Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Monday, December 1, 2008

Rivai dan Aman Bebas

Rivai dan Aman Bebas
Senin, 17 November 2008

Kedua terdakwa kasus JLPIR, Ahmad Rivai dan Aman Soekarso akhirnya divonis bebas oleh Majelis Hakim PN Serang. Kedua terdakwa tidak terbukti memperkaya diri sendiri.


Sebelum membacakan vonis, Ketua Majelis Hakim Maenong SH membacakan point-point fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Majelis hakim menerima tuntutan JPU pada terdakwa Aman yang berisikan, pada tanggal 22 Juli 2004 Presiden RI Megawati akan datang ke Kabupaten Serang untuk meresmikan Pasar Induk Rau (PIR), Bupati Serang pada waktu itu, Bunyamin bersama dengan Sekda Provinsi, dan Direktur PT. SCRC membicarakan persiapan untuk menyambut kedatangan presiden RI tersebut. Kamis (14/11) lalu.

Dari pertemuan tersebut, Direktur PT. Sinar Ciomas Raya Contractor (SCRC), Prof. Dr.
Tb. Chasan Sochib memutuskan untuk membangun Jalan lingkar Pasar Induk Rau (JL PIR) dengan uang pribadinya sendiri untuk sementara. Direncanakan, pembayaran akan dilakukan dari anggaran pemerintah. Pengerjaan PIR pun dilakukan tanpa ada surat kontrak atau tender dengan Pemerintah Kabupaten Serang.

Setelah pengerjaan proyek PIR selesai, lanjut Maenong, PT SCRC lalu menagih pembayaran pada Bupati Serang dengan melayangkan surat penagihan No. 404/PEM/RTC/SCRC/IV/2005. Pada awalnya, PT. SCRC menagih sebesar Rp. 12 miliar. Pada 27 April 2005 Penjabat Bupati Serang, Akhmad Riva’I membuat surat pada Bawasda untuk melakukan pembayaran pada PT SCRC.

Tanggal 19 Mei 2005, Kepala Bawasda yang saat itu dijabat oleh, R.A Syahbandar menolak surat yang diajukan terdakwa Riva’i dengan alasan, uang untuk pembayaran JLPIR tidak ada dalam anggaran 2005. Pada tanggal yang sama, Sekda Aman lalu membuat surat ke Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Serang. Surat tersebut memerintahkan agar menalangi pembayaran PIR sebesar Rp 1 miliar. Pembayaran tersebut, diambil dari anggaran PU pada bagian pemeliharaan jalan dan jembatan. Adapun pembayaran yang dilakukan PU akan diganti dengan anggaran dari block grant 2005.
Pada tahun yang sama, Pemkab Serang meneriman bantuan block grant dari Pemerintah Provinsi Banten sebesar Rp 15 miliar yang ditujukan untuk pendidikan, penanganan bencana dan pembangunan infrastruktur daerah. Bantuan block grant tersebut belum dimasukkan ke dalam lembaran daerah. Pembayaran PIR dilakukan dengan dua tahap, 1 miliar dibayarkan dari PU pada tanggal 19 Mei. Tahap kedua dilakukan pembayaran sebesar Rp 4 miliar. Total pembayaran adalah Rp 5 miliar.

Pembayaran tersebut ditandatangani terdakwa Aman pada tanggal 10 Juni 2005. Meskipun proyek JLPIR tidak dilengkapi SPK, melainkan hanya dilengkapi surat partisipasi saja, pembayaran PIR tetap dilakukan oleh terdakwa Aman. “Setelah mendapat pembayaran JLPIR sebesar Rp 5 miliar, PT SCRC menggugat Pemkab Serang karena pembayaran PIR dirasa belum lunas,” terang Maenong.
Majelis hakim mengatakan berdasarkan tuntutan JPU, perbuatan terdakwa Aman dinilai suatu perbuatan melangar hukum. Karena perbuatan tersebut termasuk perbuatan menyalahgunakan kekuasaan, fasilitas dan wewenang karena jabatan. “Pembuatan SK pembayaran ini, mendahului APBD 2005,” terang Maenong.
Pembuatan memo dinas, lanjutnya, mengakibatkan pembayaran dari Pemkab Serang pada PT SCRC sebesar Rp. 5 miliar diterima oleh PT SCRC bukan oleh terdakwa Aman. “Oleh karena itu, perbuatan terdakwa dianggap tidak menguntungkan dirinya sendiri, tapi menguntungkan orang lain,” kata Maenong.

Vonis bebas

“Surat partispasi adalah awal dari ikatan perkara antara pemkab dan PT SCRC. Disamping itu, berdasarkan laporan investigasi audit yang dibuat BPKP DKI. Laporan tersebut telah melalui uji formil. Maka majelis hakim mengambil kesimpulan, pemkab-lah yang diuntungkan dari poyek pembagunan PIR. Terdakwa Aman dan Riva’I tidak terbukti secara sah dan meyakinkan merugikan negara. Oleh karena itu, kami memutuskan jika terdakwa bebas, maka segala hak dan namaya harus segera dipulihkan. Adapun untuk biaya perkara akan dibebankan pada negara,” putus majelis hakim.
Mendengar putusan tersebut, para hadirin yang kebanyakan adalah PNS dan kerabat Aman bertepuk tangan, para hadirin bergantian memberikan selamat dan pelukan bahagia pada Aman.

Meskipun Aman telah divonis bebas, namun kelegaan itu terasa kurang karena ada sesuatu yang hilang. Aman baru saja berduka karena istri yang ia cintai, Hj Siti Aan Mulyana binti alm H Enjo Harja, tutup usia di kediamannya di Jalan Bhayangkara, Cipocok Jaya, Kota Serang. (rul)
Sumber : http://www.koranbanten.com/2008/11/17/rivai-dan-aman-bebas/

Friday, October 24, 2008

Penanganan Korupsi, Kejaksaan Mendominasi

Penanganan Korupsi, Kejaksaan Mendominasi

Radar Banten Sabtu, 18-Oktober-2008,
SERANG - Hingga Oktober 2008, kejaksaan lebih unggul dibanding kepolisian dalam penanganan kasus korupsi di Provinsi Banten.
Salah satu faktornya, kerangka pemikiran lama bahwa kasus korupsi selalu diselidiki dan disidik oleh kejaksaan. Sementara kepolisian, hanya menangani perkara pidana biasa.

Berdasarkan data di Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Banten, 9 kasus korupsi telah ditangani. Dari jumlah itu, 5 kasus berlanjut hingga tingkat penuntutan dan pengadilan. Dan satu kasus korupsi telah diputus.
Dijelaskan Kasi Penyidikan pada Pidsus Kejati Banten Edi Dikdaya, Jumat (17/10), ke-9kasus korupsi yang ditangani Kejati Banten tersebut dalam tahap penyidikan, penuntutan dan proses di pengadilan.

Pada tahap penyidikan, 4 kasus korupsi ditangani. Antara lain, kasus suap terhadap anggota DPRD Pandeglang, kasus RSUD Balaraja, kasus Jasa Kepelabuhanan dan kasus Kubangsari.

Tahap penuntutan, kasus korupsi penjualan kertas suara sisa Pemilu 2004, kasus pengadaan lahan interchange di Kabupaten Serang, kasus Dana Perumahan tahap 3 dan kasus pengadaan lahan Kubangsari di Kota Cilegon.

Sementara untuk kasus korupsi yang telah disidangkan adalah, kasus pengadaan pupuk di Distanak Banten tahun 2005 dan kasus pengadaan lahan interchange.

Kasus raperda non-raperda telah diputus oleh Pengadilan Negeri Serang, mantan Kabag Perundang-undangan DPRD Banten Nandang Suryana dipidana 1 tahun penjara.

Dari data di Pidsus Kejati Banten dapat diketahui pula kiprah Polda Banten dalam pemberantasan korupsi. Sekurangnya, ada 3 kasus korupsi yang berlanjut hingga tahap persidangan. Yakni, kasus pembangunan jalan lingkar dan drainase Pasar Induk Rau (PIR), kasus pembebasan lahan Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) dan kasus uang untuk dipertanggungjawabkan (UUDP) KPUD Banten.

Dari jumlah kasus korupsi yang ditangani Polda Banten, satu kasus di Dinsosnaker Banten telah rampung dan berkasnya segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Serang.
Menanggapinya, pakar hukum tindak pidana korupsi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Muhyi Mohas mengatakan, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.

Di antaranya, adanya main frame lama bahwa kasus korupsi yang merupakan jenis kejahatan luar biasa dan bersifat khusus selalu diselidiki dan disidik oleh kejaksaan. Sementara kepolisian, hanya menangani perkara pidana biasa.
“Soal lebih banyak kasus korupsi yang diselesaikan oleh Kejati, mungkin itu soal kesepakatan. Biasanya, pihak mana yang lebih cepat, itu yang menangani,” terangnya.

Tingkat penyelesaian kasus korupsi oleh kepolisian, Muhyi berpendapat, lantaran institusi tersebut belum menunjukkan komitmen penegakan hukum yang tegas. “Hendaknya kepolisian juga berlomba-lomba dengan kejaksaan dan KPK untuk memberantas korupsi. Penegakan hukum khususnya korupsi adalah tanggungjawab bersama,” pungkasnya. (dew)

Thursday, October 23, 2008

5 Institusi Audit DAK Bidang Pendidikan


Radar Banten Rabu, 22-Oktober-2008

SERANG – Untuk memudahkan penyelidikan kasus dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten meminta bantuan 5 institusi untuk melakukan audit investigasi.

Yakni, PT Krakatau Steel (KS), Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Banten, Balai Pustaka, tim teknis Depdiknas dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kelima institusi itu akan melakukan audit investigasi barang yang didanai DAK Bidang Pendidikan. Antara lain, rangka baja, mebeler, buku, alat peraga dan multimedia (komputer set).


Melalui telepon genggamnya, Selasa (21/10), Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Firdaus Dewilmar membenarkan. “Kita minta lima institusi itu untuk menilai spesifikasi barang yang didanai DAK, apakah sudah sesuai atau belum,” katanya.
Lebih lanjut, Firdaus memaparkan, PT KS diminta bantuan untuk menilai spesifikasi rangka baja. Sedangkan DPU Banten khususnya Cipta Karya, diminta untuk menilai spesifikasi mebeler.

“Untuk spesifikasi buku, alat peraga dan multimedia, akan diaudit oleh tim dari Balai Pustaka. Tim Depdiknas akan diminta memberikan informasi mengenai juklak dan juknis penggunaan DAK,” terangnya.
Dewilmar berharap, hasil audit dari lima institusi itu bisa menjadi patokan untuk menilai pelaksanaan penggunaan DAK Bidang Pendidikan di Banten. Termasuk keterlibatan pihak Dinas Pendidikan dengan pihak pemenang tender. (dew)

Dua Saksi Beratkan Terdakwa Interchange


Dua Saksi Beratkan Terdakwa Interchange
Keterangan kedua saksi itu memberatkan terdakwa, Sekretaris Daerah Kabupaten Serang RA Syahbandar, mantan Asda I Pemkab Serang Martedjo dan mantan Kabag Pemerintahan Pemkab Serang Dedi Kusumayadi.


Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Serang Ahmad Arslan mengaku, telah membayarkan uang Rp 1,3 milyar kepada Ikhrom Komarudin, calo tanah yang menjadi terdakwa dengan berkas terpisah dalam kasus tersebut. Menyusul adanya nota dinas dari Ketua Panitia Pengadaan Lahan Interchange RA Syahbandar.

“Itu karena ada permohonan pembayaran dari panitia dan juga nota dinas dari ketua panitia pengadaan lahan,” katanya selaku kuasa pemegang anggaran dalam proyek di Desa Julang, Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang.

“Pembayaran itu saya lakukan pada 24 Juli 2006 kepada dua orang. Yang pertama, ke Ikhrom Komarudin Rp 1,3 miliar sebagai pemilik lahan dan bangunan. Yang kedua, ke Syamun sebagai pemilik gudang di daerah tersebut sebesar Rp 455 juta,” terang Arslan lantas menambahkan, pembayaran itu merupakan pembayaran tahap kedua karena pembayaran pertama dilakukan oleh Kepala DPU sebelumnya, Juanda Sukrawinata.

Kesaksian yang juga memberatkan dibeberkan mantan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Serang Hermawan. Dia mengaku, sebagai pihak yang dilibatkan dalam proses pembebasan lahan interchange, dirinya jarang diajak rapat.

“Kalau hal lainnya, saya nggak tahu karena sesuai tugas saya, cuma menghitung tegakan tanaman di lokasi proyek,” tukas Hermawan.

Mantan Kepala DPU Kabupaten Serang Juanda Sukrawinata sedianya menjadi saksi. Namun sidang ditutup dan ditunda pekan depan. (dew)

Sidang Tegakan Untirta


Sidang Tegakan Untirta Ditunda dalam perkara tersebut batuk.

Radar Banten Rabu, 22-Oktober-2008
Di Pengadilan Negeri Pandeglang, sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Asnahwati dengan Hakim Anggota Sunarti dan Proske Pohan itu hanya berlangsung sekira 6 menit. Dua terdakwa, mantan Pembantu Rektor (Purek) IV Untirta Romlie Ardi dan mantan Kabid Pertanahan di Dinas Pertanahan dan Lingkungan Hidup Pandeglang Iyan Suhaemi, hadir tanpa didampingi kuasa hukumnya.


Sebelum tuntutan dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ida Rodiah dan Fitri Aisyah, Ketua Majelis Hakim Asnahwati menanyakan kepada terdakwa Romli Ardie yang duduk di kursi pesakitan bersama Iyan Suhaimi.

