Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Wednesday, July 15, 2009

Gaji Pegawai Pemprov Rp 239,41 M

Gaji Pegawai Pemprov Rp 239,41 M
Rabu, 15-Juli-2009,

SERANG – Pemprov Banten mengalokasikan anggaran sebesar Rp 239,41 miliar untuk menggaji kurang lebih 3.400 pegawai negeri sipilnya.

Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dalam Rapat Paripuna mengenai Jawaban Gubernur Terhadap Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi Atas Nota Pengantar Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Aanggran 2008, di ruang rapat Paripuna DPRD Banten, Selasa (14/7), mengungkapkan, pos belanja pegawai bersifat wajib dan mengikat.



“Dari realisasi belanja pegawai yang jumlahnya mencapai Rp 378,11 miliar, terdiri atas belanja tidak langsung sebesar Rp 239,41 miliar untuk gaji pegawai yang sifatnya wajib dan mengikat,” jelas Atut menanggapi pertanyaan Fraksi PDIP, Fraksi PAN, dan Fraksi PBR mengenai ketidakseimbangan realisasi anggaran antara belanja pegawai dan belanja publik pada Rapat Paripurna Pemandangan Umum Fraksi terhadap Nota Pengantar Gubernur Banten mengenai Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD TA 2008, Senin (13/7). Dikatakan Atut, belanja pegawai terdiri atas belanja tidak langsung dan belanja langsung.

Diketahui, jumlah alokasi anggaran bagi belanja pegawai sebesar Rp 406,59 miliar terealisasi Rp 378,11 miliar. Sedangkan belanja publik Rp 400,78 miliar terealisasi Rp 356.09 miliar. Sementara sisanya, lanjut Atut, sebesar Rp 138,70 miliar merupakan bagian dari belanja langsung untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. “Total anggaran yang dialokasikan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat berjumlah Rp 1,088 triliun,” ungkapnya.

Rapat paripurna yang dipimpin Katua DPRD Banten Ady Surya Dharma tersebut hanya dihadiri 42 anggota DPRD dari total anggota 75 orang.

Terkait gaji pegawai yang dialokasikan dalam pos belanja tidak langsung, Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Pemprov Banten Engkos Kosasih mengatakan, gaji pegawai yang dialokasikan dalam pos belanja tidak langsung dalam anggaran belanja pegawai APBD Banten 2008 teriri atas gaji pokok dan semua tunjangan yang berhak diterima PNS di Pemprov.

“Anggaran Rp 239,41 miliar itu tidak hanya untuk gaji pokok pegawai. Tapi, sudah meliputi semua tunjangan yang diterima PNS,” katanya.
Sekadar informasi, salah satu tunjangan yang rutin diterima PNS Pemprov adalah tunjangan daerah (tunda). Tunda yang diterima pegawai disesuaikan dengan pangkat dan golongan.(ila)

DPRD Banten Soroti Belanja Pegawai

DPRD Banten Soroti Belanja Pegawai
Selasa, 14-Juli-2009

CURUG - Realisasi belanja pegawai Pemprov Banten tahun 2008 yang mencapai Rp 378,11 miliar atau 93% dari total anggaran Rp 406,591 miliar menjadi sorotan anggota DPRD Banten.

Realisasi ini naik Rp 33,84 miliar atau 9,38% dibanding tahun anggaran 2007 sebesar Rp 344,27 miliar

Sejumlah fraksi di DPRD Banten dalam Rapat Paripurna Pemandangan Umum Fraksi-fraksi terhadap Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan (LPP) APBD tahun 2008 yang berlangsung di ruang Paripurna DPRD Banten, Senin (13/7), mengungkapkan, realisasi belanja pegawai Pemprov tahun 2008 mengalami peningkatan dibanding tahun 2007 yakni Rp 378,11 miliar dari sebelumnya Rp 344,27 miliar. Sedangkan, realisasi belanja barang dan jasa pada pos belanja langsung atau belanja publik hanya sebesar Rp 356,09 miliar atau hanya terserap sebesar 88,85% dari total anggaran sebesar Rp 400,78 miliar.

“Terjadi ketidakseimbangan belanja antara belanja pegawai dengan belanja publik, belanja Rp 376,116 miliar hanya untuk sekitar 3 ribuan pegawai, sementara untuk belanja masyarakat yang jumlahnya belasan juta hanya terserap Rp 356,09 miliar,” kata juru bicara Fraksi PDI P Hadi Hartono.

