Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Monday, October 19, 2009

Tolak Kriminalisasi Aktivis HAM dan Anti Korupsi


Rabu, 14 Oktober 2009 Seperti diketahui dua anggota badan pekerja ICW dijadikan tersangka dugaan kasus pencemaran nama baik terhadap institusi kejaksaan agung oleh kepolisian. Penetapan tersangka tersebut terjadi saat ICW melakukan advokasi terhadap kriminalisasi pimpinan KPK oleh petinggi kepolisian. Mereka dipanggil melalui surat panggilan pemeriksaan nomor 1120/X/2009-I dan 1121/X/2009-I sebagai tersangka pada 15 Oktober 2009. Surat tertanggal 9 Oktober 2009 itu mencantumkan pasal yang disangkakan, yakni Pasal 311 dan 316 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).


SERUAN MENDESAK
(URGENT ACTION)
Jakarta, 13 Oktober 2009
No : /SK/BP/ICW/X/2009

PERIHAL: TOLAK KRIMINALISASI AKTIVIS ANTIKORUPSI DAN HAM

Pemberantasan korupsi di Indonesia sedang terancam. Setelah KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dilemahkan, diserang dan dilumpuhkan oleh berbagai kepentingan, sekarang giliran masyarakat yang bergerak di advokasi antikorupsi.

Saat ini, dua aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (MABES Polri). Masing-masing bernama: Emerson Yuntho, Wakil Koordinator ICW, dan Illian Deta Arta Sari, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW. Mereka ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara, yang dijerat dengan Pasal 311 dan 316 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). (Surat No.Pol.: S.Pgl/1120/X/2009/Dit-I dan S.Pgl/1121/X/2009/Dit-I).

Terlalu banyak kejanggalan dalam penetapan tersangka ini, diantaranya:

1. Penetapan tersangka dilakukan saat ICW bersama elemen masyarakat sipil lainnya di seluruh Indonesia sedang mengadvokasi Kriminalisasi yang dilakukan terhadap dua pimpinan KPK, dan permintaan agar Kepala Bareskrim Mabes Polri dinon-aktifkan;

2. Laporan dilakukan oleh salah seorang Jaksa di Kejaksaan Agung bernama: Widoyoko, SH yang sama sekali tidak dikenal oleh kedua tersangka. Bagaimana mungkin menghina orang yang tidak dikenal?

3. Ini kasus lama. Pelaporan dilakukan sejak 7 Januari 2009. Tanpa pernah diperiksa sebelumnya sebagai terlapor ataupun saksi, tiba-tiba dua aktivis ICW ditetapkan sebagai tersangka;

4. Dasar pelaporan adalah sebuah berita di Surat Kabar Rakyat Merdeka, tanggal

5 Januari 2009. Tentu tidak mungkin menjerat narasumber dengan pasal pencemaran tertulis karena dua orang ini sama sekali tidak pernah menulis kata yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang;

5. Penjelasan lisan yang diberikan oleh dua aktivis ICW adalah upaya untuk mengawasi dan membenahi pengelolaan keuangan, khususnya pengembalian Kerugian Negara dari kasus korupsi di Kejaksaan. Tentu tidak mungkin disebut sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik.

6. Penjelasan ICW yang dinilai menghina Kejaksaan didasarkan pada: dokumen resmi Hasil Pemeriksaan Audit BPK No. 26A/LHP/XV/05/2008 Hal. 107:
“Uang pengganti kerugian negara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang sampai dengan tanggal 31 Desember 2007 belum diselesaikan di Kejaksaan Agung sebesar Rp. 5.641.859.689.688 dan USD 207,604,820.24”

Berdasarkan sejumlah kejanggalan tersebut, tentu penetapan tersangka oleh Mabes Kepolisian patut dipertanyakan. Bahkan, dalam konteks advokasi pemberantasan korupsi, preseden ini tidak berlebihan dinilai sebagai “kriminalisasi terhadap aktivis pemberantasan korupsi”. Padahal, sebagai salah satu mandat reformasi, korupsi harus diberantas tanpa pandang bulu. ICW dan semua elemen antikorupsi di Indonesia adalah bagian dari kekuatan mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi tersebut.

Selain aktivis antikorupsi, tindakan kriminalisasi juga terjadi terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Kasus terbaru menimpa Usman Hamid, Koordinator KONTRAS dan Tommy Albert Tobing, Pengacara Publik LBH Jakarta dan Muhammad Haris, Asisten Pengacara Publik LBH Jakarta. Mereka dikriminalkan saat melakukan aktivitasnya dalam hal pembelaan dan penegakan HAM. Dalam catatan LBH Jakarta, tercatat 21 aktivis yang mengalami kriminalisasi sebagi bentuk pembungkaman terhadap upaya penegakan HAM dan demokrasi.