“Apakah terdakwa Romli sehat dan siap mendengarkan tuntutan dari JPU,” tanyanya.
“Maaf Bu. Saya sedang sakit batuk dan darah tinggi. Saya belum siap mendengarkan tuntutan,” jawab Romli. Namun, ia tidak memberikan keterangan dari dokter yang menyatakan dirinya sakit. Dalam sidang sebelumnya diketahui, kedua terdakwa didakwa oleh JPU dengan Pasal 2 dan 3 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (adj)

Kasus PIR Riva’i dan Aman Sukarso Dituntut Empat Tahun


Kasus PIR Riva’i dan Aman Sukarso Dituntut Empat Tahun
Radar Banten Kamis, 23-Oktober-2008

Sidang menghadirkan dua terdakwa yaitu mantan Pjs Bupati Serang Ahmad Riva’i dan mantan Sekda Serang Aman Sukarso. Keduanya disidang di ruangan terpisah.
Dalam sidang kemarin, kedua terdakwa dituntut penjara empat tahun potong masa tahanan berikut denda Rp 200 juta subsidair enam bulan kurungan. Keduanya tidak dituntut uang pengganti karena Riva’i dan Aman dianggap tidak memperkaya diri sendiri melainkan memperkaya Direktur PT Sinar Ciomas Raya Contractor (SCRC) Chasan Sochib.

“Kami Jaksa Penuntut Umum (JPU) memohon kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Serang menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi,” ujar JPU M Hidayat saat membacakan tuntutan di PN Serang, Rabu (22/10).

Dalam paparannya, JPU menilai perbuatan terdakwa sebagai tindak pidana korupsi. Berdasarkan fakta dalam persidangan terbukti keduanya melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya orang lain atau koorporasi PT SCRC sebesar Rp 5 miliar.
Aman Sukarso, kata JPU M Hidayat, membuat Surat Keputusan Otorisasi Tambahan mendahului perubahan APBD 2005 tentang kegiatan penanganan jalan dan drainase lingkungan PIR dan membuat memo kepada kepala BPKD.

Atas memo itu kepala BPKD menerbitkan SK yang membebankan biaya pembangunan jalan lingkar dan drainase PIR dari pos pemeliharaan jalan dan jembatan yang bukan peruntukannya. Dana pemeliharaan jalan dan jembatan dibayarkan kepada direktur PT Sinar Ciomas Raya Contractor Chasan Sochib untuk memenuhi tagihan PT SCRC yang membangun jalan lingkar dan drainase PIR yang tidak direncanakan.

Sedangkan Ahmad Rivai, menurut tuntutan yang dibacakan JPU Sukoco, dianggap bersalah karena menandatangani daftar pengantar surat permintaan pembayaran nomor 900/03-BT/2005 tertanggal 19 Mei 2005 dan mengirim surat ke kepala Dinas PU Kabupaten Serang bernomor 620/1088/Pemb.Kemasy yang memerintahkan kepala BPKD untuk membayar tagihan dari PT SCRC menggunakan dana bantuan block grant dari Pemprov Banten untuk membayar pembangunan jalan lingkar dan drainase PIR Rp 5 miliar walaupun proyek itu tak pernah direncanakan oleh Subdin Pengairan maupun Subdin Bina Marga DPU Serang.

Usai pembacaan tuntutan, kuasa hukum terdakwa Efran Helmi Juni dan Gusti Endra meminta waktu satu minggu kepada majelis hakim yang diketuai Maenong untuk menyusun pembelaan. (dew)

Tuesday, September 16, 2008

Kerugian Penerimaan Gas Rp 30 Triliun

Kerugian Penerimaan Gas Rp 30 Triliun
Senin, 15 September 2008

JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengusut tuntas kerugian negara dari penerimaan gas periode 2001-2007 sebesar Rp 30 triliun. Perhitungan itu berdasarkan laporan penerimaan gas dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sejak 2001 hingga 2007.


Koordinator Pusat Data dan Analisis ICW Firdaus Ilyasmengungkapkan, ICW telah menghitung ulang laporan penerimaan gas yang dikeluarkan BP Migas. Berdasarkan lifting gas, kurs rupiah terhadap dolar AS, dan estimasi penerimaan negara, ICW menemukan indikasi kerugian negara sekitar Rp 30 triliun. "Keakuratan perhitungan tersebut bisa diperdebatkan, supaya ada kesamaan persepsi soal penerimaan negara tersebut," ujar dia kepada Investor Daily, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Sebagai perbandingan, total pendapatan gas pada 2007 mencapai Us$ 11,98 miliar. Dari total pendapatan gas itu, estimasi keuntungan pemerintah sekitar 65% dan kontraktor sekitar 35%.

Dengan kurs Rp 9.050 per dolar AS, seharusnya pemerintah memperolah sekitar Rp 70,31 triliun dari persentase keuntungan tersebut. Namun, menurut laporan BP Migas, penerimaan gas pada 2007 sekitar Rp 61,34 triliun. "Selisih penerimaan gas yang seharusnya diterima pemerintah sekitar Rp 9,16 tribun," ujar Firdaus.

Hal yang sama terjadi pada 2006. Total pendapatan gas pada 2006 mencapai US$ 9,91 miliar. Dengan harga kurs sekitar Rp 9.118, estimasi penerimaan pemerintah dari 65% keuntungan mencapai Rp 64,72 triliun. Namun, menurut Firdaus, BP Migas melaporkan keuntungan pemerintah hanya sekitar Rp 63,71 triliun. Selisih penerimaan gas yang seharusnya diterima pe-merintah sekitar Rp 1,01 triliun.

Sebelumnya, pemerintah akan merenegosiasi 30 kontrak ekspor gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dari berbagai blok gas di Tanah Air.

Menurut Wakil Presiden M Jusuf Kalla, kontrak-kontrak itu berpotensi merugikan negara triliunan rupiah jika tetap berjalan. Pemerintah akan menjadikan negosiasi harga gas Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat, sebagai patokan untuk negosiasi di blok lain.

Selain Blok Tangguh, kontrak yang perlu dinegosiasi ulang adalah kontrak harga LNG dari Blok Natuna ke Thailand dan Korea Selatan. Di blok ini, pemerintah menjual LNG dengan harga di bawah US$ 3 per mile-mile britwh llwrmal unit (mmbtu).

Kontrak lain yang masuk daftar untuk dinegosiasi adalah ekspor gas dari Blok Senoro-Donggi, di perbatasan Sulawesi Tengah dan Tenggara. Harga jual gas blok itu US$ 9 per mmbtu karena lapangan Senoro jauh dari pipa distribusi ke Pulau Jawa.

Saat ini, produksi gas di Indo-nesia mencapai 8.400 million cubic feet per day (mmcfd). Namun, gas yang mengalir untuk kebutuhan domestik hanya 3.000 mmcfd. Sementara itu, sekitar 5.000 mmcfd sisanya diekspor dengan harga murah. Data Departemen ESDM memperlihatkan, total cadangan gas bumi Indonesia sekitar 182,5 triliun kaki kubik (trillion cubic feetltcf). Ini terdiri atas 94,78 tcf cadangan terbukti dan 87,73 tcf cadangan potensial dan dapat diproduksi dalam jangka waktu 64 tahun. Cadangan gas tersebut terkonsentrasi di Indonesia bagian barat.

Split Rendah

Firdaus mengungkapkan, perhitungan ICW menggunakan persentase pembagian keuntungan (split) terendah yang biasa dipakai pemerintah, yaitu 65% untuk bagian pemerintah dan 35% untuk bagian kontraktor. Namun, umumnya porsi keuntungan pada sebagian besar kontrak gas sekitar 70% untuk bagian pemerintah dan 30% untuk bagian kontraktor. "Jika pa-tokan persentase keuntungan tersebut dipakai, negara akan rugi yang lebih besar dari Rp 30 triliun," kata dia.

Sejak 2001, pengembalian biaya produksi (cost recovery) dari sektor gas terus meningkat. Besarnya biaya produksi yang harus dikembalikan negara bisa mencapai 25% dari total pendapatan kotor (gross revenue). Nilainya berkisar USS 1,7-3,6 miliar per tahun.

"Biaya produksi yang dikembalikan pemerintah tersebut cukup besar dan berpotensi mengurangi pendapatan negara. Seharusnya, BP Migas bisa menekan cost recovery tersebut," tambah dia.

Menurut Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono, ICW bci um pernah memperlihatkan temuan selisih penerimaan gas itu kepada BP Migas. Namun, perbedaan perhitungan penerimaan gas tersebut bisa terjadi karena ICW menggunakan data dari pendapatan kotor (gross revenue) penerimaan gas. Artinya, perhitungan tersebut ber-dasarkan total setoran penjualan gas oleh kontraktor pada rekening 600.000 di Depkeu. Padahal, pemerintah masih harus mengembalikan bagian kontraktor dari hasil penjualan tersebut, sebelum masuk ke penerimaan negara.

Djoko menambahkan, selama ini hasil penjualan gas oleh kontraktor langsung disetor ke rekening 600.000 di Depkeu dan tidak melalui rekening antara di BP Migas. Dari setoran tersebut, Depkeu akan mengurangi setoran itu untuk melunasi kewajiban tertunggak, seperti pembayaran PBB, PPh kepada kontraktor.

Data penerimaan gas yang dilaporkan BP Migas sudah memperhitungkan pengurangan penerimaan gas Jari setoran penjualan, akibat pembayaran tersebut. "Selisih tersebut terjadi karena perbedaan cara perhitungan, duri pendapatan kotor atau pendapatan bersih," ujar Djoko kepada Investor Daily melalui telepon genggamnya, Sabtu (13/9).

Secara terpisah, Direktur Center for Petroleum and Energy Studies Kurtubi mengatakan, temuan ICW itu perlu ditindaklanjuti melalui investigasi KPK atau BPK. Selama ini. BP Migas tidak mempunyai mekanisme pengawasan internal. Sebagai badan hukum milik negara, BP Migas seharusnya memiliki Majelis Wali Amanat yang bertindak sebagai pengawas internal. "Karena itu, perlu ada badan independen seperti BPK atau KPK yang bertindak sebagai auditor, yang memeriksa dan mencermati setiap laporan yang dikeluarkan BP Migas," kata dia.

Kelemahan lain, menurut Kurtubi, BP Migas juga tidak memiliki pengawasan paling mutakhir (real time) soni pergerakan gas di lapangan. Laporan yang diajukan kontraktor tidak bisa dipercaya begitu saja. BP Migas [Hjrlu turun ke lapangan dan memonitor langsung inul asi gas dari satu titik distribusi ke titik distribusi yang lain. Pengetatan pengawasan itu dimaksud ugur negara tidak kecolongan di sektor produksi dan distribusi gas.

Menurut anggota Komisi VII DPR duri Fraksi PAN Alvin Lie, selama ini penerimaan gas tidakmasuk dalam APBN, sehingga sangat mungkin terjadi penyimpangan, baik volume gas maupun cost recovery. Sistem pengawasan penerimaan gas tersebut hanya bergantung pada laporan pemerintah. Namun, hingga kini pemerintah pun belum memiliki sistem pengawasan yang real time, menggunakan teknologi pengawasan yang unggul. Data produksi dan biaya produksi sangat bergantung pada sistem pelaporan manual oleh kontraktor.

"ICW perlu melaporkan temuan tersebut kepada DPR supaya ditindaklanjuti. DPR bisa meminta BPK mengusut tuntas temuan tersebut, karena indikasi kerugian negara sangat kuat terjadi," kata dia.

Menurut Firdaus, ICW sangat berharap BPK mengusut kembali temuan tersebut. BP Migas mesti mempertanggungjawabkan selisih penerimaan gas yang seharusnya diterima negara. ICW juga mengharapkan pemerintah membenahi sistem peog awusun produksi gas dengan teknologi real time. Pemerintah tidak bisa percaya begitu saja dari datu manual yang dilaporkan pihak kontraktor.

Sumber: Investor Daily Indonesia

DPD Laporkan Enam Kasus Korupsi Ke KPK

DPD Laporkan Enam Kasus Korupsi Ke KPK

4 Juli 2008 | 16:05 WIB

Jakarta (Berita) : Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Jumat [04/07], melaporkan enam dugaan korupsi di sejumlah daerah ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Enam dugaan korupsi itu terjadi di empat daerah .Keenam kasus itu adalah penyimpangan penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin) di Kabupaten Tangerang, Banten, dengan perkiraan kerugian negara Rp10,71 miliar.

Kemudian , dugaan penyimpangan dana APBD Tahun Anggaran 2004 sampai 2007 untuk pembangunan Jalan Lingkar Selatan di Kabupaten Tangerang dengan perkiraan kerugian negara Rp28,76 miliar.


Selain itu, terdapat pula dugaan penyimpangan penyaluran belanja bantuan keuangan APBD 2006 sampai 2007 untuk kegiatan Persatuan Sepak Bola Gorontalo, Provinsi Gorontalo, sebesar Rp2,65 miliar serta dugaan penyimpangan penyaluran belanja bantuan keuangan APBD 2006 sampai 2007 kepada Hulodalangi Film Production untuk pembuatan sinetron sejarah Gorontalo sebesar Rp3,5 miliar.

Selain itu, dugaan penyimpangan dana bantuan korban konflik di Maluku dengan perkiraan kerugian negara Rp1,425 miliar, Terakhir adalah dugaan penyimpangan proyek outcourcing CMS PT PLN distribusi Jawa Timur dengan perkiraan kerugian negara Rp152,6 miliar.

Anggota DPD Marwan Batubara menyatakan, enam dugaan korupsi itu adalah sebagian dari sejumlah laporan dugaan korupsi yang diterima oleh DPD. Sejak tiga bulan terakhir, Tim Upaya Pemberantasan Korupsi DPD RI telah menerima 14 laporan dari masyarakat. “Namun, setelah diverifikasi, laporan yang dinilai memadai untuk ditindaklanjuti oleh KPK sebanyak enam kasus,” kata Marwan. DPD meminta KPK mengusut laporan tersebut, dan meningkatkan pengawasan penanganan sejumlah dugaan korupsi di daerah. (ant)Artikel dalam kategori : Nasional

Wednesday, September 3, 2008

FAM Tuntut Dibatalkannya Pengadaan Mobil Dinas Baru


Mahasiswa Sandera Mobil Dinas
Rabu, 29-Agustus-2007

Tuntut Dibatalkannya Pengadaan Mobil Dinas Baru

SERANG – Sikap ngotot pejabat Pemprov Banten untuk merealisasikan pengadaan mobil dinas mendapat reaksi keras mahasiswa.
Selasa (28/7), mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa (FAM) Untirta Serang, berunjuk rasa di depan Kampus Untirta, Jl Raya Serang-Jakarta, menuntut agar pengadaan mobil dinas bagi pejabat pemprov dan anggota DPRD Banten itu dibatalkan.
Aksi tersebut sempat diwarnai penghentian kendaraan berplat nomor merah yang melintas di ruang jalan yang menjadi lokasi aksi mereka.
Menurut para mahasiswa, pembelian mobil dinas yang akan menelan biaya Rp 10 miliar itu merupakan penghamburan dana.

