembatasan nilai proyek dari 110 milyar menjadi 62,5 milyard.Tetapi akhirnya proyek dilanjutkan dan nilainya bertambah menjadi 90,5 M.Indikasi korupsi yang muncul dipermukaan tersebut adalah denda sanksi keterlambatan 3,12 milyard dan jaminan pelaksanaan 3,12 m (melanggar kepress 80/2003 pasal 35 ayat 3). Protespun akhirnya tetap berlanjut hingga akhirnya koalisi LSM pada waktu itu mencoba melakukan pressure.

Sepanjang tahun 2004-2006, banyak sekali aksi unjukrasa yang dimotori oleh berbagai organ kemahasiswaan. Seperti diantaranya FAM Untirta, FKM Untirta, BEM Untirta, UMC, KAMMI-Banten dsb. Tema aksipun beraneka ragam, tetapi umumnya masalah kasus korupsi dan penegakan hukum merupakan tema sentral yang paling dominan.

Banyak yang sudah kami (Pers, LSM dan mahasiswa) lakukan, baik tindak pidana korupsi besar bernuansa politis maupun yang tidak berkaitan.Bahkan kebijakan publik yang dirasakan lebih bersifat penghamburan anggaran (lihat label).


EPILOG BELUM BERAKHIR

Kasus-kasus korupsi di Banten belum berakhir hingga detik ini, banyak yang belum terungkap dan membutuhkan penegakan hukum. Optimisme kembalinya peran negara melalui BPK RI, Kejati, Polda dan DPRD diharapkan berjalan optimal.

Masalah kini semakin kompleks, bukan hanya pada persoalan korupsi, tetapi juga kebijakan publik dan manajemen birokrasi pemerintahan yang diindikasikan, hanya pemborosan dan penghamburan anggaran rakyat.

Tuesday, November 13, 2007

Anatomi APBD-P 2007

ISI PERUBAHAN APBD-PERUBAHAN 2007


Bantuan Sosial
Semula : 38.039.767.472.00
Berubah : 72.196.767.472.00
Selisih : 35.157.000.000,00

Belanja Pegawai
Semula : 198.483.975.436, 96
Berubah : 216.025.406.985, 26
Selisih : 17.541.431.548, 30


Belanja Bagi Hasil Kabupaten / Kota
Semula : 540.620.250.000,00
Berubah : 550.167.750.000,00
Selisih : 09.547.500.000.00


Belanja Bantuan Keuangan / Kab./ Kota
Semula : 260.150.000.000,00
Berubah : 201.650.000.000,00


Belanja Tak Terduga
Semula : 9.065.665.607,04
Berubah : 6.253.604.794,98
Selisih : 2.812.060.812,06

Belanja Bantuan Pilkada Tak Berubah
: 1.049.881.000,00


Koalisi Banten Sehat dan Cerdas
BCW+Front Pembela Rakyat Banten + Patiro+Kebijakan Publik+ AKB

Statement Bersama : Besok Menyusul (dokumennya hilang)
Intinya : Menolak APBD-P 2007

Menolak Pembangunan Rumah Sakit Tipe A (Tidak ada dalam RPJMD dan bukan prioritas utama lebih baik memperkuat rumah sakit di tiap kab/kota dan puskesmas.

Audit Dinas Kesra terutama bagi kebutuhan2 yang tidak perlu.

Menolak penambahan mobil dinas

Statemn lainnya : Data Dugaan Korupsi Alkes

Pemberhentian PNS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 1979
TENTANG
PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang sekarang berlaku, dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini, oleh sebab itu perlu ditinjau kembali dan disempurnakan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL .

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

a. pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil adalah pemberhentian yang mengakibatkan yang bersangkutan kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil;

b. pemberhentian dari jabatan negeri adalah pemberhentian yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak bekerja lagi pada suatu satuan organisasi Negara, tetapi masih tetap masih berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil;

c. hilang adalah suatu keadaan bahwa seseorang di luar kemauan dan kemampuannya tidak diketahui tempatnya berada dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau telah meninggal dunia;

d. batas usia pensiun adalah batas usia Pegawai Negeri Sipil harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.

BAB II
PEMBERHENTIAN

Bagian Pertama
Pemberhentian Atas Permintaan Sendiri

Pasal 2

(1) Pegawai Negeri Sipil yang meminta berhenti, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(2) Permintaan berhenti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat ditunda untuk paling lama 1 (satu) tahun, apabila ada kepentingan dinas yang mendesak.
(3) Permintaan berhenti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat ditolak apabila Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan masih terikat dalam keharusan bekerja pada Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Pemberhentian Karena Mencapai Batas Usia Pensiun

Pasal 3
(1) Pegawai Negeri Sipil yang telah mencapai batas usia pensiun, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(2) Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 56 (lima puluh enam) tahun.
Pasal 4

(1) Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dapat diperpanjang bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan tertentu.

(2) Perpanjangan batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah sampai dengan :
a. 65 (enam puluh lima tahun) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan :
1. Ahli Peneliti dan Peneliti yang ditugaskan secara penuh dibidang penelitian;
2. Guru Besar, Lektor Kepala, Lektor yang ditugaskan secara penuh pada perguruan tinggi;
3. Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden;
b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan :
1. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung;
2. Jaksa Agung;
3. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara;
4. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
5. Sekretaris Jenderal, Inspektorat Jenderal, Direktur Jenderal, dan Kepala Badan di Departemen;
6. Eselon I dalam jabatan strukturil yang tidak termasuk dalam angka 2, angka 3, dan angka 4;
7. Eselon II dalam jabatan strukturil;
8. Dokter yang ditugaskan secara penuh pada Lembaga Kedokter-an Negeri sesuai dengan profesinya;
9. Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Pengawas Seko-lah Lanjutan Tingkat Pertama;
10. Guru yang ditugaskan secara penuh pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;
11. Penilik Taman Kanak-kanak, Penilik Sekolah Dasar dan Penilik Pendidikan Agama;
12. Guru yang ditugaskan secara penuh pada Sekolah Dasar;
13. Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden;
c. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan :
1. Hakim pada Mahkamah Pelayaran;
2. Hakim pada Pengadilan Tinggi;
3. Hakim pada Pengadilan Negeri;
4. Hakim Agama pada Pengadilan Agama Tingkat banding;
5. Hakim Agama pada Pengadilan Agama;
6. Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden.

Pasal 5
Pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena mencapai batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, diberitahukan kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan 1 (satu) tahun sebelum ia mencapai batas usia pensiun tersebut.

Bagian Ketiga
Pemberhentian Karena Adanya
Penyederhanaan Organisasi

Pasal 6

Apabila ada penyederhanaan suatu satuan organisasi Negara yang mengakibatkan adanya kelebihan Pegawai Negeri Sipil,maka Pegawai Negeri Sipil yang kelebihan itu disalurkan kepada satuan organisasi lainnya.

Pasal 7

Apabila penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak mungkin dilaksanakan, maka Pegawai Negeri Sipil yang kelebihan itu diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau dari Jabatan Negeri dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Pemberhentian Karena Melakukan
Pelanggaran/Tindak Pidana/Penyelewengan

Pasal 8

Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena :

a. melanggar Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil,Sumpah/Janji Jabatan Negeri atau Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil; atau

b. dihukum penjara, berdasarkan keputusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena dengan sengaja melakukan suatu tindakan pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara setinggi-tingginya 4 (empat) tahun, atau diancam dengan pidana yang lebih berat.

Pasal 9

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena :

a. melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan; atau

b. melakukan suatu tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 sampai dengan Pasal 161 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 10

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila ternyata melakukan usaha atau kegiatan yang bertujuan mengubah Pancasila dan atau Undang-Undang Dasar 1945 atau terlibat dalam gerakan atau melakukan kegiatan yang menentang Negara dan atau Pemerintah.

Bagian Kelima
Pemberhentian Karena Tidak Cakap Jasmani atau Rohani
Pasal 11

Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat dengan mendapat hak- hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ber-laku apabila berdasarkan surat keterangan Team Penguji Kesehatan dinyatakan :

a. tidak dapat bekerja lagi dalam semua Jabatan Negeri karena kesehatanya; atau
b. menderita penyakit atau kelainan yang berbahaya bagi dirinya sendiri dan atau lingkungan kerjanya; atau
c. setelah berakhirnya cuti sakit, belum mampu bekerja kembali.