Kondisi tersebut, kata Hadi, menunjukkan bahwa aparatur Pemprov masih mengedepankan kepentingannya sendiri ketimbang berupaya meningkatkan pelayanan publik.
“Aparatur Pemprov masih lebih cepat dan lebih baik menyerap anggaran untuk dirinya dibanding belanja untuk masyarakat,” tegas Hadi.

Juru bicara PAN, Burhan, mengungkapkan hal serupa. Menurutnya Pemprov selama ini baru mampu menyejahterakan aparaturnya. “Kontribusi pajak daerah dari masyarakat untuk PAD sebesar 96,41% seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat,” kata Burhan.

Sementara juru bicara Fraksi PBR, Nur Iriani, mengungkapkan, anggaran yang untuk pegawai tak sesuai denga kinerjanya . Hal itu dibuktikan dengan sebagian besar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan temuan administrasi. Sumber Radar Banten(ila)

Friday, July 10, 2009

Diduga Korupsi, Sekda Kab. Tangerang Diperiksa Kejati

Diduga Korupsi, Sekda Kab. Tangerang Diperiksa Kejati

Tangerang, 10 Juli 2009

Mantan Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten Tangerang, Nanang Komara, yang saat ini menjadi Sekretaris Kota (Sekot) Tangerang Selatan (Tangsel) kembali diperiksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten. Pemeriksaan dilakukan terkait dugaan Korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) senilai Rp 2,6 Miliar pada pelaksanaan APBD tahun 2007.

Terkuaknya Kasus dugaan korupsi orang nomor 2 di Pemerintah Kotamadya Selatan itu, setelah pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten memeriksanya atas laporan tokoh Masyarakat dan LSM Komite Independent Penyelamat Anak Bangsa (LSM-Kipang) beberapa pekan lalu. Laporan tersebut, didukung dengan hasil audit dan temuan Badan Pemeriksa Keuanngan Republik Indonesia (BPK-RI) semester akhir di lingkup Setda Kabupatan Tangerang yang menemukan tidak kurang 36 item kegiatan yang diduga kuat sarat dengan penyimpangan dari jumlah 66 titik kegiatan berdasarkan SP2D dari jumlah anggaran sebesar 52 miliar.

Menurut sumber di Kejati Banten belum lama ini, mengatakan, pemeriksaan Setda Kabupaten Tangerang kini telah ditingkatkan menjadi penyidikan, Yang ditangani oleh bagian Pidana Kusus (Pidsus), Setda saat dilakukan pemeriksaan mulai sore hingga malam.”Bila hal ini telah ditangani tim pidsus maka tidak menutup kemungkinan Setda akan menjadi tersangka, dalam kasus tersebut,” ujar sumber yang enggan namanya disebut itu.

Hal senada diungkap salah seorang pejabat di lingkungan Pemkab Tangerang saat ditemui Koran Banten di ruang kerjanya. Pihaknya mengaku merasa heran anggaran bantuan sosial (bansos) tersebut terdapat dalam di pos Setda. Selama ini, kegiatan itu ada di Dinas Sosial sebagai dinas teknis.

”Maka dalam hal ini, Wartawan harus jeli melihat pos anggaran yang berpindah-pindah, apakah sudah melalui mekanisme yang benar atau belum, apalagi ada indikasi penyimpangan, Setda bukan bidangnya,” ujar pejabat itu.
Koordinator LSM Kipang, Haris AB, saat dikonfirmasi Wartawan di Jakarta, belum lama ini menegaskan, umumnya selama ini, anggaran untuk bansos ada di Dinas Sosial selaku dinas teknis yang menangani sesuai dengan tupoksinya.

Namun ironis, lanjut dia, tahun 2007 anggaran tersebut ada di pos Setda. Untuk itu terlapor Setda Kabupatn Tangerang, yang kini menjabat Setda Tangsel itu, patut dikaitkan dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001, Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, tentang pemberantasan pidana korupsi. Peraturan Pemerintah, PP RI Nomor 71 Tahun 2000, tentang tatacara pelaksanaan peran serta
Masyarakat untuk pengawasan dan mencegah pelaku tindak pidana korupsi.