Koordinator Dewan Presidium FAM Untirta Serang Satria Agung Pratama dalam orasinya mengatakan, Pemprov Banten semestinya bisa mengoptimalkan kendaraan dinas yang ada saat ini.

“Pengadaan mobil dinas harus dibatalkan. Semua itu hanya untuk memanjakan pejabat dan keluarganya saja. Padahal kinerja mereka (pejabat-red) masih jauh dari optimal,” ujar Satria.

Dadan Sumarna, peserta unjuk rasa lainnya mengatakan, pengadaan mobil dinas bukan persoalan yang mendesak, karena mobil dinas yang kini digunakan para pejabat Pemrov Banten masih layak digunakan. “Pemerintah mencoba menipu rakyat dengan kebijakan yang tidak konsisten. Sebab sebelumnya Pemprov Banten pernah menyatakan membatalkan rencana pembelian mobil dinas untuk pejabat. Namun ternyata hanya upaya mengelabui semata. Karena saat ini, dana untuk pengadaan mobil dinas yang dimaksud telah dianggarkan,” kata Dadan membacakan pernyataan tertulis yang mereka sebarkan kepada para pengguna jalan dan mahasiswa di sekitar kampus.

Di tengah orasi, tiba-tiba puluhan pengunjuk rasa langsung menuju jalan raya menghalangi laju mobil operasional milik Dispenda Provinsi Banten dengan nomor polisi A 8004 yang dikemudikan Abas. Bahkan, mahasiswa sempat menyandera mobil itu dan menaiki bagian atap mobil. Namun, atas kesigapan anggota kepolisian berpakaian preman, akhirnya mobil tersebut diperbolehkan meneruskan perjalanan.
Beberapa menit kemudian, beberapa pendemo pun sempat mengejar sebuah mobil dinas jenis Daihatsu Zebra bernomor polisi A 334. Seketika mobil itu langsung tancap gas, hingga tak terkejar para pengunjuk rasa. (day)

FAM Untirta GUGAT Kroni Orba

Banten Butuh Reformasi

Selasa, 26-Agustus-2008, 07:47:20

SERANG – Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa (FAM) Untirta menggelar aksi di perempatan Ciceri, Serang, Senin (25/8).


Mereka mengimbau masyarakat untuk mewaspadai bangkitnya Orde Baru (Orba) di Banten.
“Salah satu ciri khas politik Orba adalah menempatkan sanak keluarga, kerabat, teman dekat, dan kroni-kroninya pada sektor-sektor strategis,” tandas Wirawan, koordinator lapangan.

Sektor-sektor strategis, lanjut dia, baik dalam struktur pemerintahan, ekonomi, maupun politik di Banten sudah mulai terkena virus penyakit Orba. “Mulai dari olahraga sampai calon legislatif dikuasai orang-orang dekat dan keluarga penguasa yang sedang berkuasa saat ini,” katanya.

Dimas Pradipta, salah satu orator mengatakan, masyarakat Banten butuh perubahan dan reformasi. “Selama ini, Banten hanya dikuasai oleh kerajaan-kerajaan kecil. Sangat disayangkan,” tandasnya.

FAM Untirta mendesak para pemimpin dan penguasa di kabupaten/kota dan Provinsi Banten untuk segera sadar bahwa amanah yang diembannya adalah dari rakyat bukan dari sanak keluarga, teman dekat, atau kroninya.Sumber : Radar Banten (mg-inna)

Saturday, August 30, 2008

LNG Tangguh Telah Hilang

SDA DIKERUK UNTUK NEGARA LAIN dan MNC

Ditengah rakyat mulai kesulitan dengan harga tabung gas elpiji yang mulai mahal dan bertahan kembali antri mengkonsumsi minyak tanah, diskusi kemarin malam cukup ramai sekali di TV One dengan pembicara Andi Malaranggeng, Prof Kurtubi dan Dr. Soni Keraf Mantan Menteri KLH. Tema malam itu adalah seputar penjualan LNG Tangguh Papua yang dijual dibawah standar internasional. Harga jual USS 3.3 mmbtu (million metric british thermal unit) dengan perbandingan harga internasional 20 USS per MMBTU.

Sebelumnya harga kontrak LNG Tangguh Tahun 2002 : USS 2,4 per mmbtu. Setelah negosiasi ulang Tahun 2006 : USS 3.8.Harga jual LNG Tangguh saat kontrak disepakati pada awal 2000-an hanya USD 2,4 per mmbtu (million metric british thermal unit) dengan patokan harga minyak mentah USD 25 per barel.Sedangkan harga saat ini ditetapkan (dikunci) berdasarkan patokan harga minyak mentah USD 38 per barel. Bukan main sinting sekali.

Padahal, saat ini harga jual gas (seperti LNG Bontang yang dijual ke Jepang) mencapai USD 20 per MMBTU dengan harga patokan minyak di kisaran USD 120 per barel.

Kita akan kehilangan potensi keuntungan sebesar USD 75 miliard atau 650 Triliun rupiah (Sumber : Bisnis Indonesia). Bayangkan begitupula Menteri ESDM Purnomo banyak mengelak untuk kesekian puluh kalinya melakukan pembelaan diri atau justifikasi. (Uptade terbaru, Yusuf Kalla telah mengklarifikasi ketika Debar Capres 2009 bahwa kesalahan memang benar pada Purnomo secara implisit).


Sementara itu di TV One ada hal yang menarik dari perubahan saat ini yaitu Jubir Presiden Andi Malaranggeng begitu antusias dan sangat vokal bersama pembicara lainnya mempertanyakan hal tersebut kenapa dapat terjadi. Dan nampaknya mempersalahkan dan menuduh secara implisit pejabat sebelumnya di jaman Megawati yang notebene masih dijabat hingga saat ini oleh Menteri ESDM Purnomo. Ia harus dipecat belum lagi penjualan aset strategis lainnya (natuna, cepu, dsb) dan dugaan korupsi serta penyelewengan Migas kita, 195 triliun lebih.

Diskusi amat sangat menarik dan terlihat mulai jelas duduk masalah sebenarnya, kenapa LNG Tangguh, Papua dijual dengan harga yang demikian rendah jauh dibawah standar internasional. Menurut Andi Malaranggeng harga tersebut dikunci / diflat pada saat dijual dengan standar harga minyak mentah yang tidak pernah berubah dari tahun ketahun, sehingga harganya amat sangat murah.

Kemudian jika kita ambil kembali ini harus melalui negosiasi ulang dengan pihak mereka (asing) yang artinya kita harus berhadapan dengan pihak arbitrase internasional jika mereka merasa keberatan dan dirugikan.

Menurut Prof. Kurtubi lain lagi, batalkan kontrak dan mengganti rugi ke China sebesar 300 juta dollar daripada rugi terus perbulan dengan kenaikan harga elpiji kita.Kemudian dijual ke Jepang maka kita masih dapat untung milyaran dollar.

Sementar itu Soni Keraf mantan Menteri KLH dengan amat jelas (eksplisit) menuduh Menteri ESDM bertanggung jawab sepenuhnya karena menyangkut masalah teknis proses penjualan tersebut.

NASIONALISASI ASSET 100 %

Dari sumber data nasional dan hasil diskusi tersebut bayangan skenario dimasa lalu dan kini sudah tergambar jelas, kita memang harus melakukan banyak program besar nasionalisasi merebut kembali aset strategis dan melakukan managemen efisen dengan memangkas korupsi dan penyimpangan lainnya.

Sayang sekali LNG Tangguh gas alam kita telah hilang padahal kita termasuk peringkat ke 11 di dunia (lihat sumbangan data dari seorang kawan saya, yayat mulyatna baca komentarnya cukup bagus sekali. Sumber data http://www.eia.doe.gov/emeu/international/petroleu.html).

Sedangan tingkat produksi nasional indonesia adalah no. 9 dunia, sebesar 76,000,000,000 cu.m, sedangkan tingkat konsumsi indonesia adalah no 17 dunia, cuma sebesar 39,400,000,000 cu.m, (lihat http://www.nationmaster.com/index.php) artinya tidak beli, tetapi sebagai eksportir, sedangkan kebutuhan nasional terpenuhi dari produksi domestik, sayangnya dipatok ke harga dunia. Jadi sangat lucu sekali sebagai produsen dunia rakyat malah dipaksa membeli dengan standar internasional yang jelas tentu sangat mahal.

Sependapat dengan saudara Yayat Mulyatna, produk migas kita sangat keterlaluan sudah terlalu banyak yang di jual ke pihak negara lain dan MNC (Multi National Corporation) karena salah urus dan banyak terjadi penyimpangan korupsi serta mark up yang cukup serius. Harga BBM yang lalu dapat teratasi sebetulnya jika tingkat produksi dinaikan dan kilang minyak kita diremajakan juga kilang produktif (bayangkan hingga 20 tahun lebih, contoh blok Cepu, bontang, blok Natuna) tidak dikuasai pihak asing (MNC) kembali pada Indonesia 100 %.

SDA DIKERUK UNTUK MNC

MNC MERAJALELA DI INDONESIA

SDA DIKERUK UNTUK MEREKA

Ditengah rakyat mulai menjerit-jerit dengan harga tabung gas elpiji yang mulai mahal, diskusi kemarin malam cukup ramai sekali di TV One dengan pembicara Andi Malaranggeng, Prof Kurtubi dan Soni Keraf Mantan Menteri KLH. Tema malam itu adalah seputar penjualan LNG Tangguh Papua yang dijual dibawah standar internasional. Harga jual USS 3.3 juta btu dengan perbandingan harga internasional 20 USS juta Btu. Sebelumnya harga kontrak LNG Tangguh Tahun 2002 : USS 2,4. Setelah negosiasi ulang Tahun 2006 : USS 3.8. Kita kehilangan potensi keuntungan sebesar USD 75 miliard atau 650 Triliun rupiah (Sumber : Bisnis Indonesia). Bayangkan gila bener dan anehnya Yusuf Kalla mengatakan bahwa kita yang minta untuk dijual.

Sementara itu di TV ONE ada hal yang menarik dari perubahan saat ini yaitu Jubir Presiden Andi Malaranggeng begitu antusias dan sangat vokal bersama pembicara lainnya mempertanyakan hal tersebut kenapa dapat terjadi. Dan nampaknya mempersalahkan dan menuduh secara implisit pejabat sebelumnya di jaman Megawati yang notebene masih dijabat hingga saat ini oleh Menteri ESDM Purnomo.(Brengsek sekali, harus dipecat tuh, belum lagi penjualan aset strategis lainnya (natuna, cepu, dsb) dan dugaan korupsi serta penyelewengan Migas kita, 195 triliun)

Diskusi amat sangat menarik dan terlihat mulai jelas duduk masalah sebenarnya, kenapa LNG Tangguh, Papua dijual dengan harga yang demikian rendah jauh dibawah standar internasional. Menurut Andi Malaranggeng harga tersebut dikunci / diflat pada saat dijual dengan standar harga minyak mentah yang tidak pernah berubah dari tahun ketahun, sehingga harganya amat sangat murah.Bayangkan, bodoh benar.

Kemudian jika kita ambil kembali ini harus melalui negosiasi ulang dengan pihak mereka (asing) yang artinya kita harus berhadapan dengan pihak arbitrase internasional jika mereka merasa keberatan dan dirugikan. Dan ini nampaknya sulit sekali apalagi dahulu mereka adalah pesaing berat kita.

Menurut Prof. Kurtubi lain lagi, batalkan kontrak dan mengganti rugi ke China sebesar 300 juta dollar daripada rugi terus perbulan dengan kenaikan harga elpiji kita.Kemudian di jual ke Jepang maka kita masih dapat untung milyaran dollar.

Sementar itu Soni Keraf mantan Menteri KLH dengan amat jelas (eksplisit) menuduh Menteri ESDM bertanggung jawab sepenuhnya karena menyangkut masalah teknis proses penjualan tersebut.

Dari hasil diskusi tersebut bayangan skenario dimasa lalu dan kini sudah tergambar jelas, kita memang harus melakukan banyak program besar nasionalisasi merebut kembali aset strategis dan melakukan managemen efisen dengan memangkas korupsi dan penyimpangan lainnya.

Sayang sekali gas alam kita telah hilang padahal kita termasuk peringkat ke 11 di dunia (lihat sumbangan data dari seorang kawan saya, yayat mulyatna baca komentarnya cukup bagus sekali. Sumber data http://www.eia.doe.gov/emeu/international/petroleu.html ).

Sedangan tingkat produksi nasional indonesia adalah no. 9 dunia, sebesar 76,000,000,000 cu.m, sedangkan tingkat konsumsi indonesia adalah no 17 dunia, cuma sebesar 39,400,000,000 cu.m, (lihat http://www.nationmaster.com/index.php) artinya tidak beli, tetapi sebagai eksportir, sedangkan kebutuhan nasional terpenuhi dari produksi domestik, sayangnya dipatok ke harga dunia. Jadi sangat lucu sekali sebagai produsen dunia rakyat malah dipaksa membeli dengan standar internasional yang jelas tentu sangat mahal.

Sependapat dengan saudara Yayat Mulyatna, produk migas kita sangat keterlaluan sekali sudah terlalu banyak yang di jual ke pihak MNC (Multi National Corporation) juga karena salah urus dan banyak terjadi penyimpangan korupsi dan mark up yang cukup serius. Harga BBM yang lalu dapat teratasi sebetulnya jika tingkat produksi dinaikan dan kilang minyak kita diremajakan dan kilang produktif (bayangkan hingga 20 tahun lebih, cth blok Cepu, blok Natuna) tidak dikuasai pihak asing (MNC) kembali pada Indonesia.