Bagian Keenam
Pemberhentian Karena Meninggalkan Tugas

Pasal 12

(1) Pegawai Negeri Sipil yang meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu 2 (dua) bulan terus menerus, dihentikan pembayaran gajinya mulai bulan ketiga.

(2) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dalam waktu kurang dari 6 (enam) bulan melaporkan diri kepada pimpinan intansinya, dapat :

a. ditugaskan kembali apabila ketidak hadirannya itu karena ada alasan-alasan yang dapat diterima; atau

b. diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, apabila ketidakhadirannya itu adalah karena kelalaian Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dan menurut pendapat pejabat yang berwenang akan mengganggu suasana kerja, jika ia tugaskkan kembali.
(3) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dalam waktu 6 (enam) bulan terus menerus meninggalkan tugasnya secara tidak sah, diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil

Bagian Ketujuh
Pemberhentian Karena Meninggal Dunia Atau Hilang

Pasal 13

Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 14

(1) Pegawai Negeri Sipil yang hilang, dianggap telah meninggal dunia pada akhir bulan ke 12 (dua belas ) sejak ia dinyatakan hilang.

(2) Pernyataan hilang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan surat keterangan atau berita acara dari pejabat yang berwajib.

(3) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),yang kemudian diketemukan kembali dan masih hidup,diangkat kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan gajinya dibayar penuh terhitung sejak dianggap meninggal dunia dengan memperhitungkan hak-hak kepegawaian yang telah diterima oleh keluarganya.

Bagian Kedelapan
Pemberhentian Karena Hal-hal Lain
Pasal 15

(1) Pegawai Negeri Sipil yang tidak melaporkan diri kembali kepada instansi induknya setelah habis menjalankan cuti diluar tanggungan Negara, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

(2) Pegawai Negeri Sipil yang melaporkan diri kepada instasnsi induknya setelah habis masa menjalankan cuti diluar tanggungan Negara,tetapi tidak dapat dipekerjakan kembali karena tidak ada lowongan, diberhentikan dengan hormat dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB III
HAK-HAK KEPEGAWAIAN

Bagian Pertama
Hak-hak Pegawai Negeri Sipil
Yang diberhentikan Dengan Hormat

Pasal 16

Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, diberikan hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 17

(1) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 11 huruf b dan huruf c,dan Pasal 15 ayat (2) :

a. diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun, apabila telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun dan memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;

b. diberhentikan dengan hormat dari jabatan Negeri dengan men-dapat uang tunggu, apabila belum memenuhi syarat-syarat usia dari masa kerja sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

(2) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 huruf a, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun :

a. tanpa terikat pada masa kerja pensiun, apabila oleh Team Penguji Kesehatan dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam semua Jabatan Negeri, karena kesehatannya yang disebabkan oleh dan karena ia menjalankan kewajiban jabatan;

b. jika telah memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun, apabila oleh Team Penguji Kesehatan dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam semua Jabatan Negeri, karena kesehatannya yang bukan disebabkan oleh dan karena ia menjalankan kewajiban jabatan.

Pasal 18
Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena mencapai batas usia pensiun, berhak atas pensiun apa bila ia memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun.


Bagian Kedua
Uang Tunggu

Pasal 19
(1) uang tunggu diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diper-panjang tiap-tiap kali paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Pemberian uang tunggu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh lebih dari 5 (lima ) tahun.
Pasal 20
(1) Besarnya uang tunggu adalah :
a. 80% (delapan puluh persen) dari gaji pokok, untuk tahun per-tama;
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari gaji pokok untuk tahun selanjutnya.

(2) Uang tunggu diberikan mulai bulan berikutnya, dari bulan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dari Jabatan Negeri.

Pasal 21
Kepada Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu, diberikan kenaikan gaji berkala, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, dan tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 22
Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu, diwajibkan :

a. melaporkan diri kepada pejabat yang berwenang, setiap kali selambat-lambatnya sebulan sebelum berakhirnya pemberian uang tunggu;
b. Senantiasa bersedia diangkat kembali pada suatu jabatan Negeri;
c. Meminta izin lebih dahulu kepada pimpinan instansinya, apabila mau pindah alamat diluar wilayah pembayaran.

Pasal 23
(1) Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu,diangkat kembali dalam suatu Jabatan Negeri Apabila ada lowongan.

(2) Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu yang menolak untuk diangkat kembali dalam suatu Jabatan Negeri, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada akhir bulan yang bersangkutan menolak untuk diangkat kembali.

Pasal 24
Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu yang diangkat kembali dalam suatu jabatan Negeri,dicabut pemberian uang tunggunya terhitung sejak menerima penghasilan penuh kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 25
Pejabat yang berwenang memberikan dan mencabut uang tunggu, adalah pejabat yang berwenang mengangkat dalam dan memberhentikan dari jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 26
Pegawai Negeri Sipil yang akan mencapai usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, sebelum diberhentikan dengan hormat, seba-gai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun, dapat dibebaskan dari jabatannya untuk paling lama 1 (satu) tahun dengan mendapat penghasil-an berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 27
(1) Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan pemberhentian sementara, pada saat ia mencapai batas usia pensiun, dihentikan pembayaran gajinya.

(2) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ternyata tidak bersalah berdasarkan keputusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terhitung sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun.

(3) Pegawai Negeri Sipil Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang dipidana penjara atau kurungan berdasarkan Keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, apabila diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terhitung sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun.

(4) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil terhitung sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), berlaku bagi Pe-gawai Negeri Sipil yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena dipidana penjara berdasarkan keputus-an pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

Pasal 28
Pegawai Negeri Sipil yang diangkat menjadi Pejabat Negara dan di bebas-kan dari jabatan organiknya, pada saat ia mencapai batas usia 56 (lima puluh enam) tahun diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 29
Setiap pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, berlaku terhitung sejak akhir bulan pemberhentian yang bersangkutan.

Pasal 30
Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah mencapai batas usia 56 (ima puluh enam) tahun atau lebih, tetapi belum dikeluarkan surat keputusan pemberhentiaannya sebagai Pegawai Negeri Sipil dan tidak dibebaskan dari jabatannya, maka ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku bagi mereka.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam peraturan Pemerintah ini,diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 32
Ketentuan-ketentuan teknis pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Pasal 33
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tidak berlaku lagi :

a. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1951 tentang peraturan yang Mengatur Penghasilan Pegawai Negeri Warga Negara Yang Tidak Atas Kemauan Sendiri Diberhentikan Dengan Hormat Dari Pekerjaannya (Lembaran Negara Tahun 195l Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 93);
b. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun l958 tentang Peremajaan Alat-Alat Negara (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1686);
c. Peraturan Pemerintah Nomor 239 Tahun l961 tentang Pemberian Penghasilan Kepada Pegawai-pegawai Negeri yang berhubung dengan “ Retooling “ Diberhentikan dengan hormat dari Jabatannya Jabatan Negeri (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 305,Tambahan Lembaran Negara Nomor 2364);
d. Segala peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 34
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 September 1979
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
S O E H A R T O

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 September l979.
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
SUDHARMONO,SH.



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1979 NOMOR 47

P E N J E L A S A N
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 1979
TENTANG
PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