Intruksi Presiden RI Nomor 15 Tahun 1983, tentang pedoman pelaksanaan pengawasan, apalagi bila dikaitkan dengan agenda Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, sedang giatnya memberantas tindak pidana korupsi, demi memulihkan perekonomian rakyat, bagi oknum yang terlibat, dapat di jerat dengan Undang-Undang tersebut. ”Sementara pelapor dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, jo Nomor 71 tahun 2000, pasal 5, tentang jaminan keamanan pelapor,” ujar Haris.

Sementara itu, Nanang Komara, hingga berita ini diturunkan belum dapat ditemui untuk dimintai tanggapannya. ”Mohon maaf, Bapak belum berkenan untuk ditemui karena beliau sangat sibuk,” ujar Haris, salah seorang ajudan Setda, dalam pesan singkatnya ketika dihubungi melalui ponselnya, minggu lalu.Sumber: Koran Banten (BJK)

Kepala Itwil Provinsi Banten Akui Keterbatasan, Integritas BPK Diragukan

Kepala Itwil Provinsi Banten Akui Keterbatasan, Integritas BPK Diragukan
Koran Banten 1 July 2009

BANTEN Kepala Inspektorat Pemerintah Provinsi Banten, Tjetje Sjamas, mengakui bahwa kinerja lembaga pengawasan yang ia pimpin memiliki banyak keterbatasan, seperti halnya jumlah petugas pemeriksa serta minimnya alokasi anggaran. Sementara kegiatan yang ada pada seluruh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di Provinsi Banten jumlahnya mencapai lebih dari 800 proyek.

“Mestinya ada penambahan personil pemeriksa dari 28 menjadi 50 orang serta penyesuaian anggaran sesuai dengan Permendagri, yakni sebanyak 1 persen dari total pendapatan daerah,” katanya kepada wartawan, Rabu sore (1/7) di ruang kerjanya.

Menurut Tjetje, akibat keterbatasan tersebut pelaksanaan pengawasan tidak memungkinkan untuk dilakukan secara menyeluruh tetapi dengan metode sampling pada kegiatan tertentu yang dianggap skala prioritas. “Saya rasa semua lembaga pemeriksa melakukan hal yang sama, begitu juga dengan kami. Tidak semua kegiatan atau proyek harus diperiksa, kami hanya mengambil sampelnya saja,” tambah Tjeje.

Namun demikian, terkait temuan BPK terhadap pelaksanaan APBD Banten tahun anggaran 2008 yang mengindikasikan kerugian daerah senilai Rp 2,9 miliar lebih yang terdapat dalam 15 proyek, menurut Tjetje, telah ditindaklanjuti hingga mencapai 90 persen. “Semua temuan yang terindikasi merugikan keuangan daerah hampir seluruhnya sudah ditindaklanjuti oleh SKPD yang tersangkut,” katanya.

Menurutnya, kalau dipersentase tindaklanjut sudah mencapai 90 persen. SKPD yang melakukan pelaksanaan 15 proyek yang telah menindaklanjuti temuan BPK adalah Dinas Kesehatan dari total kerugian daerah Rp 200 juta baru dikembalikan sebesar Rp 110 juta (pengembalian kelebihan pembayaran atas pembangunan gedung Balai Kesehatan Tenaga Kerja).

Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Permukiman dari total kerugian negara Rp 1,6 miliar baru dikembalikan Rp 70 juta (pengembalian kelebihan atas proyek jasa konsultasi pekerjaan teknis manajemen KP3B), Dinas Bina Marga dan Tata Ruang (DBMTR) dari total kerugian negara Rp 391 juta baru dikembalikan Rp 108 juta (pengembalian kelebihan volume pekerjaan pembangunan jalan Parigi-Sukamana), serta Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) dari total kerugian negara Rp 1,3 miliar sudah dikembalikan seluruhnya.

“Untuk data tindak lanjut oleh sejumlah SKPD itu rasanya sudah saya konfirmasikan dengan BPK,” jelasnya.

Sementara tentang temuan BPK tahun 2003-2007 yang juga terindikasi kerugian negara, Tjetje mengatakan, tahapan penyelesaian tindak lanjut terus dilakukan SKPD. “Kalau diprosentase belum bisa menyebutkan sebab terkadang data kita dengan data BPK tidak sama,” katanya.