Wednesday, August 27, 2008

Koalisi Pendidikan Waspadai RAPBN 2009


Koalisi Pendidikan Waspadai RAPBN 2009

Selasa, 19 Agustus 2008
Bertempat di gedung Indonesia Corruption Wacth (ICW), Jum’at (15/08) sekitar jam 10 pagi, koalisi pendidikan yang terdiri dari ICW, FITRA dan perwakilan orang tua siswa menyelenggarakan konferensi pers guna menyikapi RAPBN 2009 terkait pemilu 2009.
Konferensi yang dimoderatori oleh Ade Irawan (ICW) ini lebih menyikapi prioritas anggaran dari sejumlah kementrian/ lembaga. Sejak 2005 Depdiknas menempati urutan pertama yang memperoleh alokasi anggaran disusul Departemen pertahanan. Pada 2009, anggaran dephan berada di urutan ketiga setelah pekerjaan umum (PU). Namun demikian, sebetulnya dalam lima tahun terakhir termasuk pada RAPBN 2009, anggaran pertahanan dan keamanan yang direpresentasikan alokasi untuk Dephan dan Polri memperoleh alokasi anggaran terbesar ketimbang kementrian/ lembaga lain, bahkan bila dibandingkan alokasi dana pendidikan dan kesehatan.

Berdasarkan data yang dihimpun FITRA, pada 2009 anggaran bidang pertahanan dan keamanan (Dephan, Polri, BIN) mencapai 19,9 persen dari anggaran kementrian/ lembaga atau sebesar 61,8 triliyun yang atinya lebih tinggi tiga kali lipat dari anggaran kesehatan yang mendapat porsi anggaran 6,2 persen setara dengan 19,4 trilyun. Tentunya kenaikan anggaran yang signifikan dari bidang pertahanan dan keamanan terkait penyelenggaraan pemilu 2009 mendatang. Anggaran yang dialokasikan dalam rangka pengamanan pemilu 2009 untuk TNI sebesar Rp.400 miliyar, BIN 400 miliyar dan Polri 1,8 Trilyun atau tiga kali lebih besar dari anggaran untuk kesehatan ibu dan anak yang hanya Rp.500 milyar.

Sebuah sinyalemen kuat bahwa pada 2009, negara lebih memprioritaskan kekuatan pertahanan dan keamanan negara ketimbang memenuhi hak-hak dasar warga terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Terlebih saat ini pemerintah tengah merealisasikan 20 persen anggaran pendidikan seiring banyaknya desakan dari berbagai pihak atas realisasi anggaran tersebuit. Namun menurut Roy (FITRA), desakan tersebut tidak akan bermakna kepada dunia pendidikan itu sendiri. Menurutnya, yang terpenting adalah bagaimana pelayanan pendidikan itu lebih baik dan putusan-putusan yang dikeluarkan menjawab masalah-masalah pendidikan. Karena selama ini, lanjutnya, kurang lebih 4-5 tahun terakhir masalah akses perolehan pendidikan oleh masyarakat masih saja sulit. ”Persentase 20% ini jangan-jangan hanya kebohongan belaka, yang mana 20 persen ini bukan semuanya untuk pelayanan pendidikan. Namun terindikasi akan ada pengurangan-pengurangan untuk gaji guru, belanja operasional yang lainnya, akhirnya akan mempengaruhi belanja untuk pendidikan yang semestinya,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu koalisi menuntut DPR untuk membuka proses pembahasan anggaran RAPBN 2009. Karena proses pembahasan anggaran yang tertutup membuka peluang terjadinya korupsi anggaran yang belakangan banyka melibatkan anggota DPR. Kedua, merubah prioritas anggaran dari orientasi kepada pertahanan dan keamanan ke arah pemenuhan hak-hak dasar warga terutama bidang pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Ketiga, pagu indikatif yang diberikan kementrian lembaga, tidak lagi bersifat incremental (kenaikan anggaran setiap tahun). Maka perlu dilakukan punishment kepada kementrian/ lembaga yang memiliki kinerja buruk termasuk yang memperoleh disclaimer laporan keuangan berdasar hasil audit BPK. (NORMAN SENJAYA-RATNA) Sumber Berita : ICW

Seribu Lebih Transaksi Uang Di Daerah Mencurigakan


Sumber: http://www.kompas.com
Hari/tgl: Selasa, 26 Agustus 2008

Modus Rekening Pribadi Paling Sering dilakukan
JAKARTA - Pemerintah harus berhati-hati jika ingin memacu kemampuan daerah mengelola keuangan. Pasalnya, dalam tempo delapan bulan saja, periode Januari 2008 hingga 22 Agustus 2008, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menerima sekitar 375 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM).


Kepala PPATK Yunus Husein mengungkapkan, jika dihitung sejak 2002 hingga 2008, maka temuan LKTM yang terkait dengan keuangan daerah semakin banyak. Jumlahnya sudah mencapai lebih dari 1.000 LKTM. Laporan itu tidak hanya berasal dari bank pembangunan daerah (BPD) tetapi juga bank-bank umum yang ada di daerah. "Pengalaman kami dengan pengelolaan dana pemda ini sungguh luar biasa. Selama periode 2002 sampai 2008, sudah mencapai lebih dari 1.000 LKTM," ujar Yunus dalam seminar tentang keuangan daerah dan tata kelola pemerintahan daerah di Jakarta kemarin.

Yunus menyebutkan, modus yang paling sering dilakukan dalam pengelolaan keuangan daerah sehingga menjadi transaksi yang dicurigaiadalah menggunakan rekening pribadi. "Caranya, dana APBD dipindahkan ke rekening pribadi PNS di daerah bersangkutan, setelah itu uangnya dipakai untuk kepentingan pribadi. Dana itu akan tercampur dengan dana pribadi sehingga akan sulit dipertanggungjawabkan," paparnya.

Modus lainnya adalah dana APBD digunakan untuk membeli produk-produk jasa keuangan melalui unit link misalnya membeli produk reksadana.

"Modus yang juga sering dilakukan adalah pemindahan dana APBD ke rekening pribadi melalui beberapa kali surat perintah pencairan dana (SP2D), kemudian dana yang sudah masuk ke rekening pribadi itu dikirim ke saudara-saudaranya, ada juga yang ditarik sendiri." katanya.

Kepala Humas PPATK M. Natsir Kongah menambahkan, di antara 585 kasus yang dilimpahkan PPATK ke kepolisian dan kejaksaan tahun ini, hanya 18 perkara yang sudah diputus pengadilan menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. ''Selama ini memang hanya segitu yang diputus. Namun, pantauan kami baru sebatas yang dijerat Undang-Undang Pencucian Uang,'' jelasnya. Selama ini, hasil penelusuran PPATK memang selalu diserahkan kepada kepolisian dan kejaksaan. Sebab, undang-undang memang mengamanatkan seperti itu.

Sementara itu, terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata Natsir, pihaknya tidak bersifat aktif menyerahkan laporan. Namun, PPATK akan turun tangan selama KPK meminta. ''Kami selama ini justru aktif diminta KPK. Terutama menelusuri transaksi keuangan yang diindikasi korupsi,'' jelasnya.

Dia mengungkapkan, hingga akhir Juli 2008, pihaknya telah menerima18.008 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM), 5.854.743 laporan transaksi keuangan tunai (LTKT), dan 2.452 laporan pembawaan uang tunai. Di antara jumlah itu, yang terbanyak merupakan laporan pedagang valuta asing, perusahaan efek, dan perusahaan asuransi.

Natsir juga membeberkan soal perhatian bank terkait dengan transaksi mencurigakan. Selama ini, menurut dia, 61 bank swasta sudah melaporkan 5.542 laporan transaksi mencurigakan tersebut. Sementara itu, untuk bank pemerintah, hanya ada empat bank yang mengadukan 4.240 laporan. ''Semua terus kami analisis. Nanti kalau ada yang mencurigakan, kami tindak lanjuti,'' tegasnya. (git/nw)

Baca di http://www.ppatk.go.id/berita_kini.php?nid=80

BERITA SEBELUMNYA
25-08-2008
PPATK Siap Awasi Keuangan Partai

14-08-2008
Pembalakan Diperlakukan seperti Korupsi

06-08-2008
Persoalan Dana Kampanye: PPATK TAWARKAN KPU/BAWASLU TEKEN NOTA KESEPAHAMAN

STATISTIK LAPORAN TRANSAKSI KEUANGAN MENCURIGAKAN (LTKM)


STATISTIK LAPORAN TRANSAKSI KEUANGAN MENCURIGAKAN (LTKM),
LAPORAN TRANSAKSI KEUANGAN TUNAI (LTKT)
PER 31 Juli 2008

Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM)
Jenis Pelapor Jumlah Pelapor Jumlah LTKM
Bank 127 15,252
Non Bank 92 2,756
- Perusahaan Efek 24 perusahaan 157
- Pedagang Valas 26 perusahaan 1,298
- Dana Pensiun 1 perusahaan 1
- Lembaga Pembiayaan 14 perusahaan 203
- Manajer Investasi 3 perusahaan 12
- Asuransi 24 perusahaan 1,085
Total Laporan dan Jumlah LTKM 219 18,008


Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT)

PJK Pelapor Jumlah PJK Jumlah LTKT
Bank Umum 133 5,396,870
BPR 51 871
Pedagang Valas 55 3,570
Asuransi 9 118
Perusahaan Efek 3 7
CTR by FloppyDisk 453,307
TOTAL 251 5,854,743

Jumlah PJK yang melaporkan LTKT : 251

Total Jumlah LTKT

Tahun Jumlah LTKT Kumulatif
s/d 2005 1,537,605
2006 430,575 1,968,180
2007 2,360,950 4,329,130
2008 / Juli 1,525,613 5,854,743

Dapat di Baca di http://www.ppatk.go.id/statistik.php?nid=13

Tuesday, August 26, 2008

Penyidikan Suap Hampir Tuntas

Penyidikan Suap Hampir Tuntas
Selasa, 26-Agustus-2008, 07:51:19

SERANG-Penyidikan kasus dugaan suap pinjaman Pemkab Pandeglang ke Bank Jabar sebesar Rp 200 miliar hampir tuntas.
Setelah memeriksa lima tersangka dan sembilan saksi, Kejati akan melaksanakan evaluasi akhir.

Kasi Penyidikan Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Edi Dikdaya ketika dikonfirmasi, Senin (25/8), membenarkan. “Kita sudah periksa lima tersangka dan minggu ini memeriksa sembilan saksi. Setelah itu kami akan melakukan evaluasi akhir,” tukasnya. Kata dia, dalam evaluasi akhir akan ditentukan langkah-langkah penyidikan berikutnya.
Mengenai pemeriksaan pekan ini, sambung Edi akan diawali hari ini (Selasa, 26/8). Mantan Sekretaris DPRD Pandeglang Sukran, Kabag Persidangan pada Sekretariat DPRD Pandeglang Bambang Eka P, dan anggota DPRD Pandeglang asal PKS Hudaedin Ma’mun akan diperiksa.

Selain tiga saksi itu, Kejati juga akan memeriksa enam saksi lain yang dijadwalkan menjalani pemeriksaan pada Rabu (27/8) dan Kamis (28/8). “Yang diperiksa pada Rabu (27/8) adalah anggota DPRD Pandeglang asal PKS yaitu Hidayat Rahman, Nurul Wasiah. Kamis (28/8), tiga saksi yaitu mantan Kepala Bagian (Kabag) Tata Usaha BPKD Pandeglang Bambang Yulenin Trimanto dan anggota DPRD Pandeglang asal PDIP Johan dan asal Golkar Suherman Afandi,” terang Edi.

Namun berdasarkan sumber di Kejati, Wakil Ketua DPRD Pandeglang Aris Turisnadi juga akan memberikan kesaksian lanjutan karena kesaksiannya pada Kamis (21/8) masih kurang.

Pemeriksaan terhadap para saksi, sambung Edi untuk mendalami informasi dan data yang sudah diperoleh sejak penyelidikan atau pemeriksaan pertama. “Pemeriksaan ini untuk pendalaman-pendalaman saja,” pungkasnya.Radar Banten(dewi)

Sunday, August 24, 2008

Adik Ratu Atut Chosiyah Dipanggil Kejaksaan

Adik Ratu Atut Chosiyah Dipanggil Kejaksaan

Kompas Minggu, 24 Agustus 2008 | 18:22 WIB

TANGERANG, MINGGU - Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang menjadwalkan akan memanggil adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Heri Wardana alias Wawan terkait dugaan kasus korupsi pembangunan RSUD Balaraja.


Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejari Tangerang, Rakhmat Haryanto, Minggu (24/8) mengatakan, jadwal pemanggilan adik pejabat nomor satu di Provinsi Banten tersebut pada Senin (25/8).

"Wawan seharusnya memenuhi panggilan Kejari Tangerang pada Jumat (22/8) kemarin, namun berhalangan hadir karena harus menghadiri rapat Gabungan Pengusaha Konstruksi (Gapensi) Provinsi Banten," ungkapnya.

Haryanto mengatakan, Wawan akan dipanggil dalam kapasitasnya sebagai saksi dalam dugaan tindak pidana korupsi pembangunan RSUD Balaraja, Kabupaten Tangerang.

Sebelumnya, Kejari Tangerang telah menetapkan lima tersangka yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi pembangunan rumah sakit pemerintah yang menghabiskan dana dekonsentrasi APBN 2006 sebesar Rp14,115 milyar tersebut.

Kelima tersangka tersebut antara lain, Kepala Dinas Kesehatan (Dinskes) Provinsi Banten, DBS, Pejabat Pembuat Komitmen Dinkes Provinsi Banten, NA, Direktur kontraktor proyek PT Glindingmas Wahana Nusa sebagai kontraktor proyek, JC, Kepala Proyek, DW dan konsultan pengawas proyek dari PT Cipta Sarana Mitra, AS.