UMUM

Ketentuan-ketentuan mengenai pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang seka-rang berlaku, diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan materinyapun ada yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini, oleh sebab itu perlu disederhana-kan dan disempurnakan.
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur berbagai ketentuan tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan jiwa Undang-undang Nomor 8 Tahun l974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka syarat-syarat dan cara-cara pemberhentian Pegawai Negeri Sipil menjadi lebih jelas dan seragam,sehingga memudah-kan pelaksanaan tugas para pejabat yang berwenang.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Pada prinsipnya Pegawai Negeri Sipil yang meminta berhenti sebagai Pegawai Negeri Sipil,diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Ayat (2)
Penundaan atas permintaan berhenti dari seorang Pegawai Negeri Sipil, hanyalah didasarkan semata-mata untuk kepentingan dinas yang mendesak, umpamanya dengan berhentinya Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan sangat mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas. Permintaan berhenti yang dapat ditunda untuk paling lama 1 (satu) tahun, antara lain adalah permintaan berhenti dari Pegawai Negeri Sipil yang sedang melaksanakan tugas yang penting. Penundaan ini dilakukan untuk paling lama 1 (satu) tahun, sehingga dengan demikian pimpinan intansi yang bersangkutan dapat mempersiapkan penggantinya.
Ayat (3)
Permintaan berhenti yang dapat ditolak,antara lain adalah permintaan berhenti dari seorang Pegawai Negeri Sipil yang sedang menjalankan ikatan dinas, wajib militer, dan lain-lain yang serupa dengan itu.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ditinjau dari sudut fisik, pada umumnya usia 56 (lima puluh enam) tahun adalah merupakan batas usia seorang Pegawai Negeri Sipil mampu melaksanakan tugasnya secara berdayaguna dan berhasilguna
Pasal 4
Ayat (1)
Bagi jabatan-jabatan tertentu, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang memiliki keahlihan dan pengalaman yang matang. Pegawai Negeri Sipil yang demikian pada umumnya sangat terbatas jumlahnya, dan sebagian terdiri dari mereka yang telah berusia 56 (lima puluh enam) tahun atau lebih. Berhubung dengan itu maka untuk kelancaran pelaksanaan tugas, batas usia pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan tertentu itu dapat diperpanjang dengan memperhatikan kesehatannya.
Ayat (2)
Pegawai Negeri Sipil yang tidak lagi memangku jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dan tidak ada rencana untuk diangkat lagi dalam jabatan yang sama atau jabatan yang lebih tinggi, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 5
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, dilakukan secara tertulis oleh pimpinan instansi dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan untuk semua golongan. Jangka waktu 1 (satu) tahun itu dipandang cukup bagi Pegawai Negeri Sipil yang ber-sangkutan untuk menyelesaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya. Dalam waktu1(satu) tahun itu, pimpinan instansi yang bersangkutan harus sudah me-nyelesaikan segala sesuatu yang menyangkut tata usaha kepegawaian, sehingga Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dapat menerima hak-haknya tepat pada waktunya.
Pasal 6
Organisasi bukan tujuan, tetapi organisasi adalah alat dalam melaksanakan tugas pokok, oleh sebab itu susunan suatu satuan organisasi harus selalu disesuaikan dengan perkembangan tugas pokok, sehingga dengan demikian dapat dicapai dayaguna dan hasilguna yang sebesar-besarnya.
Perubahan satuan organisasi Negara adakalanya mengakibatkan kelebihan Pegawai Negeri Sipil. Apabila terjadi hal yang demikian,maka Pegawai Negeri Sipil yang lebih itu disalurkan pada satuan organisasi Negara yang lainnya.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Pemberhentian pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, dapat dilakukan dengan hormat atau tidak dengan hormat, satu dan lain hal tergantung pada pertimbangan pejabat yang berwenang atas berat atau ringannya perbuatan yang dilakukan dan besar atau kecilnya akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu :
a. Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil,Sumpah/Janji Jabatan Negeri, dan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil wajib ditaati oleh setiap Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil yang telah ternyata melanggar sumpah/janji atau melanggar Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang berat dan menurut pertimbangan atasan yang berwenang tidak dapat diperbaiki lagi, dapat diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
b. Pada dasarnya, tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau diancam dengan pidana yang lebih berat adalah merupakan tindak pidana kejahatan yang berat. Meskipun maksimum ancaman pidana terhadap suatu tindak pidana yang telah yang ditetapkan, namun pidana yang dijatuhkan/diputuskan oleh Hakim terhadap jenis tindak pidana itu dapat berbeda-beda sehubungan dengan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan dan atau besar kecilnya akibat yang ditimbulkannya.
Berhubung dengan itu, maka dalam mempertimbangkan apakah Pegawai Negeri sipil yang telah melakukan tindak pidana kejahatan itu akan diberhentikan atau tidak, atau apakah akan diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat, haruslah diper-timbangkan faktor-faktor yang mendorong Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan melakukan tindak pidana kejahatan itu, serta harus pula dipertimbangkan berat ringannya keputusan pengadilan yang dijatuhkan.
Pasal 9
Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi pidana penjara, atau kurungan, berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan sesuatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, harus diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Ketentuan ini tidak berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil yang hanya dijatuhi pidana percobaan.
Huruf a
Pada dasarnya jabatan yang diberikan kepada seorang Pegawai Negeri Sipil adalah merupakan kepercayaan dari Negara yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Apabila seorang Pegawai Negeri Sipil dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau pekerjaannya, maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan harus diberhentikan tidak dengan hormat karena telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Tindak pidana kejahatan jabatan yang dimaksud, antara lain adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4l3 sampai dengan Pasal 436 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Huruf b
Tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 161 KUHP,adalah tindak pidana kejahatan yang berat, karena tindak pidana kejahatan itu, adalah tindak pidana kejahatan terhadap keamanan Negara, Kejahatan yang melanggar martabat Presiden dan Wakil Presiden, kejahatan terhadap Negara dan Kepala Negara/Wakil Kepala Negara sahabat, kejahatan mengenai perlakuan kewajiban Negara, hak-hak Negara, dan kejahatan terhadap ketertiban umum.
Berhubung dengan itu, maka Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana tersebut harus diberhentikan tidak dengan hormat.
Pasal 10
Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang ternyata telah melakukan usaha atau kegiatan yang bertujuan mengubah Pancasila dan atau Undang-undang Dasar l945, atau terlibat dalam gerakan atau melakukan kegiatan yang menentang Negara dan atau Pemerintah sudah menyalahi sumpahnya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Oleh karena itu Pegawai Negeri Sipil yang demikian harus diberhentikan tidak dengan hormat.
Usaha atau kegiatan mana yang merupakan usaha atau kegiatan yang bertujuan mengubah Pancasila dan atau Undang-Undang Dasar l945, serta kegiatan atau gerakan mana yang merupakan kegiatan atau gerakan yang menentang Negera dan atau Pemerintah, diputuskan oleh Presiden.
Pasal 11
Huruf a
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam huruf ini,adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah dinyatakan dengan surat keterangan Team Penguji kesehatan bahwa keadaan kesehatan jasmani dan atau rohani yang bersangkutan sudah sedemikian rupa, sehingga tidak dapat bekerja lagi dalam semua jabatan Negeri.
Huruf b
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam huruf ini, adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah dinyatakan dengan surat keterangan Team Penguji Kesehatan bahwa yang bersangkutan menderita penyakit atau kelainan yang demikian rupa. sehingga apabila ia dipekerjakan terus dapat membahayakan dirinya sendiri atau orang lain, umpamanya seorang Pegawai Negeri Sipil yang menderita penyakit jiwa yang berbahaya.
Huruf c
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam huruf ini, adalah Pegawai Negeri Sipil, yang setelah berakhirnya cuti sakit belum mampu bekerja kembali, yang dinyatakan dengan surat keterangan Team Penguji Kesehatan.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan meninggalkan tugas secara tidak sah adalah meninggalkan tugas tanpa izin dari pejabat yang berwenang memberikan cuti.
Ayat (2)
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, dapat ditugaskan kembali atau dapat pula diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Huruf a
Apabila alasan-alasan meninggalkan tugas secara tidak sah itu dapat diterima oleh pejabat yang berwenang, maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dapat ditugaskan kembali setelah lebih dahulu dijatuhi hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b
Apabila alasan-alasan meninggalkan tugas secara tidak sah itu tidak dapat diterima oleh pejabat yang berwenang, atau apabila menurut pendapat pejabat yang berwenang akan mungkin mengganggu suasana atau disiplin kerja apabila Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan ditugaskan kembali maka Pegawai Negeri Sipil tersebut diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil mulai pada bulan dihentikan pembayaran gajinya.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 13
Untuk kelengkapan tata usaha kepegawaian, maka pimpinan instansi yang bersangkutan membuat surat keterangan meninggal dunia.
Pasal 14
Ayat (1)
Pegawai Negeri Sipil yang hilang selama 12 (dua belas) bulan, dianggap sebagai Pegawai Negeri Sipil yang masih tetap bekerja, oleh sebab itu gaji dan penghasilan lainnya yang berhak diterimanya diterimakan kepada keluarganya. Yaitu isteri, suami, atau anak yang sah. Apabila setelah jangka waktu l2 (dua belas) bulan Pegawai Negeri Sipil yang hilang itu belum juga diketemukan, maka ia dianggap telah meninggal dunia pada akhir bulan kedua belas dan kepada keluarganya diberikan uang duka wafat atau uang duka tewas dan hak-hak kepegawaian lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Hak-hak kepegawaian yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, tidak termasuk uang duka wafat atau uang duka tewas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan intansi induk, adalah Departemen, Kejaksaan Agung, Kesekre-tariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Daerah Otonom, dan instansi lain yang ditentukan oleh Presiden.
Ayat (2)
Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, dapat berupa pemberhentian dengan hormat Pegawai Negeri Sipil atau pemberhentian dengan hormat dari Jabatan Negeri. Selanjutnya lihat penjelasan Pasal l7.

Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Apabila pada waktu berakhirnya masa pemberian uang tunggu, Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun dan telah memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun, maka ia diber-hentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun.
Apabila pada waktu berakhirnya masa pemberian uang tunggu, Pegawai Negeri Sipil tersebut telah memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun, tetapi belum mencapai usia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pemberian pensiunnya ditetapkan pada saat ia mencapai usia 50 (lima puluh) tahun.
Apabila pada waktu berakhirnya masa pemberian uang tunggu, pegawai Negeri Sipil tersebut belum memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil tanpa hak pensiun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, pemberian uang tunggu setiap kali ditetapkan untuk paling lama 1 (satu) tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Penerima uang tunggu masih tetap berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil,oleh sebab itu kepadanya diberikan kenaikan gaji berkala, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, dan tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penilaian pelaksanaan pekerjaan yang digunakan sebagai dasar untuk pemberian kenaikan gaji berkala, adalah penilaian pelaksanaan pekerjaan terakhir sebelum Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dari Jabatan Negeri.
Gaji Pokok terakhir setelah mendapat kenaikan gaji berkala digunakan sebagai dasar pemberian uang tunggu.
Pasal 22
Huruf a
Pelaporan diri sebagaimana dimaksud dalam huruf ini, dilakukan melalui saluran hierarki.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, dilakukan dengan memperhatikan keahlian,pengalaman , dan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup Jelas
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini,adalah semua penghasilan sebagai Pegawai Negeri Sipil, kecuali tunjangan jabatan.

Pasal 27

Ayat (1)

Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan pemberhentian sementara, adalah karena dituduh melakukan sesuatu tidak pidana, oleh sebab itu belum dapat dipastikan apakah ia bersalah atau tidak.

Selama Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dikenakan pemberhentian sementara, ia menerima bahagian gajinya. Apabila pada waktu sedang menjalani pemberhentian sementara ia mencapai batas usia pensiun, maka pembayaran bahagian gajinya dihentikan, sehingga dengan demikian dapat dihindarkan kemungkinan kerugian terhadap keuangan Negara.

Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil dilaksanakan setelah ada keputusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28 sampai dengan Pasal 34
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3149






Copyright 2004 © Badan Kepegawaian Negara. All rights reserved.

EVALUASI DAN MONITORING

EVALUASI DAN MONITORING
PROGRAM PASCA SARJANA SOSIOLOGI-MPS UI JAKARTA

A. Pentingnya Evaluasi
Pentingnya Evaluasi
• Akuntabilitas Program/Proyek
• Pengambilan Keputusan

Pertanggungjawaban program digunakan jika disponspori oleh pihak lain.Pengambilan keputusan digunakan untuk pengendalian kegiatan jika program/proyek masih berlangsung atau untuk penyempurnaan siklus berikutnya jika proyek/program tersebut berulang sebagai sistim.

Evaluasi proyek/proyek menjadi penting karena :
• Dapat memperlihatkan keberhasilan atau kegagalan proyek
• Dapat menunjukan dimana dan bagaimana perlu dilakukan perubahan-perubahan
• Dapat memperlihatkan bagaimana kekuatan dan potensi dapat ditingkatkan
• Dapat memberikan informasi dan meningkatkan keterampilan untuk membuat perencanaan dan pengambilan keputusan
• Dapat membantu untuk dapat melihat konteks dengan lebih luas serta implikasinya terhadap kinerja pembangunan

B. Pengertan Evaluasi
Evaluasi diartikan sebagai pemberian nilai terhadap apa yang sedang dikerjakan
Pengertian lainnya yaitu :

Evaluasi Kuantitatif/ Kualitatif = Masukan - Proses - Hasil - Dampak Pelaksanaan Program/Proyek.

Evaluasi merupakan kegiatan untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan dan pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan dalam pedoman penyelenggaraan.

Proses mengumpulkan, menganalisa, dan memanfaatkan informasi untuk perencanaan dan perbaikan program,memenuhi tuntutan akuntabilitas dan membantu pengambilan keputusan untuk penyempurnaan dimasa yang akan datang.

Permasalahan evaluasi yang dapat digunakan adalah :
• Program berhasil atau tidak
• Program A lebih baik dari program B
• Komponen program yang mana yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan

Evaluasi (dan Monitoring ) adalah bagian yang integral dalam Siklus Manajemen Proyek yang terdiri dari :
• Identifikasi dan analisa masalah
• Disain proyek
• Penyusunan Proposal
• Pelaksanaan
• Monitoring dan Evaluasi
• Laporan

C. Tujuan dan Manfaat Evaluasi
Tujuan Evaluasi dan Monitoring pada umumnya adalah untuk mendapatkan informasi dan menarik pelajaran dari pengalaman mengelola proyek pembangunan (input-proses-output) yang baru sebagian dijalankan atau sudah selesai dilaksanakan sebagai umpan balik bagi pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan pelaksanaan pemantauan pengendalian dan kajian ulang (revieuw)

D. Tipe dan Jenis Evaluasi
1. Evaluasi Formatif yaitu penilaian terhadap hasil-hasil yang telah dicapai selama proses kegiatan dilaksanakan.Waktu pelaksanaan dilaksanakan secara rutin (perbulan, triwulan, semester dan atau tahunan) sesuai dengan kebutuhan informasi hasil penilaian.

2. Evaluasi Sumatif yaitu penilaian hasil-hasil yang telah dicapai secara keseluruhan dari awal kegiatan sampai akhir program sesuai dengan jangka waktu program dilaksanakan. Untuk program yang memiliki jangka waktu 6 bulan, maka evaluasi sumatif dilaksanakan menjelang akhir bulan keenam. Untuk evaluasi yang menilai dampak program dapat dilaksnakan setelah program berakhir dan diperhitungkan dampaknya sudah terlihat.

Patokan pada waktu dilaksanakan evaluasi maka ada beberapa jenis yakni :

1. Penilaian Rutin yakni dilaksanakan secara teratur dan berkesinambungan sepanjang perjalanan proyek dan dilakukan oleh staf proyek dalam bentuk laporan perkembangan (program report/ monitoring)
2. Penilaian Berkala (periodical evaluation) yang dilakukan terhadap setiap bagian proyek sesudah bagian itu dilaksanakan
3. Penilaian Khusus (ad-hoc evaluation) yang dilakukan setelah setiap saat bila diperlukan
4. Penilaian Akhir (terminal evaluation) yang dilakukan setelah seluruh proyek selesai dilaksanakan. Hasil penilaian akhir mencerminkan pencapaian tujuan proyek.


E. Indikator Evaluasi
Untuk melakukan evaluasi dibutuhkan indikator (petunjuk /ukuran) yang menjadi tolak ukur tujuan evaluasi yang bersifat nyata dan dapat diukur / diobservasi.
Misal untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efisiensi pencapaian program JPS dengan mengetahui jumlah orang yang menerima bantuan dan berhasil mengembangkannya secara produktif. Dsb.

Indikator yang diperlukan mencakup komponen input, proses dan output.
F. Metode dan Perangkat Evaluasi

Lihat penjelasan monitoring

G. Pelaksana Evaluasi
1. Petugas dari dalam yaitu mereka yang secara langsung berurusan dengan pelaksanaan proyek/program. Kelebihannya tujuan yang akan dievaluasi diketahui dengan tepat sedangkan kelemahannya adalah unsur subyektifitas dapat mempengaruhi hasil evaluasi.

2. Petugas dari luar yaitu mereka yang berada diluar pelaksanaan kegiatan program seperti lembaga-lembaga penelitian. Konsultan PT. dsbnya. Kelebihannya dapat lebih obyektif dalam memberikan penilaian sedangkan kelemahannya belum tentu dapat memahami tujuan yang akan dievaluasi.