Sebelumnya, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Banten meragukan kredibilitas lembaga pemeriksa keuangan seperti Itwil Provinsi Banten maupun Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia terkait dengan hasil pemeriksaan terhadap pelaksaan APBD Banten. Menurut mereka sejumlah kasus hukum yang terjadi serta kecilnya jumlah temuan mereka membuktikan jika lembaga pemeriksa kurang memiliki komitmen dalam upaya perbaikan kinerja aparatur di daerah.

Seperti dalam temuan atau LHP BPK-RI pada pelaksanaan APBD Banten tahun anggaran 2008, lembaga pemeriksa itu hanya menyebutkan indikasi kerugian daerah sebesar Rp 2,9 miliar. Mereka menilai jika temuan BPK itu aneh dan kurang sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.

“Terus terang kami ragu atas kredibilitas mereka, masa temuan mereka begitu kecil. Padahal hasil investigasi kami di lapangan serta banyaknya keluhan di masyarakat membuktikan banyaknya kasus yang terjadi dalam proses pembangunan di Banten,” ujar Ade Gogo, Koordinator LSM SIBAK Banten. Salah satunya, kata Ade, adalah proyek pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) pada Dinas Kesehatan Provinsi Banten tahun anggaran 2007 lalu.

Menurut Ade, proyek pembangunan Poskesdes yang nilai keseluruhannya mencapai puluhan miliar rupiah itu sangatlah janggal mengingat adanya proyek serupa yang bersumber dari APBD Kabupaten Lebak yang kondisinya nyaris serupa namun nilainya jauh berbeda. Per unit nilai proyek pembangunan Poskesdes APBD Lebak sekitar Rp 150 juta sementara yang dibangun oleh Provinsi Banten sekitar Rp 290 juta,” kata Ade seraya mengatakan bahwa beberapa Poskesdes produk Diskes Pemprov Banten tersebut sejak dibangun hingga saat ini ada yang belum dioperasikan.

Temuan BPK ini menurut Ade terkesan kurang ‘menggigit’ dan hanya kulit luarnya saja. Padahal jika mereka berani melaporkan fakta yang sebenarnya dan membeberkan temuannya secara maksimal, maka dipastikan akan memberikan nilai positif yang sangat besar bagi perkembangan mental aparat birokrasi, pelaku usaha dan kemajuan pembangunan di Banten. (IKA)

Suhardi Didakwa Korupsi Uang Retribusi Jaspel

Suhardi Didakwa Korupsi Uang Retribusi Jaspel
Koran Banten, 10 Juli 2009

SERANG | Sidang lanjutan dugaan korupsi jasa kepelabuhanan menghadirkan terdakwa Suhardi sebagai Kepala Subseksi Angkutan Laut Sub-Dinas Perhubungan Laut Dishub Kota Cilegon. Suhardi didakwa oleh jaksa penuntut umum (JPU) telah melakukan tindak pidana korupsi uang retribusi Jasa Kepelabuhan (Jaspel).

“Terdakwa Suhardi, bersama Marsongko (mantan Kasubdin Kelautan Dishub Kota Cilegon), Atan Rahmat (Kepala Seksi Penjagaan dan Keselamatan Subdin Kelautan Dishub Kota Cilegon) dan Hendrik Ramlan Tabunan telah melakukan tindak pidana korupsi uang jasa retribusi (jaspel). Perbuatan terdakwa itu diduga telah merugikan keuangan negara senilai Rp 6,1 miliar,” kata JPU Andri Winanto di Pengadilan Negeri (PN) Serang, Kamis (28/5).

JPU Andri juga menyatakan, perbuatan tersebut dilakukan dalam mengelola jasa retribusi Jaspel Kota Cilegon antara 2002 hingga 2004.
Berdasarkan perbuatan terdakwa tersebut, JPU Andri mendakwa Suhardi dengan dakwaan primair melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 undang-undang (UU) No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 KUHP. Subsidair pasal 3.