Modus operandi yang dilakukan para tersangka yakni membuat laporan palsu secara bersamaan tentang kemajuan pembangunan RSUD Balaraja. Laporan kemajuan pembangunan tersebut untuk mencairkan dana ke Dinkes Provinsi Banten sebesar Rp 14,115 milyar padahal laporan kemajuan proyek tidak sesuai dengan bangunan fisiknya.

Kejaksaan menemukan hasil pengumpulan data dan survey lokasi yang menunjukkan sejumlah bangunan fisik tidak sesuai dengan laporan kemajuan proyek, di antaranya toilet, keramik lantai, saklar dan jaringan listrik.

Namun demikian, Haryanto menjelaskan, pemanggilan Wawan tersebut bersifat tidak mengikat dan akan mengubah penanganan kasus yang sudah mencapai tahap penyidikan itu. "Pemanggilan Wawan juga didasarkan keterangan tersangka JC, yang menyebut nama Wawan. Namun belum diketahui jelas peranan Wawan pada pembangunan RSUD Balaraja."

Selain itu, Kejari Tangerang juga akan memanggil Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang, Hani Heryanto terkait perencanaan dan pembangunan rumah sakit milik Kabupaten Tangerang tersebut.

Aris Siap Jadi Tumbal Asal Pandeglang Lebih Maju

Aris Siap Jadi Tumbal Asal Pandeglang Lebih Maju
Minggu, 24-Agustus-2008, 05:34:32 65 clicks

Dugaan Suap Pinjaman Pemkab ke Bank Jabar Rp 200 M

Penyidikan kasus dugaan suap di DPRD Pandeglang terkait pinjaman Pemkab Pandeglang ke Bank Jabar-Banten Rp 200 M telah menelorkan lima tersangka. Tetapi masih banyak yang bertanya-tanya, apakah Kejati Banten akan menujukkan taringnya untuk mengungkap aktor suap tersebut?


ADE JAHRAN – Pandeglang

Semula jumlah tersangka dalam kasus suap itu sebanyak empat orang bahkan mereka ditahan yakni HM Acang (ketua dewan), A Wadudi Nurhasan (wakil ketua dewan), mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Abdul Munaf dan mantan Kepala Seksi Perkreditan dan Pemasaran Bank Jabar-Banten Cabang Pandeglang Dendy Darmawan.
Satu lagi nama tesangka yang diumumkan Kejati adalah Aris Turisnadi (wakil ketua dewan) yang memang saat ini sedang ditahan di Rutan Pandeglang karena tersangkut kasus KUT.

Mencuatnya dugaan suap di DPRD Pandeglang ini sebenarnya muncul dari Aris Turisnadi yang saat itu baru ditahan oleh Kejari Pandgelang karena kasus KUT. Pada saat itu (sebelum sidang di PN Pandeglang), Aris mengatakan bahwa ada suap di DPRD Pandeglang dalam pinjaman pemkab ke Bank Jabar-Banten Rp 200 M.

Spontan saja, pernyataan Aris itu menjadi buah bibir di kalangan masyarakat termasuk media. Ditambah lagi dengan gencarnya laporan Aliansi Masyarakat Pandeglang Menggugat (AMPM), ditambah demo dari sejumlah elemen masyarakat. Kini masyarakat menunggu pihak Kejati Banten untuk melakukan gebrakan mengungkap pemberi suap sebenarnya. Karena logikanya, tidak mungkin mantan Kepala BPKD Pandeglang Badul Munaf yang saat ini ditahan dan disebut-sebut orang yang menyerahkan uang suap, tanpa ada yang menyuruh.

Kini bola panas berada di Kejati Banten yang dipimpin Lari Gau Samad.
Lalu apa reaksi Aris Turisnadi ketika mengetahui dirinya sebagai tersangka? Kepada Radar Banten, Aris mengaku tidak mempermasalahakan status dirinya yang menjadi tersangka. Dengan nada pelan, Aris siap menjadi tumbal dalam kasus tersebut. Ia mengaku ikhlas dan pasrah dengan kondisi yang sedang dialaminya. “Saya siap jadi tumbal. Yang penting adalah Pandeglang lebih maju dan tidak dipimpin oleh orang munafik dan serakah,” kata Aris.

Dijelaskan Aris, dalam perkara suap, dirinya siap membeberkan kronologis sebenarnya sesuai yang dia ketahui kepada kejaksaan. “Uang suap atau kompensasi pinjaman itu merupakan kesepakatan antara pimpinan eksekutif dan legislatif. Bahkan pembicaraan soal uang tersebut dilakukan di Pendopo,” terang Aris.

Ia berharap, ke depan Pandeglang lebih maju sehingga masyarakat menikmati hasil pembangunan. Karena saat ini tidak banyak masyarakat yang menikmati pembangunan. Tetapi sebaliknya, pundi-pundi pembangunan dinikmati oleh kelompok tertentu.
Terpisah, Ketua AMPM Pandeglang Suhada mengatakan, dirinya masih ragu dengan komitmen Kejati Banten yang hanya memroses suap dari kulitnya saja. Bahkan Kejati dinilai tidak serius menangani kasus itu. Misalnya surat izin pemeriksaan Bupati dan Wakil Bupati Pandgelang yang hingga kini belum ada, termasuk tanda terima surat itu juga tidak pernah dibuka oleh Kejati. Ia menduga, jangan-jangan Kejati Banten yang menggembor-gemborkan surat izin pemeriksaan itu sudah di Kejagung bohong belaka.
“Padahal kami melaporkan ke KPK dan kejaksaan bukan soal suap, tetapi penggunaan pinjaman Rp 200 miliar yang diduga sarat korupsi, karena suap itu hanya pintu atau pembuka saja,” katanya. (*)Radar Banten

Usut Pengunaan Pinjaman Rp 200 Miliar

Usut Pengunaan Pinjaman Rp 200 Miliar
Senin, 18 Agustus 2008


Jadikan Kasus Suap Sebagai Pembuka

PANDEGLANG – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar geram dengan Penahanan Ketua DPC Partai Golkar yang juga Ketua DPRD Pandegalng HM Acang. Partai berlambang pohon beringin ini pun meminta Kejaksaan Tinggi Banten tidak hanya mengusut kasus suap, tapi juga penggunaan uang pinjaman Rp 200 miliar yang diduga banyak diselewengkan.


”Kasus suap memang perlu diusut. Tapi ingat, itu belum masuk substansi. Masalah yang lebih penting adalah soal pengunaan dana pinjaman Rp 200 miliar. Apakah betul uang itu digunakan untuk membangun infrastruktur,” kata Koordinator Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Golkar Tb. Ace Hasan Syadzily kepada wartawan di Pandeglang, Kamis (14/8) lalu.

Menurut Ace, jika benar memang ada tindakan penyuapan untuk melicinkan pinjaman daerah Rp 200 miliar, itu berarti Pemkab tidak didorong oleh itikad baik dalam melakukan pinjaman. Karenanya perlu audit serius soal penggunaan dana tersebut.

”Jangan-jangan uangnya tidak untuk membangun, tapi disalahgunakan oleh orang atau kelompok tertentu,” ujar Ace.

Indikasi penyalahgunaan uang pinjaman dari Bank Jabar itu, menurut Ace, memang cukup nampak. Hal itu bisa dilihat dari minimnya pembangunan infrastruktur di Pandeglang setelah mendapat pinjaman. Padahal, uang pinjaman itu digunakan oleh Dinas Pendidikan sebesar Rp 47 miliar untuk membangun gedung SD, dan Rp 153 oleh Dinas PU untuk membangun infrastruktur jalan dan jembatan.

”Tapi lihat sekarang, masih banyak jalan dan gedung SD yang rusak. Ini kan aneh. Makanya penyidik Kejati harus tertantang untuk mengusut dugaan penyelewengan dana pinjaman itu, bukan hanya kasus suapnya,” kata Ace.

Terlepas dari itu, lanjut Ace, terungkapnya dugaan suap setidaknya menjadi shock therapy agar pengambil kebijakan tak seenaknya membuat kebijakan. ”Hikmah ini yang bisa diambil dari penanganan kasus suap,” tandasnya.

Menyangkut kasus yang menimpa HM Acang, Tb Ace menyatakan hingga saat ini pihaknya belum menerima laporan kronologis kasus yang menimpa HM Acang dari DPD Golkar Banten.

”Yang jelas DPP Golkar tidak akan membiarkan kasus hukum Pak Acang terlunta-lunta tanpa kejelasan. DPP akan terus mendampingi, tentunya dengan bersandar pada hukum,” katanya.

Di tempat terpisah, Iman, Ketua Front Hizbullah—salah satu ormas selalu memantau perjalalan hukum kasus suap—mengaku senang dengan perkembangan kasus suap yang sudah menahan empat tersangka. Namun, ia mengaku belum cukup puas. Lantaran penahanan ini belum mengakhiri kontroversi peminjaman daerah sebesar Rp 200 miliar ke Bank Jabar Cabang Pandeglang.

“Yang kami khawatirkan ini hanya sebatas penghibur rakyat. Untuk itu kami membentuk tim khusus pemantau yang selalu memantau kasus ini agar kinerja aparat hukum tidak mencla-mencle dalam pengusutan. Ada 4 – 5 tim yang diturunkan ke kejaksaan, tim itu di bagi dalam 4 sift,” ungkapnya.

Terkait huhkuman yang layak diberikan jika nanti para tersangka terbukti bersalah, Iman meminta penegak hukum mengganjar hukuman yang seberat-beratnya kepada mereka.

Hal senada diungkapkan Iwan, seorang warga Pandeglang yang mengaku banyak mengikuti perkembangan kasus ini. Bahkan, Iwan meminta aparat hukum segera menyita aset-aset milik para tersangka jika terbukti didapat dari hasil korupsi. Menurutnya, kejadian ini telah mencoreng masyarakat Pandeglang yang terkenal dengan julukan Kota Santri dan Kota Berkah.

“Ini memalukan sekali. Kalau bisa mereka dihukum seberat-beratnya supaya jera,” imbuhnya.

Di tempat terpisah, Selasa (12/8) malam, Kejati Banten langsung menahan empat tersangka dugaan kasus pinjaman Pemkab Pandeglang kepada Bank Jabar sebesar Rp 200 miliar. Mereka adalah Ketua DPRD Pandeglang HM Acang, Wakil Ketua Wadudi Nurhasan, mantan Kepala BPKD Pandeglang Abdul Munaf dan mantan Kepala Seksi Perkreditan dan Pemasaran Bank Jabar Pandeglang Dendy Darmawan.

Acang dan Wadudi ditahan setelah menjalani pemeriksaan selama 15 jam. Sementara Dendy Darmawan dan Abdul Munaf datang ke Kejati sekitar pukul 22.00 WIB malam setelah keduanya dijemput oleh Kejati. Begitu sampai di Kejati keduanya diperiksa untuk memenuhi kelengkapan berkas dakwaan.

Menurut Kajati Banten, Lari Gau Samad, tim penyidik menetapkan keempat pejabat itu sebagai tersangka karena dianggap paling berperan dalam kasus dugaan suap pinjaman daerah Rp 200 miliar. Untuk memperlancar proses penyidikan mereka ditahan secara terpisah. Kajati menegaskan, pemisahan itu agar para tersangka tidak bisa bertemu dan berkomunikasi.

“Kalau mereka bisa berkomunikasi dikhawatirkan memengaruhi pemeriksaan selanjutnya dan mempengaruhi keterlibatan pengungkapan tersangka lain,” tegasnya.

TETAP BANTAH
Sementara itu, sebelum ditahan, siang harinya Acang sempat memberikan pernyataan kepada sejumlah wartawan. Ia tetap membantah adanya suap dalam proses peminjaman daerah itu. Bahkan, Acang bersumpah dirinya maupun anggota Fraksi Golkar tidak pernah menerima suap dalam proses persetujuan pinjaman Bank Jabar Rp 200 miliar.

“Saya berani sumpah. Sumpah pocong juga berani karena semua dari Golkar tak ada yang menerima. Tulis itu,” tegas Acang kepada wartawan.

Acang membeberkan, selama pembahasan anggaran di Hotel Aryaduta Imperial, Tangerang, tidak pernah menerima uang sepeserpun dari Pemkab Pandeglang. “Kalau pertemuan di Imperial memang ada, karena saat itu kami membahas anggaran dan saya sebagai ketua panitia anggaran,” katanya.

Terkait uang pinjaman daerah Rp 200 miliar yang habis sebulan setelah disetujui, Acang mengaku tidak terlalu faham. Kata dia, legislatif hanya mengawasi penggunaan uang pinjaman daerah dari laporan pembukuan yang diberikan pemerintah.

Kendati demikian, Acang mengakui ada indikasi overlapping dalam penggunaan dana pinjaman Rp 200 miliar. “Soal penggunaan uang Rp 200 miliar berdasarkan pemantauan, kami akui ada yang tidak beres. Tapi ketikdakberesan perlu dicari sebabnya, apakah disebabkan karena dana yang tidak sampai, atau sampai pada sasaran tapi dananya tidak cukup,” tegasnya. Koran Banten (HID/ENK/SYH)

Kronologis Kasus Suap di Pandeglang, Kontroversi Sejak Awal

Kronologis Kasus Suap di Pandeglang, Kontroversi Sejak Awal
Senin, 18 Agustus 2008

Demi mempercepat pelaksanaan pembangunan di Kota Santri, Pemkab Pandeglang menilai perlu melibatkan pihak perbankan agar dapat mengatasi kendala minimnya dana yang dimiliki pemerintah. Terus menuai kontroversi sejak perencanaannya, kini empat orang pejabat masuk “kerangkeng” akibat prosedur yang diduga tidak wajar. Yang lainnya pun diperkirakan akan terus menyusul.


Pada tahun 2006 Bank Jabar – Banten Cabang Pandeglang mengabulkan pinjaman daerah kepada Pemkab Pandeglang sebesar Rp 200 miliar. Atas persetujuan DPRD—melalui mekanisme yang sampai saat ini masih diperdebatkan—pinjaman sebesar Rp 200 miliar digelontorkan Bank Jabar – Banten Cabang Pandeglang dengan masa pengembalian selama empat tahun. Itu berarti pinjaman akan berakhir pada tahun 2010, bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan Bupati Pandeglang, Dimyati Natakusumah yang terpilih untuk periode kedua, setelah menjabat sejak tahun 2000.