I. Langkah-Langkah Mendisain Sistim Monitoring dan Evaluasi

MAFIA PERADILAN

MAFIA PERADILAN DI INDONESIA

No Modus Cara
Menggelapkan Perkara
1. Menghentikan perkara tanpa alasan/cukup bukti. Seperti transaksi polisi dan pelaku narkoba yang terkenal dengan kode “68”
2. Rekayasa Berita Acara Pembuatan
3. Penggelapan Perkara oleh Jaksa maka timbulah SP3


Negosiasi Perkara
1. Mengulur waktu penyidikan, sedang tersangka ditahan
2. Proses penyidikan diperpanjang
3. Nego penentuan pasal dakwaan oleh jaksa pada tersangka
4. Pengalihan penahanan sebagai komoditi jaksa

Penentuan Majelis Hakim
1. Pemilihan kasus basah kering untuk Ketua Pengadilan
2. Penentuan majelis hakim yang bisa kerja sama
3. Penerbitan Surat Kuasa dibagian regestrasi

Penyesuaian Putusan
1. Permainan uang diJPU, panitera atau pengacara
2. Menunda putusan tanpa alasan jelas
3. Uang capek sebagai imbalan putusan menguntungkan

Penundaan Pelaksanaan Putusan
1. Uang pelicin melalui calo perkara, pelaksana perkara
2. Surat keterangan sakit dari dokter
Pungutan dalam LP 1. Uang pungutan sekali kunjung Rp.10.000- Rp.50.000,-
2. Cuti bagi tersangka Rp 500 ribu-1 juta
3. Proses asimilasi Rp 4 Juta-7 Juta

APBD-P 2006

Menyoal Perubahan APBD Banten 2006:
Dari Lembaga Penderma Hingga Tuan Tanah

Oleh: Nadya Syifana


BULAN Juni 2006, Provinsi Banten mencatat kejadian di luar kebiasaan, yaitu perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Banten 2006 yang mendahului laporan keterangan pertanggung jawaban (LKPJ) APBD 2005. LKPJ penggunaan anggaran 2005 itu hingga sekarang belum disampaikan ke DPRD Banten, selaku lembaga legislatif daerah.

Bisa dipastikan, persitiwa ini baru pertamakali terjadi sejak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dibentuk dengan Undang-undang (UU) No.23 tahun 2000. Biasanya, perubahaan anggaran atau disebut anggaran belanja tambahan (ABT) dilakukan setelah pertanggung jawaban penggunaan APBD tahun sebelumnya.

Ketika UU No.22/1999 tentang pemerintah daerah dikenal dengan nama UU Otonomi Daerah (Otda) masih diberlakukan, laporan pertanggung jawaban (LPJ) kepala daerah menduduki posisi penting. Pasalnya, DPRD diberi wewenang untuk menerima atau menolak LPJ itu yang bisa berakibat pada terbitnya rekomendasi memberhentikan masa tugas kepala daerah itu. Dengan demikian, kepala daerah berupaya sekuat tenaga untuk menyusun LPJ agar bisa diterima DPRD.

UU ini direvisi dengan UU No.32/2004 yang menyebutkan kepala daerah hanya menyampaikan LKPJ. DPRD tidak berwenang lagi menolak atau menerima, hanya memberikan penilaian. Sedangkan LPJ kepala daerah itu sendiri akhirnya kembali kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri (Depdagri), yang dimaknai sebagai kembalinya sistem sentralistik dalam pengelolaan pemerintahan di negeri ini.

Meski UU pemerintahan daerah itu direvisi, kelaziman urutan pengajuan anggaran tidak berubah. Sebab dalam LKPJ tercantum sisa lebih perhitungan anggaran (silpa) yang bisa digunakan untuk anggaran berikutnya. LKPJ ini, termasuk Silpa dibuatkan peraturan daerah (Perda), bermakna memiliki keabsahan hukum yang kuat. Sehingga penggunaan Silpa sebelum LKPJ yang menjadi dasar perda memang menimbulkan pertanyaan besar tentang dasar-dasar hukumnya.

Defisit dan Penambahan

Terlepas semua itu, perubahan APBD Banten 2006 mengandung logika yang saling bertentangan, membuat kebingungan dan kecurigaan di kalangan masyarakat. Di satu sisi, disebutkan perubahan anggaran disebabkan tidak tercapainya target pajak, penyesuaian atas kebijakan pemerintah pusat tentang pajak dan terjadinya penggeseran pos-pos anggaran. Namun saat bersamaan, Pemprov Banten mengajukan penambahan anggaran yang sebenarnya dinilai tidak perlu dilakukan.

Dari pemberitaan di media cetak lokal disebutkan besarnya defisit berkisar Rp 70,07 hingga Rp 80 miliar. Sayangnya, media cetak lokal itu tidak membedah lebih jauh soal defisit tersebut. Yang ada, sambutan pengantar nota perubahan itu dimuat secara utuh dalam rubrik sosialisasi dari Pemprov Banten yang sudah menjadi langganan media cetak lokal yang terbit di Kota Serang.

Yang menarik, situs www.bantenlink.com edisi 12/6 menyajikan bahasan soal perubahan APBD 2006 yang sumbernya berasal dari sambutan dan nota pengantar keuangan yang disampaikan eksekutif. Hasil analisis situs ini menyebutkan, angka defisit mencapai Rp 221,1 miliar, meskipun Pemprov Banten sudah melakukan pemangkasan anggaran dan menggunakan Silpa tahun 2005. Sebagai catatan, Silpa tahun 2005 yang menurut management letter Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp347,5 miliar ternyata hanya bisa digunakan Rp 64,5 miliar untuk menutupi defisit anggaran. Sisanya, Rp 283 miliar sudah dipakai untuk pos-pos yang tidak dirinci secara jelas selama tahun 2006.

Penyebab defisit APBD demikian besar adalah penambahan anggaran sebesar Rp … dan hilangnya pajak yang dinihilkan oleh pemerintah pusat Rp 116,4 miliar, selain berkurangnya target pendapatan dari pajak dan bagi hasil bea kendaraan bermotor (Lihat Tabel). Kedua pos ini menyebabkan pembengkakan defisit. Seandainya, penambahan anggaran itu dihilangkan, maka defisit APBD Banten diyakini semakin sedikit.

Masyarakat patut mencermati penambahan anggaran yang diajukan eksekutif, apakah pos-pos itu memiliki kegunaan yang tinggi untuk kepentingan masyarakat secara luas atau hanya menguntungkan sekelompok orang saja? Atau penambahan ini bermuatan politis, menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Banten 2006? Simaklah telaah beberapa pos penambahan anggaran di bawah ini.

Kerancuan pemikiran terjadi pada pengajuan tambahan anggaran untuk biaya putaran ke-2 Pilkada Banten 2006 sebesar Rp 10 miliar. Kerancuan terjadi karena pada pos yang sama anggaran Pilkada dipangkas dari Rp 80 miliar menjadi Rp 70 miliar atau dikurangi Rp 10 miliar. Logika dikurangi di pos sebelumnya, kemudian ditambah untuk putaran ke-2 ini membingungkan dan sulit dipahami oleh sebagian masyarakat.
Penambahan anggaran Biro Kesejahteraan Rakyat (Biro Kesra) Rp 5,7 miliar dengan alasan untuk memenuhi 5.800 proposal dari masyarakat yang masuk ke Pemprov Banten. Dalih ini menggamangkan masyarakat yang telah rela uangnya dipotong pajak dan retribusi untuk dikumpulkan menjadi anggaran pemerintah. Sebab sebelumnya, Biro Kesra memperoleh alokasi anggaran Rp 64,5 miliar, di antaranya Rp 62,5 miliar untuk bantuan organisasi kemasyarakatan dan profesi.

Dengan dalih ini, tersirat dana di Biro Kesra telah habis dibagi-bagikan. Di luar itu, KONI diajukan tambahan Rp 16,2 miliar. Ironisnya, eksekutif juga mengajukan dana tambahan bagi acara pameran pembangunan Rp 1,6 miliar. Acara ini dinilai tidak memiliki signifikan bagi masyarakat Ini mengesankan Pemprov berupaya menjadi lembaga penderma, bukan lembaga yang memutarkan roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan secara efisien.

Bantuan ke Kabupaten Serang Rp 5 miliar di luar bantuan penguatan keuangan daerah Rp 20 miliar per kabupaten/kota menimbulkan pertanyaan. Menurut keterangan sejumlah pejabat di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serang, bantuan itu berkaitan dengan rehab Alun-alun Barat. Menurut tugas pokok dan fungsi, maka rehab alun-alun itu bukan tanggung jawab Pemprov Banten, tetapi Pemkab Serang. Mungkin dalihnya adalah Alun-alun Barat sering digunakan kegiatan pejabat Pemprov Banten. Tapi harus diingat, sebelumnya bantuan serupa juga dialirkan ke Pemkab Lebak dan Pandeglang.