Sidang yang dipimpin oleh ketua majelis hakim Sabarudin Ilyas memberikan kesempatan kepada pengacara terdakwa, Anwar Supena, SH atas tuntutan JPU Andri Winanto apakah akan melakukan ekspesi. Menanggapi tuntutan JPU tesebut, pengacara terdakwa tidak akan mengajukan ekspesi. Sidang kemudian ditunda dan dilanjutkan pekan depan. Koran Banten (NUR)

SP3 Kasus RSUD Balaraja Dikecam

SP3 Kasus RSUD Balaraja Dikecam
Koran Banten, 10 Juli 2009

SERANG – Keputusan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) atas kasus dugaan korupsi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Balaraja di Kabupaten Tangerang, Banten dikecam. Keputusan itu dianggap tindakan kontroversial kejaksaan yang melawan arus pemberantasan korupsi.
“Kami menegecam keputusan SP3 kasus dugaan korupsi RSUD Balaraja. Karena itu kami mendesak Jaksa Agung mengevaluasi kinerja Kejati Banten dalam pemberantasan korupsi,” kata Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Cakra Buana Cecep Pria Irawan di Serang.

Cecep mengaku heran atas langkah Kejati mengeluarkan SP3 dengan alasan tidak ditemukan kerugian negara. Padahal jika Kejati Banten cermat melihat Undang-undang anti korupsi nomor 31/1999, sebetulnya tidak perlu ada bentuk nyata kerugian negara untuk menentukan suatu perbuatan termasuk delik korupsi atau bukan. Menurut undang-undang tersebut, kerugian negara bisa saja berupa potensi kehilangan keuntungan (potential loss).

Soal potensi kehilangan itu, tambahnya, bisa dilihat dari pembangunan rumah sakit seluas tujuh hektar itu yang tak kunjung selesai. Padahal, pembangunan sudah dimulai sejak 2005 dan telah menghabiskan dana Rp 22 miliar lebih. Bahkan, kata dia, pembangunan terkesan terbengkalai. Seharusnya, November 2008, rumah sakit tipe C ini sudah dioperasikan.

Cecep menjelaskan, dikeluarkannya SP3 dugaan korupsi RSUD Balaraja menandakan program pemberantasan tindak pidana korupsi di Provinsi Banten masih berjalan lambat dan belum maksimal. Ini disebabkan masih lemahnya komitmen dan integritas unsur penegak hukum.

Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Banten, Dondy K Soedirman mengaku telah menandatangani Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3) terhadap dugaan korupsi pembangunan RSUD Balaraja. Alasanya, karena setelah karena tidak ditemukan adanya perbuatan melawan hukum yang mengarah atau menjurus pada tindak pidana korupsi, seperti yang diatur dalam Undang-undang No31/1999 yang diubah dengan UU No20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Kasus dugaan penyimpangan RSUD Balaraja awalnya ditangani oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang, namun selanjutnya diambilalih oleh Kejati Banten pada 2008. Alasannya demi efisiensi, karena tersangka yang ditetapkan dalam kasus itu adalah pejabat dari Pemprov Banten, yakni Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten, Djadja Budy Suhardja, Pejabat Pembuat Komitmen Dinkes Provinsi Banten, Natsir Azis, Direktur PT. Glindingmas Wahana Nusa, John Chaidir, Kepala Proyek Dimas Widyatmo dan konsultan pengawas proyek dari PT. Cipta Sarana Mitra Ade Siswanto.

Mencuatnya kasus dugaan korupsi dalam pembangunan RSUD Balajara ini menyusul temuan kejaksaan akhir 2007 yang menyebutkan pembangunan RSUD yang dilaksanakan sejak 2005 tidak selesai. Padahal, secara keseluruhan anggaran pembangunan untuk RSUD senilai Rp22,275 miliar yang berasal dari APBN telah dikucurkan bertahap sejak 2005 hingga 2007.

Karena itulah. Kejari Tangerang kemudian menetapkan Djadja Budy Suhardja, Natsir Azis, John Chaidir, Widyatmo dan Ade Siswanto. menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi itu. Keputusan kejaksaan itu berdasarkan keterangan para saksi yang diperiksa dalam kasus tersebut, ditambah pengecekan di lapangan.

Dari bukti itu. Kejari Tangerang menyimpulkan ada dugaan kasus korupsi dalam pembangunan RSUD Balaraja. Para tersangka bersekongkol membuat laporan yang menyebutkan seolah-olah pekerjaan proyek sudah selesai.