Cairnya pinjaman dari Bank Jabar itu sempat menimbulkan secercah harapan bagi masyarakat Pandeglang terhadap pembangunan di wilayahnya. Buruknya sarana dan pra sarana pendidikan serta infrastruktur memang memerlukan penanganan “khusus” agar perkembangan wilayah yang terkenal dengan hawanya yang sejuk itu tak ketinggalan dari daerah lain, yang juga makin gencar membangun. Namun, banyak kalangan menilai pembangunan yang dibiayai dana pinjaman itu masih jauh panggang dari api.

Dugaan penyimpangan ini nampaknya sudah lama tercium oleh kalangan pergerakan di kota Badak. Puncaknya, pada bulan Desember 2007, aktifis mahasiswa dan LSM gencar melakukan aksi “parlemen jalanan” memprotes kebijakan Pemkab Pandeglang terhadap pinjaman daerah Rp 200 miliar kepada Bank Jabar. Demo ini terus berlanjut hingga April 2008. Sebelum itu, pinjaman ini juga pernah di-class action oleh dua LSM di Pandeglang.

Pada April 2008, beberapa perwakilan LSM melaporkan masalah ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Namun, KPK menyerahkan penyidikan kasus ini pada pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang, karena memang laporan ini sudah terlebih dahulu ditindaklanjuti oleh lembaga adhyaksa di Pandeglang itu. Di bulan yang sama, Kejari Pandeglang mulai melakukan pengumpulan bukti dan keterangan (Pulbuket). Dan di bulan yang sama juga, isu suap mulai mencuat nyaris berbarengan dengan ditangkapnya Wakil Ketua DPRD Pandeglang dari Fraksi PDIP, Aris Turisnadi. Aris ditahan atas tuduhan penyelewengan dana KUT.

Heboh kasus suap berlanjut di bulan Mei. Bahkan, di bulan ini beberapa anggota DPRD Pandeglang mulai berani buka kartu tentang suap. Dua anggota DPRD Pandeglang dari Partai Bulan Bintang—Ahmad Baihaki dan Asep Saepudin—mengembalikan uang ke KPK masing-masing sebesar Rp30 juta. Akhir Mei, Aris Turisnadi juga mengembalikan uang Rp 60 juta ke Kejari Pandeglang, disusul Aksan Sukroni, Ade Permata Suta, ME Kosasih, Rosyid Balfas serta beberapa anggota lainnya.
Selain mengembalikan uang yang diakui sebagai uang suap, mereka juga mengungkapkan penyimpangan dalam proses pencairan pinjaman itu. Salah satu penyimpangan itu ialah pelanggaran prosedur dengan tidak menetapkan peminjaman melalui rapat paripurna. Hasil apripurna yang digunakan untuk mencairkan pinjaman mereka tuding tidak pernah dilakukan, alias fiktif.

Kejari Pandeglang mulai melakukan penyelidikan pada bulan Juni 2008. Ditengah proses itu, KPK yang diwakili Khaidir Ramli, sempat hadir ke Kejari Pandeglang untuk mengsupervisi kasus tersebut. Tak lama setelah itu, penyelidikan kasus ini diambil alih Kejaksaan Tinggi Banten.

Juli 2008, demonstrasi lebih sering terjadi. Kali ini pun demo tak hanya dilakukan oleh kalangan aktifis dan mahasiswa. Kalangan ulama—yang merupakan golongan paling berpengarus—di Pandeglang ikut turun ke jalan menuntut penuntasan kasus ini. Pada akhir bulan Juli ini, status penyelidikan ditingkatkan ke penyidikan. Delapan calon tersangka disebut pihak Kejati, namun belum diumumkan nama tersangka secara tegas. Dalam proses ini, Kejati mengirimkan surat kepada Gubernur Banten untuk mengeluarkan ijin pemeriksaan kepada anggota dewan. Selain itu, surat ijin pemeriksaan juga dilayangkan kepada Presiden RI untuk pemeriksaan Bupati pandeglang. Surat untuk gubernur segera dibalas dengan ijin pemeriksaan, sedangkan surat ijin untuk pemeriksaan bupati pandeglang hingga kini belum jelas.

Memasuki pertengahan Agustus, pihak penyidik di Kejati Banten semakin optimis dapat memecahkan kasus ini. Hasil pemeriksaan dinilai menunjukkan adanya penyimpangan dalam proses pencairan pinjaman daerah. Meskipun sebagian pejabat “keukeuh” membantah ada suap dalam proses peinjaman daerah itu, Kejati tetap yakin berdasarkan keterangan pejabat-pejabat lain yang “kooperatif” dan mengakui adanya suap.

Akhirnya, pada tanggal 12 Agustus dua pimpinan dewan, M. Acang dan Wadudi Nurhasan dimintai keterangan oleh tim penyidik Kejati Banten. Diperiksa hingga larut malam, kedua politisi itu akhirnya ditetapkan sebagai tersangka bersama mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Pandeglang, Abdul Munaf dan mantan Kasi Perkreditan dan Pemasaran Bank Jabar Cabang Pandeglang Dendy Darmawan.

Keempat tersangka itu, diperkirakan bakal jadi awal dari terungkapnya dugaan penyimpangan pada mekanisme pinjaman daerah itu. Tak menutup kemungkinan, akan ada pejabat-pejabat lain yang menyusul mereka untuk meringkuk di “hotel prodeo”. Koran Banten (BUN/ENK)

Friday, August 22, 2008

18 Modus Operandi Korupsi di Daerah

Inilah 18 Modus Operandi Korupsi di Daerah
Kompas Jumat, 22 Agustus 2008 | 19:46 WIB

DATA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, dari tahun 2004 hingga 2008 ada 211 kasus korupsi yang diselidiki, 107 perkara penyidikan, 75 perkara penuntutan, 59 perkara telah berkekuatan hukum tetap, dan 53 perkara telah dieksekusi.

Dari ratusan kasus korupsi itu, ada 8 kelompok perkara menurut jenis Tindak Pidana Korupsi (TPK)-nya. Delapan kelompok itu adalah

(1) TPK dalam pengadaan barang/jasa yang dibiayai APBN/D

(2) TPK dalam penyalahgunaan anggaran,

(3) TPK dalam perizinan sumber daya alam yang tidak sesuai ketentuan,

(4) TPK penggelapan dalam jabatan,

(5) TPK pemerasan dalam jabatan, (6) TPK penerimaan suap,

(7) TPK gratifikasi, dan

(8) TPK penerimaan uang dan barang yang berhubungan dengan jabatan.

Selain memaparkan jenis-jenis TPK, dalam dialog dengan para kepala daerah di Gedung DPD, Jumat (22/8), Ketua KPK Antasari Azhar juga menyampaikan sejumlah modus operandi korupsi di daerah.

Berikut adalah 18 modus operandi yang dirangkum KPK:

(1) Pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk "membujuk" Kepala Daerah/Pejabat Daeerah mengintervensi proses pengadaan dalam rangka memenangkan pengusaha, meninggikan harga atau nilai kontrak, dan pengusaha tersebut memberikan sejumlah uang kepada pejabat pusat maupun daerah

(2) Pengusaha mempengaruhi Kepala Daerah/Pejabat Daerah untuk mengintervensi proses pengadaan agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung, dan harga barang/jasa dinaikkan (mark up), kemudian selisihnya dibagi-bagikan

(3) Panitia pengadaan membuat spesifikasi barang yang mengarah ke merk atau produk tertentu dalam rangka memenangkan rekanan tertentu dan melakukan mark up harga barang atau nilai kontrak

(4) Kepala Daerah/Pejabat Daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif

(5) Kepala Daerah/Pejabat Daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana/uang daerah untuk kepentingan pribadi koleganya, atau untuk kepentingan pribadi kepala/pejabat daerah ybs, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar, bahkan dengan menggunakan bukti-bukti yang kegiatannya fiktif

(6) Kepala Daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak berlaku lagi

(7) Pengusaha, pejabat eksekutif, dan pejabat legislatif daerah bersepakat melakukan ruislag atas aset Pemda dan melakukan mark down atas aset Pemda serta mark up atas aset pengganti dari pengusaha/rekanan

(8) Para Kepala Daerah meminta uang jasa (dibayar dimuka) kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek

(9) Kepala Daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan

(10) Kepala Daerah membuka rekening atas nama kas daerah dengan specimen pribadi (bukan pejabat dan bendahara yang ditunjuk), dimaksudkan untuk mepermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur

(11) Kepala Daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah yang ditempatkan pada bank

(12) Kepala Daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan yang tidak memiiki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya

(13) Kepala Daerah menerima uang/barang yang berhubungan dengan proses perijinan yang dikeluarkannya

(14) Kepala Daerah/keluarga/kelompoknya membeli lebih dulu barang dengan harga yang murah kemudian dijual kembali kepada instansinya dengan harga yang sudah di-mark up

(15) Kepala Daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan barang pribadinya menggunakan anggaran daerahnya

(16) Kepala Daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban kepada anggaran dengan alasan pengurusan DAU/DAK

(17) Kepala Daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan APBD

(18) Kepala Daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban anggaran daerah





Sunday, August 17, 2008

Kader Partai Siap Jamin Acang-Wadudi

Kader Partai Siap Jamin Acang-Wadudi
Sabtu, 16-Agustus-2008

Hal ini ditegaskan setelah keluarga politisi dari Partai Golkar dan PPP tersebut juga menyatakan senada.

Jumat (15/8), kuasa hukum HM Acang, Tb Sukatma, menginformasikan demikian melalui telepon genggamnya. Kata dia, ada 10 anggota Fraksi Golkar DPRD Pandeglang siap menjamin HM Acang yang saat ini ditahan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten di LP Kelas 2 Serang dalam kasus dugaan suap pinjaman Bank Jabar-Banten senilai Rp 200 miliar.
“Selain anggota fraksi, ada juga keluarga dan kerabat yang siap menjadi penjamin bagi Acang,” imbuhnya.

Apakah DPD I Partai Golkar Banten juga siap menjadi penjamin? Sukatma belum bisa memastikannya karena saat ini belum ada koordinasi. “Kami juga dapat kabar kalau anggota fraksi lainnya seperti PPP, juga siap menjadi penjamin,” katanya seraya menambahkan, penangguhan penahanan ini diharapkan dapat membebaskan HM Acang dari tahanan.

“Posisi klien saya ini kan penting. Bukan hanya sebagai Ketua DPRD Pandeglang, tetapi juga sebagai Ketua DPD II Partai Golkar Pandeglang. Ditahannya beliau berimbas pada roda pemerintahan maupun akselerasi partai, terutama menjelang Pemilu 2009,” kata Sukatma yang mengaku sempat mengajukan option kepada kliennya bila mau mengambil langkah untuk mempraperadilankan Kejati.

Hal senada diucapkan juru bicara keluarga Wadudi Nurhasan, Mujizatullah Abi Husen, yang dihubungi terpisah. Kata Gobang, sapaan Mujizatullah, anak dan istri Wadudi maupun 7 anggota Fraksi PPP DPRD Pandeglang juga siap menjamin.“Saat ini surat penangguhan penahanannya sedang diproses oleh kuasa hukumnya, yaitu Hadian Surachmat,” katanya.

Menanggapi akan diajukannya surat penangguhan penahanan oleh rekan serta keluarga HM Acang dan Wadudi, Kasi Penyidikan Pidsus Kejati Banten Edi Dikdaya mengatakan, hal tersebut sah karena merupakan hak kedua tersangka.“Tapi sampai saat ini kami belum menerima surat penangguhan penahanannya. Kalau pun diajukan sekarang, baru bisa diproses pekan depan karena kita liburan panjang,” tegasnya. (dew) Sbr.Radar Banten

Friday, August 15, 2008

Terdakwa Iya Perintahkan Pembayaran Lahan KP3B

Terdakwa Iya Perintahkan Pembayaran Lahan KP3B

Jumat, 15-Agustus-2008, 07:39:08

SERANG – Pembayaran lahan Mas Imal Maliki untuk Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) senilai Rp 2,4 miliar dilakukan atas perintah terdakwa Iya Sukiya.



Fakta persidangan itu mengemuka dalam kesaksian Bendahara Biro Perlengkapan Sekretaris Daerah (Setda) Provinsi Banten Nur Aisyah pada sidang dugaan korupsi pengadaan lahan KP3B di Pengadilan Negeri Serang, Kamis (14/8).

“Saya bertugas sesuai perintah atasan mengeluarkan uang Rp 2,4 miliar untuk pembayaran ke Imal Maliki,” katanya saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan perkara tersebut dengan terdakwa mantan Kabiro Perlengkapan Provinsi Banten Iya Sukiya.
Perempuan berjilbab itu menuturkan, setelah dicairkan, uang dibayarkan ke Mas Imal Maliki di Hotel Abadi, Jalan Jenderal Sudirman, Kota Serang. Kemudian, tersangka yang masih buron tersebut menyerahkan surat kuasa berikut uang Rp 500 juta untuk diserahkan kepada pengacaranya, Agus Setiawan. Mas Imal Maliki juga memberikan uang Rp 60 juta untuk Iya Sukiya.
“Uang itu saya berikan ke Pak Iya, terus saya dikasih lagi Rp 10 juta. Katanya, untuk dibagikan sebagai THR,” terang Nur Aisyah.

Mengenai syarat pembayaran, saksi tak mengetahui secara persis. Kendati demikian, dia membenarkan bila pembayaran itu tak disertai nota dinas dari pimpinan pelaksana (pinlak). “Saya pernah ingatkan Pak Iya, tapi katanya, nota dinasnya nanti menyusul. Sampai sekarang nota dinas dari pinlak itu nggak ada,” tegasnya.