Tuan Tanah

Yang menarik adalah diajukannya tambahan bagi belanja modal berupa pengadaan tanah calon pusat Pemprov Banten sebesar Rp 24,6 miliar. Sebelumnya, pos ini mencantumkan Rp 12,5 miliar untuk pembebasan lahan seluas 2,8 hektare . Hingga Mei 2006, tanah itu baru dibebaskan 1,9 hektare, berarti tersisa 0,9 hektare yang belum dibeli Pemprov Banten. Harga tanah di lokasi itu dibeli Rp 473.000 per m2. Dengan diajukannya kembali biaya pembebasan lahan tersirat dana itu telah habis terpakai.

Menurut pemberitaan di koran-koran lokal, rencana luas tanah Puspemprov Banten adalah 60 hektare. Sejak tahun 2002, dana yang dihabiskan telah mencapai Rp 62,5 miliar dan hanya mampu membebaskan 57,2 hektare. Jika sisa lahan ini mampu dikuasai, berarti biaya pembebasan lahan Puspemprov mencapai Rp 99,5 miliar untuk 60 hektare, atau Rp 1,65 miliar per hektare.

Jika ditelisik ke tahun-tahun anggaran sebelumnya, APBD Banten memang mencantumkan banyak pos belanja modal untuk tanah. Misalnya, Pemprov membelanjakan Rp 25,3 miliar untuk lahan 10 hektare yang kini digunakan sebagai Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Banten. Tanah yang lokasinya tidak jauh dari calon Puspemprov Banten dibeli dengan harga Rp 231.000 per m2.

Pembebasan tanah 10 hektare juga dilakukan untuk Sekolah Menegah Atas (SMA) Unggulan yang kini diberi nama SMA Cahaya Madani Banten Boarding School (CMBBS) di Kampung Kuranten, Kabupaten Pandeglang. Dalam pembebasannya, sempat mencuat persoalan adanya 2 surat penagihan pemberitahuan pajak terutang (SPPPT) yang mencantumkan 2 nilai jual objek pajak (NJOP) yang berbeda, meskipun tahun SPPPT itu sama, yaitu harga Rp 1.700/2 dan Rp 36.000 per m2. Tanah ini dibebaskan dengan harga Rp 36.000 per m2 atau total Rp 3,6 miliar.

Sedangkan pengadaan tanah untuk pos terpadu di Gerem yang berbuntut dengan dihukum penjara A Tsabit, mantan Kepala Biro Perlengkapan Pemprov Banten. Tanah yang berada di bukit ini dibeli dengan harga Rp 700.000 per m2. Mantan Kabiro Perlengkapan itu dihukum 1 tahun penjara karena terbukti melakukan mark up (penggelembungan) harga. Yang menyedihkan, tanah itu kini tidak jelas apakah digunakan posko terpadu atau tidak.

Nasib serupa menimpa Agus Kuspiandi, mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banten yang divonis 1 tahun penjara karena melakukan penggelembungan harga tanah di Karanghantu, 10 kilometer sebelah utara Kota Serang. Namun tanah yang merupakan bagian dari proyek perikanan senilai hampir Rp 3 miliar itu tidak jelas lagi penggunaannya. Ketidakjelasan juga menimpa tanah Karangsari yang dibebaskan dengan biaya berasal dari Pemprov Banten Rp 3,5 miliar. Entah, tanah itu milik Pemkab Pandeglang atau Pemprov Banten.

Sedangkan tanah 5 hektare yang digunakan Balai Benih Ikan Perairan (BBIP) di Sumur, Kabupaten Pandeglang juga belum tuntas kepemilikannya. Proyek senilai Rp 3,7 miliar pada APBD 2005, termasuk di dalamnya pembebasan tanah itu dipersoalkan warga. Pasalnya, tagihan pajak bumi dan bangunan (PBB) masih atas nama warga setempat.
Data pembelian tanah itu merupakan catatan yang pernah mencuat dalam pemberitaan di media cetak lokal maupun nasional. Tentunya, masih banyak data pembelian tanah yang belum terungkap. Entah sudah berapa puiluh hektare tanah yang dikuasai Pemprov Banten, sehingga menimbulkan kesan kuat lembaga ini seperti tuan tanah yang tengah mengumpulkan hartanya. (***)

Penulis adalah praktisi kehumasan
dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Tangerang

Analisis Defisit APBD Banten 2006 dari www.bantenlink.com

(Miliar Rupiah)
Pos Anggaran Target Awal Penyesuaian Selisih
Pajak
Pajak KB 374,532 374,532 0,000
Balik Nama KB 618,399 400,000 - 218,399
Pajak BBM 197,841 300,000 + 102,159
Pajak ABT 20,067 20,067 0,000

Bagi Hasil
Pajak KB 106,741 106,741 0,000
Balik Nama KB 176,243 114,000 - 62,243
Pajak BBM 128,547 199,500 + 70,953
Pajak ABT 13,344 13,344 0,000

Dana Perimbangan
PPh 194,000 98,100 - 95,900
Bagi Hasil PPh 116,400 0,000 - 116,400

PBB dan Tanah
PBB 62,000 68,740 + 6,740
BPHTB 41,000 67,300 + 26,300

Jasa Giro 13,000 14,180 + 1,180

Jumlah Pendapatan 2.062,114 1.776,504 - 285,610

Penambahan Anggaran Yang Diusulkan Plt Gubernur
Penyelenggaraan Pilkada Putaran II 10,000
Penambahan Coklit (P4B) 1,237
Lahan Infrastruktur Sarana Puspemprov 24,498
Gedung Puspemprov 26,640
Pameran Pembangunan 1,600
Penanganan Masalah Hukum 0,500
Bantuan Keuangan KONI 16,283
Bantuan Ke Kabupaten Serang 5,000
Bantuan Ormas & Profesi (Ada 5.800 Proposal) 5,700
Penambahan BAU SKPD, Korpri & CPNSD 13,285
Penambahan Belanja DPRD Banten 8,748
Total Penambahan Anggaran 113,491

Silpa 2005 Untuk Menutupi Defisit 64,580

Efisiensi Anggaran Pemprov 119,362

Defisit Pendapatan + Penambahan Anggaran - Silpa 2005 - Efisiensi Pemprov - 215,159 Miliar


Sumber Data: Sambutan dan Nota Pengantar Perubahan Keuangan Provinsi Banten

PP 09 /2003

PERATURAN PEMERINTAH NO 9 TA 2003

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2003
TENTANG WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN
PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan salah satu fungsi manajemen kepegawaian dan dalam upaya meningkatkan hubungan antara Pemerintah dengan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, serta untuk mendorong peranan Pegawai Negeri Sipil sebagai salah satu unsur perekat dan pemersatu bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dipandang perlu mengatur kembali ketentuan mengenai wewenang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara 3890);
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Kejaksaan Agung, Kesekretariatan Lembaga Kepresidenan, Kantor Menteri Negara Koordinator, Kantor Menteri Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Badan Narkotika Nasional, Kesekretariatan Lembaga lain yang dipimpin oleh Pejabat struktural eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Instansi Vertikal di Daerah Propinsi/ Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya.
2. Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota atau dipekerjakan di luar instansi induknya.
3. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat adalah Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Kepresidenan, Kepala Kepolisian Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara, Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional serta Pimpinan Kesekretariatan Lembaga lain yang dipimpin oleh pejabat struktural eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen.
4. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi adalah Gubernur.
5. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota.
6. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan adalah Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan tugas di luar instansi induknya yang gajinya dibebankan pada instansi yang menerima perbantuan.
8. Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat seseorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian.
9. Golongan ruang adalah golongan ruang gaji pokok sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang gaji Pegawai Negeri Sipil.
10. Jabatan struktural adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka memimpin suatu satuan organisasi negara.
11. Jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka menjalankan tugas pokok dan fungsi keahlian dan/atau keterampilan untuk mencapai tujuan organisasi.