Berdasarkan surat keterangan itu, seluruh dana pembangunan fisik RSUD Balaraja sebesar pp 14,115 miliar bisa dicairkan. Padahal kenyataannya pembangunan fisik RSUD baru mencapai sekitar 60 persen. Hasil pengecekan kejaksaan menunjukkan masih banyak pekerjaan yang belum diselesaikan kontraktor, misalnya pembuatan jaringan listrik di seluruh bangunan dan pembuatan kamar mandi. (ENK)

Thursday, July 9, 2009

Polda Tunggu Hasil Audit BPKP

Polda Tunggu Hasil Audit BPKP
SERANG – Untuk melengkapi berkas dan mengetahui kerugian negara dalam 3 kasus dugaan korupsi yang ditanganinya, penyidik Polda Banten masih menunggu hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“Kapan diketahui hasilnya, tidak tahu. Tapi biasanya 3-4 bulan setelah kami mengajukan permintaan audit. Satu contoh, dalam kasus RSUD Cilegon, BPKP menjanjikan hasil audit akan diberikan dalam waktu 1,5 bulan. Tapi sudah 3 bulan belum juga selesai,” kata Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Krisnandi, Kepala Satuan III Tindak Pidana Korupsi Polda Banten, melalui telepon genggamnya, Selasa (7/7).

Ketiga kasus yang diduga telah merugikan keuangan negara tersebut adalah dana bantuan penguatan modal untuk Koperasi Harapan Maju dari Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) senilai Rp 4,8 miliar pada 2004.

Dalam kasus tersebut, penyidik telah menetapkan 2 tersangka. Yakni, Yadi Supriadi sebagai Sekretaris Koperasi Harapan Maju, Sapudin sebagai rekanan Koperasi Harapan Maju dan budidaya rumput laut, Ijin alias Sadeli sebagai Ketua Koperasi Harapan Maju, Hatami sebagai Bendahara Koperasi Harapan Maju, Supendi yang diduga sebagai aktor pembobolan dana bantuan penguatan modal koperasi, mantan Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Kadis Perindagkop) Kabupaten Serang Endang Rahmat, dan Kepala Bidang Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Serang Dadang Basuki.

Kasus kedua, dugaan korupsi proyek pengadaan empat jenis alat berat di Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Serang senilai Rp 3,5 miliar pada 2007.
Dalam kasus ini, mantan Kepala DPU Kabupaten Serang berinisial AA dan mantan ketua panitia pengadaan barang dalam proyek tersebut, berinisial KSD, sebagai tersangkanya.
Kasus ketiga, terjadi di RSUD Cilegon. Kasir RSUD Cilegon berinisial YT ditetapkan sebagai tersangka lantaran dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penguapan uang pemasukan rumah sakit senilai Rp 1,3 miliar. Uang pemasukan itu diperoleh RSUD Cilegon dari biaya ruang inap, uang farmasi, dan biaya perawatan dari para pasien.

Berdasarkan keterangan Krisnandi, hasil audit BPKP itu setidaknya dapat diketahui 1-2 bulan mendatang. Mengingat permintaan audit investigatif oleh penyidik untuk kasus RSUD Cilegon telah dilakukan sejak Maret 2009. Sementara permintaan serupa untuk kasus dana penguatan modal koperasi dan pengadaan alat berat di DPU Kabupaten Serang telah dilakukan sejak Mei 2009.

Kendati nilai kerugian negara dalam ketiga kasus itu belum dapat dipastikan, Krisnandi menyatakan, jumlah tersangka dapat bertambah.
“Bisa saja tersangkanya bertambah, penyidikan kan masih berjalan. Kalau ada bukti atau keterangan dari saksi atau tersangka yang sudah ditetapkan, kenapa tidak. Untuk saat ini, tersangkanya masih itu,” pungkasnya. Sumber ; Radar Banten (don)

Thursday, July 2, 2009

Temuan BPK Ada yang Diabaikan Periode 2003-2008

Temuan BPK Ada yang Diabaikan
Periode 2003-2008

Kamis, 02-Juli-2009
SERANG-Sebanyak 16 temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sepanjang tahun 2003 hingga 2008 belum sepenuhnya ditindaklanjuti Pemprov Banten. Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK, ke-16 temuan itu didasarkan pada hasil pemeriksaan anggaran belanja maupun laporan keuangan serta pemeriksaan pengelolaan aset daerah.