Kesaksian tersebut dibantah terdakwa. Iya mengatakan, dirinya tidak pernah memerintahkan saksi untuk membayarkan uang secara bertahap kepada Agus Setiawan. “Saya juga nggak pernah tahu uang yang RP 60 juta termasuk yang Rp 10 juta untuk THR,” tukas terdakwa.
Sementara itu, sidang dengan terdakwa mantan Kasubsi Pengaturan Tanah-Tanah Pemerintah BPN Serang Beni Benardi ditunda. Pemilik lahan pertama Boenawan Yunarko yang akan dihadirkan sebagai saksi, tidak hadir. (dew).

Pekan Ini, 4 Terdakwa Kasus Squatter Dituntut
Senin, 11-Agustus-2008

SERANG – Empat terdakwa dugaan korupsi pengadaan lahan Program Pemberdayaan Masyarakat Squatter (PPMS) akan menghadapi tuntutan pada pekan ini.



Mereka adalah mantan Ketua Satker PPMS Adianto dan dua staf eks Dinas Tata Ruang dan Bangunan (DTRB) Kabupaten Serang, Edi Supriyadi dan Rudi. Juga staf Kecamatan Kasemen Roni Yuroni.

Tuntutan tersebut akan dihadapi keempat terdakwa setelah menjalani sidang selama tujuh bulan di Pengadilan Negeri Serang. “Insya Allah, tuntutan untuk dua berkas perkara squatter diperkirakan akan kami laksanakan minggu ini. Sekarang kami sedang menunggu rentut (rencana tuntutan)-nya turun dari Kejati,” ujar Kepala Seksi (Kasi) Pidana Khusus Kejari Serang Agus Kurniawan melalui telepon genggamnya, Minggu (10/8).

Dua berkas perkara squatter adalah atas nama terdakwa Adianto, Edi Supriyadi dan Rudi. Serta, berkas atas nama terdakwa Roni Yuroni. “Untuk berkas dengan terdakwa kades Margaluyu, belum kami ajukan rentutnya karena masih proses pemeriksaan saksi,” terangnya.
Sebelumnya, Adiyanto, Edi Supriyadi dan Rudi, serta Roni Yuroni mendapat dakwan primair dengan Pasal 12 huruf e UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dakwaan subsidairnya, Pasal 2 juncto Pasal 18 undang-undang yang sama.
Keempat terdakwa diduga secara bersama-sama atau sendiri memotong uang pembebasan lahan seluas 20.000 meter persegi milik lima warga Kampung Kendal, Desa Margaluyu, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Yakni Sariman, Djuhroh, Masudah, Lilis Susilowati dan Enok Nawiroh. Lahan itu rencananya akan dibangun untuk lokasi penempatan baru bagi masyarakat squatter.

Dalam sidang terungkap, uang pembebasan lahan milik Sariman dipotong Rp 56 juta, Djuhroh sekitar Rp 52 juta, Enok Rp 12 juta, Lilis sekitar Rp 18 juta dan Masudah sekitar Rp 43 juta.

Dari pemotogan uang pembebasan lahan yang diperoleh dari bantuan Asian Development Bank (ADB) sebesar Rp 600 juta itu, terdakwa Adianto mendapat bagian Rp 119 juta, Edi Supriyadi sekitar Rp 12 juta dan Rudi sekitar Rp 7,5 juta. Selain itu, Roni Yuroni dan Kades Margaluyu Maman Suratman yang juga dijadikan terdakwa (berkas terpisah) masing-masing mendapatkan bagian sekitar Rp 6 juta dan Rp 41 juta. (dew)
Sumber : Radar Banten

Wednesday, August 13, 2008

Acang, Wadudi dan Dua Pejabat Ditahan


Acang, Wadudi dan Dua Pejabat Ditahan
Rabu, 13-Agustus-2008

Kasus Dugaan Suap Pandeglang
SERANG-Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, tadi malam sekira pukul 23.45 WIB, menahan empat tersangka dugaan suap kasus pinjaman Pemkab Pandeglang kepada Bank Jabar sebesar Rp 200 miliar. Mereka adalah Ketua DPRD Pandeglang HM Acang (Golkar), Wakil Ketua Wadudi Nurhasan (PPP), mantan Kepala BPKD Pandeglang yang kini menjadi staf ahli Bupati Pandeglang, Abdul Munaf, serta mantan Kepala Seksi Perkreditan dan Pemasaran Bank Jabar Pandeglang Dendy Darmawan yang saat ini bertugas di Bank Jabar di Ciamis, Jawa Barat.

Acang dan Wadudi ditahan setelah menjalani pemeriksaan selama 15 jam yang dimulai pukul 09.00 WIB hingga pukul 23.45 WIB tadi malam. Keduanya diperiksa bersama anggota DPRD lainnya seperti Sarmala (Golkar), Dedi Mulyadi (PDIP), Lili Zaenal Arifin (PPP), M Jafar Sidik (PPP), Mulyadi Azis (PPP), dan Dadang Dardiri (PPP). Sementara Dendy Darmawan dan Abdul Munaf datang ke Kejati sekira pukul 22.00 WIB tadi malam setelah keduanya dijemput oleh Kejati. Begitu sampai keduanya turut diperiksa untuk memenuhi kelengkapan berkas dakwaan.
Berbeda dengan Acang dan Wadudi yang ditahan, enam anggota DPRD Pandeglang yang juga ikut diperiksa dibiarkan pulang setelah pemeriksaan.
Empat tersangka sekira pukul 23.45 WIB digiring masuk ke mobil tahanan. Wadudi Nurhasan dan Dendy Darmawan menaiki mobil Colt Diesel dibawa ke Rutan Serang. Abudl Munaf dibawa ke Rutan Pandeglang dengan menaiki mobil minibus. Sedangkan HM Acang naik mobil isuzu Panther dititipkan di LP Serang.
Saat digiring para tersangka sempat dicegat wartawan untuk diwawancarai namun mereka bungkam. Wadudi dan Acang memalingkan muka menghindari sorotan kamera. Salah seorang anak Wadudi, Iwan, berpesan kepada ayah agar tegar.
Tanda-tanda mereka ditahan sudah terasa saat datang tiga mobil tahanan diparkir sejajar di samping kiri kantor Kejati sejak pukul 17.00 WIB. Satu minibus dari Kejari Pandeglang dengan Nopol A 9931 K, dan dua lagi dari Kejati Kijang Isuzu Panther dengan Nopol A 277 A dan Colt Diesel Nopo A 7051 A.
Sebelum penahanan, penjagaan di sekitar Kejati makin ketat. Selain ada anggota keamanan Kejati, terlihat juga beberapa anggota Brimobda Polda Banten, Reskrim Polres Serang, dan 15 anggota dari Polres Pandeglang. Bukan itu saja, Ka Densus 88 Polda Banten AKBP Ismail Djamal dan Wakapolres Pandeglang Kompol Agus Rasyid juga tampak hadir.
Penjagaan ketat dilakukan mengantisipasi ketidakpuasan kerabat dan pendukung tersangka yang sudah memenuhi Kejati sejak pagi. Beberapa anggota Ormas juga hadir selama pemeriksaan.
Kepala Kejati (Kajati) Banten Lari Gau Samad mengatakan, penahanan empat tersangka dilakukan karena dianggap paling berperan dalam kasus dugaan suap pinjaman daerah Rp 200 miliar. Mengenai pemisahan penahanan, Kajati menegaskan, agar para tersangka tidak bisa bertemu dan berkomunikasi. “Kalau mereka bisa berkomunikasi dikhawatirkan memengaruhi pemeriksaan selanjutnya dan mempengaruhi keterlibatan pengungkapan tersangka lain,” tegasnya.
Sementara kuasa hukum HM Acang dari Bantuan Hukum dan HAM DPD I Partai Golkar Tb Sukatma mengatakan, segera mengajukan penangguhan penahanan. “Tapi kita masih berembuk dengan keluarga karena penjamin mereka, “ tukasnya.

TETAP BANTAH
Siang hari sebelum penahanan, Acang sempat mengatakan bahwa suap tidak ada. Acang bersumpah bahwa dirinya maupun anggota Fraksi Golkar tidak pernah menerima suap dalam proses persetujuan pinjaman Bank Jabar Rp 200 miliar. “Saya berani sumpah apa saja. Sumpah pocong juga berani karena semua dari Golkar tak ada yang menerima. Tulis itu,” tegas Acang kepada wartawan yang mengaku sedang berpuasa selama menjalani pemeriksaan.
Mengenai Sri Hidayati yang sudah mengembalikan uang yang diduga suap, kata Acang, tidak termasuk hitungan. “Kalau ada satu, itu tidak usah dihitung,” katanya sambil memainkan bulir-bulir tasbih warna hijau yang selalu dibawa selama pemeriksaan.
Acang membeberkan, selama pembahasan anggaran di Hotel Aryaduta Imperial, Tangerang, tidak pernah menerima uang sepeserpun dari Pemkab Pandeglang. “Kalau pertemuan di Imperial memang ada, karena saat itu kami membahas anggaran dan saya sebagai ketua panitia anggaran,” katanya.
Terkait uang pinjaman daerah Rp 200 miliar yang habis sebulan setelah disetujui, Acang mengaku tidak terlalu faham. Kata dia, legislatif hanya mengawasi penggunaan uang pinjaman daerah dari laporan pembukuan yang diberikan pemerintah. “Tapi kapan uang itu dicairkan kami tidak tahu karena wewenang pemerintah,” tegasnya.
Kendati demikian, Acang mengakui ada indikasi overlapping dalam penggunaan dana pinjaman Rp 200 miliar. “Soal penggunaan uang Rp 200 miliar berdasarkan pemantauan, kami akui ada yang tidak beres. Tapi ketikdakberesan perlu dicari sebabnya, apakah disebabkan karena dana yang tidak sampai, atau sampai pada sasaran tapi dananya tidak cukup,” tegasnya. (dew) Sumber : Radar Banten

Golkar Siapkan 9 Pengacara

Golkar Siapkan 9 Pengacara
Senin, 11-Agustus-2008
PANDEGLANG-Hari ini (Senin, 11/8) Kejati bakal memeriksa 30 anggota DPRD Pandeglang terkait dugaan suap di DPRD Pandeglang dalam proses pinjaman daerah ke Bank Jabar sebesar Rp 200 miliar. Pemeriksaan berlangsung bergiliran hingga Kamis (14/8).
Hari ini yang akan menjalani pemeriksaan adalah anggota dewan dari Fraksi Partai Golkar. Berikutnya anggota dewan dari fraksi PPP, PDIP, dan lainnya.


Plh Sekretaris DPRD Pandeglang Daryo mengaku sudah menerima surat panggilan dari Kejati untuk anggota dewan. “Benar kami sudah menerima surat panggilan dari kejaksaan dan sudah kami sampaikan kepada anggota dewan,” katanya singkat.
Pada bagian lain, DPD Partai Golkar Pandeglang telah menyiapkan sembilan pengacara dari DPP Partai Golkar yang dipimpin Gustaf Aulia dan Hadian. “Kami akan datang memenuhi panggilan Kejati. Rencananya kami didampingi oleh pengacara dari DPP,” ujar Hamami Kastura, salah satu pengurus Partai Golkar Pandeglang, kepada Radar Banten, Minggu (10/8).
Kata Hamami, akan memberikan keterangan dengan baik dan benar sesuai yang diketahui. Menurut Hatami, kader Partai Golkar yang akan diperiksa hari ini masing-masing Tb Saebatul Hamdi, Suherman, Sarmala, Sudiana Sasmita, Parman, dan dirinya sendiri. Sementara kader Golkar lainnya seperti Tb Udin Mulyadi, Sjah Suherjadi, dan Ketua DPRD yang juga Ketua DPD Partai Golkar Pandeglang HM Acang diperiksa hari berikutnya. “Sesuai jadwal kami akan diperiksa pukul 10.00 WIB. Tidak ada persiapan apa pun untuk menghadapi pertanyaan jaksa. Yang jelas bahwa suap tidak ada,” katanya.
Senada dikatakan anggota DPRD Pandeglang dari Partai Golkar Sudiana Sasmita. “Saya sudah terima surat panggilan dari kejaksaan dan Insya Allah akan datang. Mudah-mudahan saya diberi kesehatan jasmani,” paparnya. (adj)

Sumber : Radar Banten

Diperiksa 16 Jaksa
Selasa, 12-Agustus-2008 Sumber : Radar Banten

SERANG-Enam belas jaksa Kejati, Senin (11/8), memeriksa tujuh anggota DPRD Pandeglang asal Fraksi Golkar dan satu dari Fraksi PDIP.
Mereka diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan suap pinjaman daerah Rp 200 miliar.

Anggota dewan asal Partai Golkar yang diperiksa masing-masing Tb Udin Mulyadi, E Suparman, Hatami Kastura, Suherman Afandi, Tb Saebatul Hamdi, Sah Suherjadi, dan Sudiana Sasmita. Selama pemeriksaan, mereka didampingi pengacara dari Bantuan Hukum, HAM (Bakumham), dan Otda DPD I Partai Golkar Provinsi Banten di antaranya Goestaf Feriza, Ebrown Lubuk, Tb Sukatma, Deden Syukron, Syahrizal Zainudin, dan Zulhendri Hasan. Sedangkan anggota dari Fraksi PDIP yang diperiksa Maman Akh Bayan didampingi oleh pengacara Hadian Surachmat dkk.

Di sela-sela pemeriksaan, mereka enggan berkomentar kepada wartawan. Maman Akh Bayan, yang juga Ketua Fraksi PDIP, yang ditemui saat istirahat makan siang mengatakan, tidak bisa memberikan keterangan. “Ke pengacara saja, kan kita sudah didampingi,” kata wakil rakyat yang selama pemeriksaan didampingi istri ini.
Hal yang sama diucapkan Hatami Kastura. Malah Hatami mengatakan, tidak diperiksa. “Saya ke sini main saja. Tidak diperiksa,” ujarnya seraya jalan cepat-cepat setelah berjabat tangan dengan Radar Banten. Ketua Fraksi Golkar Tb Udin Mulyadi juga meminta Radar Banten menanyakan kepada pengacara.