BAB II
PENGANGKATAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
DAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

Pasal 2
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan :
a. pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya; dan
b. pengangkatan menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat bagi Calon Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya, kecuali yang tewas atau cacat karena dinas.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.
Pasal 3
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi atau Kabupaten/ Kota menetapkan :
a. pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah di lingkungannya;
b. pengangkatan menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah bagi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah di lingkungannya, kecuali yang tewas atau cacat karena dinas.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.
Pasal 4
(1) Kepala Badan Kepegawaian Negara menetapkan pengangkatan menjadi Pegawai Negeri Sipil bagi Calon Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah yang tewas atau cacat karena dinas.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mendelegasikan atau memberi kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.

BAB III
KENAIKAN PANGKAT
Pasal 5
(1) Presiden menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah untuk menjadi Pembina Utama Muda golongan ruang IV/c, Pembina Utama Madya golongan ruang IV/d, dan Pembina Utama golongan ruang IV/e setelah mendapat pertimbangan teknis dari Kepala Badan Kepegawaian Negara.
(2) Kenaikan pangkat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Presiden, oleh :
a. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi; dan
b. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota melalui Gubernur.
(3) Pengajuan kenaikan pangkat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tembusannya disampaikan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Pasal 6
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di lingkungannya untuk menjadi Juru Muda Tingkat I golongan ruang I/b sampai dengan Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.
Pasal 7
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di lingkungannya untuk menjadi Juru Muda Tingkat I golongan ruang I/b sampai dengan Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b.
(2) Gubernur menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota untuk menjadi Pembina golongan ruang IV/a dan Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b.
(3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendele-gasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.
Pasal 8
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di lingkungannya untuk menjadi Juru Muda Tingkat I golongan ruang I/b sampai dengan Penata Tingkat I golongan ruang III/d.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendele-gasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.
Pasal 9
Pejabat Pembina Kepegawaian dan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 dikecualikan dalam penetapan kenaikan pangkat anumerta dan kenaikan pangkat pengabdian.
Pasal 10
(1) Kepala Badan Kepegawaian Negara menetapkan kenaikan pangkat anumerta dan kenaikan pangkat pengabdian bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah untuk menjadi Juru Muda Tingkat I golongan ruang I/b sampai dengan Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.

BAB IV
PENGANGKATAN, PEMINDAHAN, DAN
PEMBERHENTIAN DALAM DAN DARI JABATAN
Pasal 11
Presiden menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional Jenjang Utama atau jabatan lain yang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentiannya menjadi wewenang Presiden, kecuali pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat struktural eselon I di lingkungan Pemerintah Daerah Propinsi.

Pasal 12
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain dilingkungannya untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon III ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

Pasal 13
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan :
a. pengangkatan Sekretaris Daerah Propinsi setelah mendapat persetujuan dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi;
b. pemberhentian Sekretaris Daerah Propinsi;
c. pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu di lingkungan Pemerintah Daerah Propinsi.
(2) Pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b, dilakukan setelah berkonsultasi secara tertulis dengan Menteri Dalam Negeri.

(3) Calon Sekretaris Daerah Propinsi yang akan dikonsultasikan untuk diangkat dalam jabatan Sekretaris Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, harus memenuhi syarat untuk diangkat dalam jabatan struktural.

(4) Konsultasi pengangkatan Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan sebelum Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi mengajukan permintaan persetujuan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(5) Konsultasi pengangkatan Sekretaris Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan secara tertulis dengan mengajukan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang calon dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.

(6) Hasil konsultasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (4) disampaikan secara tertulis oleh Menteri Dalam Negeri.
(7) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil di Propinsi dalam dan dari jabatan struktural eselon III ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

Pasal 14
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota menetapkan :
a. pengangkatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat persetujuan dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;
b. pemberhentian Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota;
c. pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon II di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
d. pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon III ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan jabatan struktural eselon II ke bawah di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah Kabupaten/ Kota dan pejabat struktural eselon II sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, dilakukan setelah berkonsultasi secara tertulis dengan Gubernur.

(3) Calon Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota yang akan dikonsultasikan untuk diangkat dalam jabatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, harus memenuhi syarat untuk diangkat dalam jabatan struktural.

(4) Konsultasi pengangkatan Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan sebelum Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota mengajukan permintaan persetujuan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

(5) Konsultasi pengangkatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dan pengangkatan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan secara tertulis dengan mengajukan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang calon dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.

(6) Hasil konsultasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (5) disampaikan secara tertulis oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi.

(7) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten/Kota dalam dan dari jabatan struktural eselon IV ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.
Pasal 15
Tata cara konsultasi pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota serta tata cara konsultasi pengangkatan dan pemberhentian pejabat struktural eselon II Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.

BAB V
PEMINDAHAN ANTAR INSTANSI

Pasal 16
(1) Kepala Badan Kepegawaian Negara menetapkan pemindahan :
a. Pegawai Negeri Sipil Pusat antar Departemen/Lembaga;
b. Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah antara Propinsi/Kabupaten/Kota dan Departemen/ Lembaga;
c. Pegawai Negeri Sipil Daerah antar Daerah Propinsi; dan
d. Pegawai Negeri Sipil Daerah antara Daerah Kabupaten/Kota dan Daerah Kabupaten/Kota Propinsi lainnya.
(2) Penetapan oleh Badan Kepegawaian Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan atas permintaan dan persetujuan dari instansi yang bersangkutan.
(3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain dilingkungannya.
Pasal 17
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan pemindahan :
a. Pegawai Negeri Sipil Daerah antar Kabupaten/Kota dalam satu Propinsi; dan
b. Pegawai Negeri Sipil Daerah antara Kabupaten/Kota dan Daerah Propinsi.
(2) Penetapan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilaksanakan atas permintaan dan persetujuan dari Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah yang bersangkutan.
(3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain dilingkungannya.

BAB VI
PEMBERHENTIAN SEMENTARA
DARI JABATAN NEGERI

Pasal 18
Presiden menetapkan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional Jenjang Utama atau jabatan lain yang pengangkatan dan pemberhentiannya menjadi wewenang Presiden, kecuali pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I di lingkungan Pemerintah Daerah Propinsi.

Pasal 19
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menduduki jabatan struktural eselon III ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

Pasal 20
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan :
a. pemberhentian sementara Sekretaris Daerah Propinsi;
b. pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah, dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mende-legasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon III ke bawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

Pasal 21
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota menetapkan :
a. pemberhentian sementara Sekretaris Daerah Kabupaten/ Kota;
b. pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten/Kota yang menduduki jabatan struktural eselon IV dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.

BAB VII
PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
ATAU CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL


Pasal 22
Presiden menetapkan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah yang berpangkat Pembina Utama Muda golongan ruang IV/c, Pembina Utama Madya golongan ruang IV/d dan Pembina Utama golongan ruang IV/e.

Pasal 23
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan :
a. pemberhentian Calon Pegawai Negeri Sipil Pusat yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya; dan
b. pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Pusat yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke bawah di lingkungannya.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya, untuk menetapkan pemberhentian dengan hormat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Pusat yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah.
Pasal 24
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan :
a. pemberhentian Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah di lingkungannya; dan
b. pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke bawah di lingkungannya.
(2) Gubernur menetapkan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a dan Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b.
(3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungan Propinsi, untuk menetapkan pemberhentian dengan hormat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi dan Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah.
Pasal 25
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota menetapkan :
a. pemberhentian Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah di lingkungannya;
b. pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/ Kota yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah di lingkungannya.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya, untuk menetapkan pemberhentian dengan hormat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota dan Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota yang berpangkat Pengatur Tingkat I golongan ruang II/d ke bawah.
Pasal 26
Pejabat Pembina Kepegawaian dan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 dikecualikan dalam penetapan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang tewas, meninggal dunia, cacat karena dinas, atau mencapai batas usia pensiun.
Pasal 27
(1) Kepala Badan Kepegawaian Negara menetapkan pemberhentian dan pemberian pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke bawah yang tewas, meninggal dunia, cacat karena dinas, dan mencapai batas usia pensiun.
(2) Penetapan pemberhentian dan pemberian pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk pemberian pensiun janda/duda dalam hal pensiunan Pegawai Negeri Sipil meninggal dunia.
(3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberi kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya.