Disebutkan, 16 hasil pemeriksaan itu adalah, pada tahun anggaran 2003 dari delapan saran sebesar Rp 54.748.524.500 Pemprov Banten baru mengembalikan Rp 36.461.024.500 atau menyisakan Rp 18.287.500 juta. Selanjutnya, pada tahun anggaran 2004 dari 14 saran senilai Rp 157.709.741.735 Pemprov baru menindaklanjutinya senilai Rp 147.345.071.775 dan menyisakan Rp 10.364.669.960 yang belum ditindaklanjuti.
Pada tahun anggaran 2004 dan 2005 dari 28 saran senilai Rp 90.405.383.407 Pemprov Banten baru menindaklanjuti 16 saran dengan nilai Rp 14.938.276.613, sementara delapan saran lainnya senilai Rp 75.467.106.749 belum ditindaklanjuti.

Pada tahun anggaran 2005 BPK juga memberikan saran sebanyak 49 senilai Rp 87.600.509.695. Dari 49 saran Pemprov Banten pada 2005 lalu baru ditindaklajuti 44 saran dengan nilai Rp 86.504.866.860, sedangkan lima saran lainnya dengan nilai Rp 1.095.642.835 belum ditindaklanjuti.
BPK juga memberikan saran sebanyak 18 pada tahun anggaran 2006 dengan nilai Rp 3.621.851.426. Dari 18 saran tersebut Pemprov Banten masih menyisakan 2 saran yang belum ditindaklanjuti senilai Rp 1.063.300.000.

Selanjutnya, pada tahun anggaran 2002 lalu BPK RI juga memberikan saran sebanyak 20 senilai Rp 52.481.534.863 dan belum ditindaklanjuti hingga saat ini.
Sementara itu, pada tahun anggaran 2006 sebanyak 33 saran sebesar Rp 58.010.333.392. namun, Pemprov Banten baru menindaklanjuti 21 saran dengan nilai Rp 33.972.294.339, sedangkan 12 saran lainnya dengan nilai Rp 24.038.039.053.
Saran berikutnya diberikan BPK pada APBD Banten tahun anggaran 2006 sebanyak lima saran senilai Rp 37.854.250, telah ditindaklanjuti sebanyak tiga saran dengan nilai Rp 6.180.000, sedangkan dua saran lainnya senilai Rp 31.674.250 belum juga ditindaklanjuti.

Pada tahun yang sama, BPK juga memberikan empat saran senilai Rp 5.967.383.199, baru ditindaklanjuti satu saran senilai Rp 1.344.476.317. Sedangkan dua saran dan satu saran, masing-masing senilai Rp 4.442.981.882 dan Rp 179.950.000, belum ditindaklanjuti.

Delapan saran lainnya pada 2006 juga diberikan BPK yaitu, sebesar Rp 336.132.039 baru ditindaklanjti lima saran dengan nilai Rp 336.132.039. Sementara tiga saran lainnya yang bersifat administrasi belum ditindaklanjuti.
Pada tahun 2007 dari 29 saran BPK senilai Rp 26 000.963.197 baru ditindaklanjuti sebanyak 22 saran senilai Rp 2.506.441.589, enam saran senilai Rp 23.494.521.608 dan satu saran belum ditindaklanjuti.

Pada APBD 2007, BPK juga memberikan 43 saran dengan nilai Rp 140.742.562.296, satu saran belum ditindaklanjuti senilai Rp 27.594.401. Sementara pada APBD 2008 sebanyak 21 saran disampaikan BPK dengan nilai 17.537.760.666, seluruhnya sudah ditindaklanjuti, namun belum sesuai dengan saran BPK.
Sementara itu, pada 2002-2005 pada hasil pemeriksaaan pengelolaan aset daerah BPK RI memberikan 12 saran senilai Rp 524.401.302.000. lima saran sudah ditindaklanjuti. Sedangkan lima saran lainnya senilai Rp 524.401.301.000, dan satu saran lainnya belum ditindaklanjuti.