Kepada wartawan, Goestaf Feriza mengatakan, masih mendampingi sekaligus mempelajari proses penyidikan sehingga belum bisa memberikan keterangan. “Sementara ini kami mendampingi dulu mereka saat diperiksa. Kita tidak mau mendahului penyidikan,” kata mantan kandidat ketua KNPI Banten ini.

Mengenai ada atau tidak suap sebagaimana diceritakan klien kepada pengacara, Goestaf tidak menjelaskan. “Sementara ini, kita lihat teman-teman (anggota Fraksi Golkar-red) sudah melakukan tugas,” katanya. Mengenai pemeriksaan, Goestaf mengatakan, anggota Fraksi Golkar bersaksi apa yang mereka dengar, alami, dan rasakan.

Di tempat terpisah, Kasi Penyidikan Pidsus Edi Dikdaya yang dihubungi via telepon mengatakan, hingga pukul 20.00 WIB tadi malam pemeriksaan masih berlangsung.
Sama seperti pemeriksaan sebelumnya, para anggota DPRD dicecar oleh pertanyaan seputar peraturan perundangan dan mekanisme pinjaman daerah. “Mereka juga ditanya apakah ada rapat paripurna untuk membahas pinjaman daerah atau tidak,” katanya.
Kata Edi, pemeriksaan kemarin Kejati menurunkan 16 jaksa penyidik yang dipimpin Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Yunan Harjaka. Ke-16 jaksa antara lain Hadi Arianto, Arnold Atawarman, Bambang Marwoto, Herri BS R Putra, Sukoco, Agus Widodo, Tjakra Suyana Eka Putra, Agus Chandra, Aep Saepudin, Dicky Oktavia, Mustaqim, P Permana, Suherman, Bambang Jawahir, Fachrudin, dan Indra HS. (dew)

Pengacara Aris: Tuntutan Jaksa Kabur
Kamis, 07-Agustus-2008

PANDEGLANG – Sidang kasus dugaan korupsi dana Kredit Usaha Tani (KUT) dengan terdakwa Ketua Koperasi Tani Mandiri Aris Turisnadi, berlanjut, Rabu (6/8).
Di Pengadilan Negeri Pandeglang, kuasa hukum terdakwa Syari dan Yoyo Sunaryo, bergantian membacakan pembelaan (pledoi) kliennya.
Dalam pledoinya, tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ida Rodiah dan Fitri Aisyah dianggap tidak objektif dan tendensius terhadap terdakwa. Menurut kuasa hukum Aris Turisnadi, semua tuduhan yang dialamatkan kepada kliennya tidak beralasan alias kabur.

“Terdakwa tidak makan uang KUT itu karena semua uang KUT sudah diberikan kepada masyarakat untuk kepentingan umum. Seperti membangun jalan Rp 350 juta, sewa lahan Rp 250 juta, sewa alat berat Rp 6,7 juta, pembelian beras 2,5 ton dan transportasi lainnya,” kata Yoyo Sunaryo pada sidang yang dipimpin Majelis Hakim NL Perginasari AR didampingi hakim anggota Sunarti dan Rosana Kesuma Hidayah.

Yoyo menegaskan, JPU juga dinilai tidak cermat dengan mengubah kerugian negara yakni, dari Rp 816 juta menjadi Rp 911 juta. Padahal, jaksa tidak pernah meminta audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Kami mohon kepada majelis hakim agar meneliti dan mengabulkan semua tuntutan kami, yakni membebaskan terdakwa,” ujarnya.

Usai sidang, Aris Turisnadi mengatakan, meski mengaku JPU tidak adil, dirinya tetap menerima semua tuntutan. Termasuk, vonis hukuman nantinya. “Ini cobaan dari Allah. Dan saya menerima semuanya. Saya minta maaf kepada masyarakat Pandeglang yang telah saya bohongi karena selama dua periode manjadi anggota dewan, saya hanya dagelan (lelucon-red) saja. Saya akan menebus semua dosa saya dengan mengungkap dugaan suap di DPRD Pandeglang,” ujarnya. (adj)Sumber : Radar Banten

Imal Tak Pernah Diberi Kuasa Jual Lahan
Jumat, 08-Agustus-2008

SERANG – Lahan di Desa Sukajaya, Kecamatan Curug, Kota Serang, ternyata dijual secara sepihak oleh tersangka Mas Imal Maliki.Pasalnya, pemilik lahan tersebut, Bambang Heryanto, menyatakan jika dirinya tak pernah memberikan kuasa untuk menjual lahan tersebut pada tahun 2006.


Kesaksian Bambang Heryanto diungkapkannya dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pengadaan lahan Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) di Pengadilan Negeri Serang, Kamis (7/8). Sidang dengan terdakwa mantan Kabiro Perlengkapan Pemprov Banten Iya Sukiya dan Kasi Pengaturan Tanah-tanah Pemerintah BPN Serang Beni Benardi ini dipimpin hakim Syamsi didampingi Yohanes Priyana dan Toto Ridarto.

“Saya sama sekali belum pernah memberikan kuasa ke Imal Maliki dan menandatangani surat kuasa untuknya,” tegasnya seraya menambahkan jika barang bukti surat kuasa milik Imal Maliki, palsu. Saksi juga tidak mengakui tanda tangan dalam surat kuasa tersebut miliknya.

Kesaksian itu dia buktikan dengan nomor KTP miliknya yang dibuat tahun 1996 ketika akan membeli lahan. Bahwa, berbeda dengan nomor KTP dalam surat kuasa yang dijadikan Imal Maliki untuk mengakui lahan KP3B di Bidang 152 Tahun 2002.
Pengusaha asal Kemang Timur, Kelurahan Bangka, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, ini juga mengaku tidak pernah bertemu dengan Imal Maliki. Apalagi, menjual tanahnya kepada tersangka kasus dugaan korupsi lahan KP3B yang menjadi buronan tersebut.

”Kenal sih kenal, tapi nggak ada hubungan. Bahkan, sejak tahun 1997 saya nggak pernah ketemu lagi sama Imal,” tukasnya.
Selain kepada Imal Maliki, Bambang Heryanto juga mengaku belum pernah menjual tanahnya kepada pemerintah daerah lantaran seluruh tanahnya dijualkan oleh Boenawan, rekan bisnis saksi, kepada Ratna Komalasari. “Saya juga belum pernah diklarifikasi oleh Pemda,” jelasnya.
Sementara itu, juru ukur BPN Serang Lili Hambali menyatakan jika tahun 2006 pernah mengukur Bidang 152 Tahun 2002. Pada tahun 2006 saat saksi dipindahkan ke bagian lain, Lili diperintahkan oleh Beni Benardi mengubah peta Bidang 152. Tapi, saksi menolak.
“Terus saya diajak sama Pak Beni ke kantor Pak Iya. Di sana Pak Iya ngonsep, nyoret-nyoret peta supaya saya ubah. Tapi saya tetap nggak mau karena sudah tak di bagian pengukuran. Ini yang benar, saya diperintahkan merevisi pada tahun 2006. Bukan tahun 2003,” tandasnya.
Atas kesaksiannya tersebut, Lili akan dilaporkan oleh kuasa hukum Beni Benardi, Adiya Daswanta, dengan tuduhan memberikan keterangan palsu. Asep Ahya Muzaki, Sukwan BPN Serang, yang memberikan kesaksian pada sidang sebelumnya juga diancam serupa. (dew)

Romli Ardi Mantan PR 4 Untirta

Sakit, Romli Ardie Dilarikan ke RS
Sabtu, 09-Agustus-2008

PANDEGLANG – Salah satu tersangka kasus dugaan korupsi pembayaran pohon (tegakan) lahan Untirta Romli Ardie dilarikan ke RSUD Berkah Pandeglang, Kamis (7/8) malam.
Dosen di Untirta ini mendadak sakit di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Pandeglang.
Hal ini ditegaskan Kepala Kejari Pandeglang Yessi Esmiralda kepada Radar Banten, Jumat (8/8), melalui handphone (HP)-nya. “Yang bersangkutan sakit dan harus dirawat di RSUD Berkah,” tegas Yessi.


Diketahui, selain mantan Pembantu Rektor (Purek) IV Untirta Romli Ardie, mantan Kabid Pertanahan di Dinas Pertanahan dan Lingkungan Hidup (DPLH) Pandeglang Iyan Suhaimi juga ditetapkan sebagai tersangka.

Kedua tersangka, saat ini ditahan di Rutan Pandeglang. Kasus tersebut muncul ketika Untirta meminta Pemkab Pandeglang menyediakan lahan untuk pembangunan gedung Fakultas Pertanian Untirta. Permintaan disetujui dan Pemkab Pandeglang menyediakan lahan seluas 18 hektar di Desa Kaduela, Kecamatan Cadasari, Pandeglang.
Lantaran di atas lahan tersebut telah digarap warga, Untirta mempunyai kewajiban membayar ganti rugi tegakan senilai Rp 500 juta yang diperoleh dari Pemrpov Banten.

Hanya saja, dana tersebut diduga tidak dibayarkan seluruhnya kepada warga penggarap oleh kedua tersangka sehingga negara dirugikan sekitar Rp 350 juta.
Menyinggung proses hukumnya, Yessi menyatakan, berkas perkara kasus tersebut segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Pandeglang lantaran telah rampung disusun. Hanya saja, tegas dia, lantaran Ketua PN Pandeglang sedang menjalani pelatihan di Jakarta, pelimpahan berkas ditunda.

“Bila dilimpahkan, pihak pengadilan memerlukan tanda tangan ketua pengadilan untuk memperpanjang penahanan. Untuk itu berkas kami tahan dulu. Setelah ketua pengadilan pulang, berkas dilimpahkan,” kilahnya.

Kepala Pengamanan Rutan Pandeglang Diding Alfian mengatakan, tersangka dirawat di RSUD Berkah dengan pengawalan petugas rutan dan kejaksaan. “Petugas kami dan kejaksaan tetap memantau tersangka. Ini protap yang harus dilakukan. Tersangka juga langsung diinfus oleh tim medis,” ujarnya. (adj) Sumber : Radar Banten

Thursday, July 24, 2008

Ditanya JPU, Chasan Sochib Berang

Ditanya JPU, Chasan Sochib Berang
Selasa, 22-Juli-2008, 07:49:41

Radar Banten SERANG – Senin (21/7), Direktur Utama PT Sinar Ciomas Raya Contractor (SCRC) Chasan Sochib kembali dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan lingkar dan drainase Pasar Induk Rau (PIR) di Pengadilan Negeri Serang.

Dalam sidang, dia marah besar ketika ditanya jaksa penuntut umum (JPU). Hal itu terjadi ketika salah satu JPU dalam perkara tersebut, Edi Dikdaya, menanyakan tentang bukti tertulis yang mendasari pembangunan jalan lingkar dan drainase PIR. Dengan nada tinggi, Chasan Sochib justru balik bertanya, “Ada eksekutif dan legislatif di sini nggak?.”

Edi Dikdaya tidak menanggapi pertanyaan itu lantaran pertanyaannya tidak dijawab saksi. Sikap itu justru membuat Chasan Sochib naik pitam dan menuding-nuding JPU. “Ini jelas mau membenar-benarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Ini mau menghancurkan NKRI,” tukasnya seraya meminta wartawan mencatat perkataannya dan meminta kuasa hukum Aman Sukarso, Efran Helmi Juni dan Gusti Endra, berbicara. “Ngomong, jangan diam saja,” katanya.


Perintah ini dituruti kuasa hukum, namun ketika Helmi Juni dan Gusti Endra hendak bertanya mengenai proyek PIR, Chasan Sochib marah lagi. “Geus, ulah ngomong proyek, lieur (Sudah, jangan bicara proyek, pusing-red),” tukasnya.
Melihat itu, Ketua Majelis Hakim Maenong didampingi Sabarudin Ilyas dan Toto Ridarto memutuskan untuk menghentikan kesaksian Chasan Sochib.

Sikap tersebut tidak ditunjukkannya pada awal persidangan. Menurut Chasan Sochib, pembangunan jalan lingkar dan drainase PIR adalah permintaan mantan Bupati Serang Bunyamin lantaran Pemkab Serang tidak memiliki anggaran pembangunan. Padahal, PIR akan diresmikan Presiden RI saat itu, Megawati Soekarnoputri.

Saksi menyerahkan pula bukti berupa surat tentang permohonan dari Pemkab Serang kepada Gubernur Banten untuk membantu pembayaran jalan akses 5 link PIR. Surat bernomor 620/2477/Dal_Bang tertanggal 9 Mei 2006 tersebut ditandatangani Bupati Serang Taufik Nuriman.

Dia juga menyerahkan kopian surat bernomor 170/595/DPRD tak tertanggal yang ditandatangani Ketua DPRD Kabupaten Serang Hasan Maksudi. Surat itu berisi rekomendasi dari DPRD Kabupaten Serang agar Bupati Serang memohon bantuan pembayaran jalan lingkar PIR kepada Gubernur Banten.

Kendati demikian, saksi mengakui, proyek senilai sekitar Rp 9 miliar tersebut tidak dilakukan melalui proses pelelangan. Surat Perintah Kerja (SPK), diakuinya pula tidak diterbitkan. “Kalau nunggu tender, nunggu SPK, nggak jadi diresmikan presiden. Padahal itu kan kebangggaan,” katanya.

Mantan Kabid Anggaran Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Serang Komarudin juga dihadirkan sebagai saksi. Seperti saksi-saksi sebelumnya, dia juga mengatakan jika pembayaran proyek senilai Rp 1 miliar diambil dari pos pemeliharaan jalan dan jembatan APBD Kabupaten Serang 2005. Lantaran Keputusan Gubernur Banten mengenai penggunaan bantuan block grant belum turun.

“Makanya, kita membahasnya karena kondisi saat itu adalah kondisi tidak normal atau darurat. Merujuk pada Pasal 28 ayat (4) UU RI Nomor 17 Tahun 2003, kami memutuskan untuk menerbitan Surat Keterangan Otorisasi (SKO) sebagai dasar pembayaran yang sifatnya mendahului anggaran,” terangnya sambil mengatakan, pos pemeliharaan jalan dan jembatan itu terbayar saat dana block grant dicairkan pada penetapan APBD Perubahan 2005. (dew)