BAB VIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 28
(1) Presiden melakukan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
(2) Untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Presiden dibantu oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.
(3) Kepala Badan Kepegawaian Negara dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), berkoordinasi dengan :
a. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat untuk Instansi Pusat;
b. Gubernur untuk Instansi Daerah Propinsi dan Kabupaten/ Kota di wilayahnya.
Pasal 29
Dalam rangka penyelenggaraan dan pemeliharaan manajemen informasi kepegawaian, Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah wajib menyampaikan setiap jenis mutasi kepegawaian kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara mengenai pelaksanaan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 30
(1) Pelanggaran atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian dapat dikenakan tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
a. peringatan;
b. teguran;
c. pencabutan keputusan atas pengangkatan, pemindahan, atau pemberhentian.
(3) Pencabutan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
(4) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara, kecuali terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Presiden.
(5) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat mendelegasikan atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk melakukan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), kecuali atas keputusan yang ditandatangani oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan Gubernur.
BAB IX

KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 31
Kewenangan penjatuhan hukuman disiplin dan penilaian prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil serta kewenangan lain dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah tersebut dengan memperhatikan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 32
Pendelegasian wewenang atau pemberian kuasa untuk pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil menurut Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan dengan Keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat atau Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah.
BAB X

KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku.
BAB XI

KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Pasal 35
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, maka :
a. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, dinyatakan tidak berlaku.
b. Ketentuan pelaksanaan mengenai pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang ada sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 36
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Pebruari 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Pebruari 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 15


Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,
ttd
Lambock V. Nahattands
________________________________________

P E N J E L A S A N
A T A S
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2003
TENTANG
WEWENANG PENGANGKATAN, PEMINDAHAN,
DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

I. UMUM
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 antara lain ditegaskan bahwa manajemen Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna.
Kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil berada pada Presiden selaku Kepala Pemerintahan. Sesuai dengan Pasal 25 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dilakukan oleh Presiden. Untuk kelancaran pelaksanaan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, Presiden dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan menyerahkan sebagian wewenangnya kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sesuai dengan amanat undang-undang tersebut di atas, maka perlu menyempurnakan kembali ketentuan mengenai pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
Untuk kepentingan kedinasan dan sebagai salah satu usaha untuk memperluas pengalaman, wawasan, dan kemampuan, maka diadakan perpindahan jabatan, tugas, dan wilayah kerja bagi Pegawai Negeri Sipil terutama bagi yang menjabat pimpinan dengan tidak merugikan hak kepegawaiannya.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 yang antara lain menegaskan bahwa untuk dapat lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya, maka sistem pembinaan karier yang harus dilaksanakan adalah sistem pembinaan karier tertutup dalam arti negara.
Dengan sistem karier tertutup dalam arti negara, maka dimungkinkan perpindahan Pegawai Negeri Sipil dari Departemen/Lembaga/Propinsi/Kabu-paten/Kota yang satu ke Departemen/Lembaga/Propinsi/Kabupaten/Kota yang lain atau sebaliknya, terutama untuk menduduki jabatan-jabatan yang bersifat manajerial. Hal ini mengandung pengertian bahwa seluruh Pegawai Negeri Sipil merupakan satu kesatuan, hanya tempat pekerjaannya yang berbeda.

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mekanisme konsultasi pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah Propinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah Kabupaten/ Kota serta pejabat struktural eselon II pada Kabupaten/Kota kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi. Pengaturan mekanisme konsultasi ini dimaksudkan dalam rangka mewujudkan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil secara nasional dan menjamin kesetaraan kualitas sumber daya manusia aparatur agar sesuai dengan persyaratan jabatan.

Dalam Peraturan Pemerintah ini juga diberikan kewenangan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil Daerah secara berjenjang khususnya pembinaan karier kenaikan pangkatnya. Dengan demikian tetap terdapat hubungan yang sinergi antara Pemerintah dengan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/ Kota.

Pada prinsipnya pembinaan kenaikan pangkat dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian instansi induk. Namun demikian, dalam hal terdapat Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di luar instansi induknya, maka gajinya dibebankan pada instansi yang menerima perbantuan dan pembinaan kenaikan pangkatnya dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian instansi yang menerima perbantuan.

Sedangkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di luar instansi induknya, maka gajinya tetap menjadi beban instansi induknya dan pembinaan kenaikan pangkatnya dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian instansi induknya.

Sebagai pelaksanaan ketentuan dimaksud serta untuk mendukung pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah, perlu diatur dan ditetapkan kembali pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil.

Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil oleh pejabat yang berwenang harus dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini yang merupakan norma, standar, dan prosedur dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2

Ayat (1)
Dalam hal pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil di lingkungan kesekretariatan lembaga kepresidenan, Pejabat Pembina Kepegawaiannya adalah Sekretaris Negara. Pada saat ini, kesekretariatan lembaga kepresidenan dimaksud yaitu Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Sekretariat Presiden, Sekretariat Militer, dan Sekretariat Wakil Presiden.

Dengan ketentuan ini, maka kesekretariatan lembaga lain yang dipimpin oleh pejabat struktural eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, misalnya Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, berwenang untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya masing-masing.

Penjelasan ini berlaku selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian yang terkait.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Gubernur dalam mengajukan usul kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam kapasitas sebagai wakil Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Gubernur dalam menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota adalah dalam kapasitas sebagai wakil Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan jabatan struktural eselon I antara lain Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen.
Jabatan lain yang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentiannya menjadi wewenang Presiden antara lain Hakim dan Panitera Mahkamah Agung.
Pasal 12

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Menteri Dalam Negeri menyampaikan keputusan hasil konsultasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi berdasarkan pertimbangan dari Tim yang antara lain terdiri dari unsur Departemen Dalam Negeri, Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Badan Kepegawaian Negara.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukuip jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menyampaikan keputusan hasil konsultasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan pertimbangan dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan Instansi Daerah Propinsi.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Dalam hal Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun, maka dalam keputusan pemberhentiannya ditetapkan sekaligus pemberian pensiun dan pensiun janda/dudanya.

Pemberhentian yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat, antara lain karena :
a. atas permintaan sendiri;
b. meninggal dunia;
c. hukuman disiplin;
d. perampingan organisasi pemerintah;
e. menjadi anggota partai politik;
f. dipidana penjara;
g. dinyatakan hilang;
h. keuzuran jasmani;
i. cacat karena dinas;
j. tewas;
k. mencapai batas usia pensiun.
Pasal 23
Ayat (1)

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam hal Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun, maka dalam keputusan pemberhentiannya ditetapkan sekaligus pemberian pensiun dan pensiun janda/ dudanya.

Pemberhentian yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat, antara lain karena :
a. atas permintaan sendiri;
b. hukuman disiplin;
c. perampingan organisasi pemerintah;
d. menjadi anggota partai politik;
e. dipidana penjara;
f. dinyatakan hilang;
g. keuzuran jasmani.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Dalam hal Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun, maka dalam keputusan pemberhentiannya ditetapkan sekaligus pemberian pensiun dan pensiun janda/ dudanya.
Pemberhentian yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat, antara lain karena :
a. atas permintaan sendiri;
b. hukuman disiplin;
c. perampingan organisasi pemerintah;
d. menjadi anggota partai politik;
e. dipidana penjara;
f. dinyatakan hilang;
g. keuzuran jasmani.
Gubernur dalam menetapkan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten/Kota adalah dalam kapasitas sebagai wakil Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam hal Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun, maka dalam keputusan pemberhentiannya ditetapkan sekaligus pemberian pensiun dan pensiun janda/ dudanya.

Pemberhentian yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat, antara lain karena :
a. atas permintaan sendiri;
b. hukuman disiplin;
c. perampingan organisasi pemerintah;
d. menjadi anggota partai politik;
e. dipidana penjara;
f. dinyatakan hilang;
g. keuzuran jasmani.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam menetapkan keputusan pemberhentian dan pemberian pensiun yang dimaksud dalam ketentuan ini, sekaligus ditetapkan pemberian pensiun janda/dudanya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Mekanisme pengawasan dan pengendalian administrasi kepega-waian dan karier pegawai di wilayah Propinsi diatur lebih lanjut oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Keputusan pencabutan atas pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak berlaku surut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Pejabat yang diberi delegasi wewenang untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini, menandatangani surat keputusan tersebut untuk atas namanya sendiri, tidak atas nama pejabat yang memberi delegasi wewenang.

Pejabat yang diberi delegasi wewenang dapat memberi kuasa kepada pejabat lain.
Pejabat yang diberi kuasa untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, menandatangani surat keputusan tersebut tidak atas namanya sendiri tetapi atas nama pejabat yang berwenang pada instansi yang bersangkutan.

Pejabat yang diberi kuasa untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dimaksud, tidak dapat memberikan kuasa lagi kepada pejabat lain.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4263