Menanggapi belum ditindaklanjutinya temuan BPK oleh Pemprov Banten, Kepala Inspektorat Pemprov Tjetje Sjamas menyatakan, disebabkan oleh berubahnya satuan kerja perangkat daerah (SKPD), pensiun dan meninggalnya pegawai yang bertanggungjawab atas temuan tersebut.

Dihubungi terpisah, Ketua Komisi I DPRD Banten Dadang Kartasasmita mengatakan, telah beberapa kali menyampaikan rekomendasi melalui pimpinan DPRD untuk disampaikan ke Gubernur agar temuan BPK secepatnya ditindaklanjuti.
“Hanya saja ada beberapa temuan yang penyelesaiannya agak sulit seperti temuan mengenai keberadaan aset. Temuan tersebut sulit dilaksanakan karena ada beberapa aset yang sebelumnya milik Jawa Barat. sementara sertifikasi aset-aset tersebut memakan waktu lama. Akibatnya dari tahun-ke tahun temuan tersebut menjadi temukan BPK,” kata Dadang. Sumber : Radar Banten (Eka SL./ Ila)

Suhada Batal Dieksekusi

Suhada Batal Dieksekusi
Rabu, 01-Juli-2009,

PANDEGLANG – Selasa (30/6), pelaksanaan eksekusi terhadap Suhada terkait kasus penggelapan uang toga di Universitas Mathla’ul Anwar (Unma) Pandeglang tahun 2006 silam batal.

Selain atas permintaan Suhada, juga lantaran Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang masih mempelajari surat somasi dari pengacara Suhada, Razid Chaniago, terkait masalah tersebut.

“Kami masih pelajari dulu surat dari pengacara Suhada. Nantinya kami akan mengambil sikap,” ujar Yessi Esmiralda, Kepala Kejari Pandeglang, di kantornya kepada Radar Banten, Selasa (30/6).

Terkait permintaan Razid tentang perlunya fatwa Mahkamah Agung (MA) agar ada ketetapan hukum karena bila dieksekusi kali ini maka Suhada dieksekusi dua kali, Yessi tak banyak bicara. “Fatwa seperti apa? Yang jelas kami akan melaksanakan eksekusi. Tetapi Suhada melalui telepon genggamnya menghubungi saya dan minta waktu hingga tanggal 5 Juli mendatang. Makanya kita tunggu saja tanggal 5 Juli,” papar Yessi.

Terpisah, Razid Chaniago mengatakan, kliennya memang tak datang ke Kejari Pandeglang karena ingin ada kepastian hukum. “Eksekusi telah dilakukan, masa dieksekusi lagi. Negara kita negara hukum bukan negara kekuasaan yang sewenang-wenang. Kita butuh kepastian hukum dan menghargai hak asasi manusia,” papar Razid.
Ketika disinggung apakah saat ini internal kejaksaan (Kejari Pandeglang dan Kejati Banten) diadu domba oleh pihak tertentu, Razid enggan berkomentar. “Wah saya tak tahu itu. Silakan masyarakat menilainya,” katanya.

Dipaparkan Razid, pihaknya masih menunggu jawaban atas somasi yang dilayangkan ke Kejari Pandeglang, apakah menerima somasi (membatalkan eksekusi) atau tidak. Tetapi hingga saat ini pihaknya belum menerima jawaban dari kejari. “Kejari harus hati-hati dalam melakukan eksekusi ini. Dan harus segera membatalkan eksekusi ini. Bila pihak Kejari tetap melaksanakan eksekusi maka kami akan segera membawa kasus ini ke Komnas HAM. Dan kami yakin akan menang di Komnas HAM, karena hal ini (bila eksekusi dilakukan-red) melanggar HAM,” tegas Razid.

Seperti diketahui, perintah eksekusi terhadap Suhada mencuat setelah ada perintah dari Kejagung ke Kejati Banten agar melaksanakan ekskekusi terhadap Suhada yang dikenal vokal menyuarakan dugaan korupsi pinjaman Pemkab Pandeglang ke Bank Jabar senilai Rp 200 miliar.

Padahal, Suhada telah dieksekusi dalam perkara yang sama. Tetapi tiba-tiba, ada perintah dari Kejagung agar melakukan eksekusi kembali, karena eksekusi pertama dianggap ada kekeliruan jaksa dalam menafsirkan putusan pengadilan. Sumber : Radar Banten (adj)