Untuk menyikapi situasi yang kian memburuk dan berakibat fatal terhadap keberadaan pemberantasan korupsi dan upaya penegakan HAM di Indonesia, kami menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat untuk memberikan dukungan nyata yang dapat dilakukan dalam bentuk, diantaranya:

1. Aksi simpatik/kampanye atau pernyataan sikap untuk menolak kriminalisasi terhadap aktivis antikorupsi dan HAM;

2. Mengirim surat pernyataan ke:

a. Presiden Republik Indonesia
Untuk melindungi hak dan kewajiban warga negaranya untuk berperan serta dalam upaya pemberantasan korupsi dan penegakan HAM.

b. Kepala POLRI
Untuk menghentikan tindakan kriminalisasi terhadap aktivis antikorupsi dan HAM serta memberikan jaminan kemananan dan perlindungan hukum atas aktivitas yang dilakukan masyarakat dalam upaya penegakan HAM dan pemberantasan korupsi.

c. Media Massa di Indonesia

Surat harap ditujukan pada:
Soesilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia
Istana Merdeka, Jakarta 10110 Indonesia
Email : presiden@ri.go.id Fax: +62-21 345-2685 atau 380-5511 atau 5268726 or Fax Sekretariat Presiden 344-2223 Telex: 44283 BIGRA IA or 44469 DEPLU IA

Bambang Hendarso Danuri, Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Jl. Trunojoyo No. 3 Jakarta Selatan, INDONESIA
Tel: +62 21 721 8012 Fax: +62 21 720 7277 Email: polri@polri.go.id
Sekretariat Komisi III bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI)
Fax. (+6221) 5715566, email: set_komisi3@dpr.go.id

Demikian surat himbauan ini kami sampaikan. Atas dukungannya, kami ucapkan banyak terima kasih.

Hormat Kami
Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)


Danang Widoyoko
Koordinator

----------------------
Kejaksaan Tidak Cabut Laporan
Kamis, 15 Oktober 2009
Koalisi Sipil Tolak Kriminalisasi Aktivis Antikorupsi

Kejaksaan Agung tidak berniat mencabut laporannya ke Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap dua aktivis Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari. Bahkan, Kejaksaan siap untuk membuktikan kebenaran laporannya itu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Didiek Darmanto mengatakan, kejaksaan melaporkan perbuatan Emerson dan Illian yang dinilai sebagai tindak pidana. ”Kami menilai itu fitnah dan pencemaran nama baik. Yang dilaporkan sampai saat ini tidak ada komunikasi dengan kami,” katanya, Rabu (14/10) di Jakarta.

Apakah kejaksaan ingin perkara ini terus dilanjutkan hingga ke pengadilan? ”Kalau kejaksaan, ya. Ingat, bukan hanya masyarakat, Kejaksaan juga pencari keadilan. Sebagai penuntut umum pun juga mencari keadilan,” ujar Didiek lagi.

Pada 7 Januari, Kejagung melaporkan Emerson dan Illian ke Mabes Polri terkait dengan pernyataan mereka dalam berita berjudul ” Uang Perkara Korupsi Kok Malah Dikorupsi: Kenapa Duit 7 Triliun Belum Masuk Negara” di harian Rakyat Merdeka edisi 5 Januari 2009. Siaran pers tanggal 6 Januari 2009 yang ditandatangani Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung M Jasman menyebutkan, pernyataan Emerson dan Deta itu merupakan fitnah dan penghinaan terhadap institusi kejaksaan.

Illian dan Emerson dijadwalkan diperiksa sebagai tersangka pada Kamis ini. Mereka dikenai sangkaan melanggar Pasal 311 dan 316 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Soal rencana pemeriksaan itu, Didiek menolak berkomentar sebab penanganan perkara itu ada di tangan polisi. ”Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan saja belum ada, kok, dari polisi kepada jaksa,” kata Didiek.

Terkait pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya, Didiek mengakui, Kejagung sebagai institusi. Namun, laporan pada Mabes Polri dilakukan jaksa Widoyoko yang memperoleh surat perintah dari Kepala Puspenkum Kejagung, yang memperoleh delegasi dari Jaksa Agung Hendarman Supandji.

Mengenai dapat tidaknya institusi sebagai pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya, Didiek menegaskan, ”Yang menilai pengadilan.”

Tolak kriminalisasi
Di Jakarta, Koalisi Sipil membuat pernyataan bersama menolak kriminalisasi terhadap aktivis hak asasi manusia (HAM) dan antikorupsi seperti yang menimpa aktivis ICW. Kriminalisasi itu menunjukkan bahwa pemerintah saat ini meniru pola represif, antikritik, dan otoriter sebagaimana Orde Baru.

Pernyataan itu disepakati perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), dan Imparsial, Rabu.

”Penetapan Emerson dan Illian Deta sebagai tersangka dilakukan ketika lembaga mereka sangat intens mengadvokasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kriminalisasi yang dilakukan terhadap dua pimpinan KPK,” kata Direktur Manajerial Imparsial Rusdi Marpaung, yang membacakan pernyataan bersama itu.

Koordinator Kontras Usman Hamid dan dua pengacara LBH Jakarta sebelumnya juga ditetapkan sebagai tersangka ketika mengadvokasi masyarakat. ”Kriminalisasi dan penggunaan kekuatan negara untuk membungkam kerja masyarakat menggunakan pasal pencemaran nama baik adalah ancaman terhadap demokrasi,” kata Rusdi.

Jika aktivis antikorupsi dan pembela HAM mudah dijadikan tersangka, hal yang sama juga dialami masyarakat. ”Kasus Prita Mulyasari adalah contoh konkret kriminalisasi warga negara hanya karena menyampaikan keluh kesah tentang pelayanan publik,” papar Rusdi.

Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat menambahkan, kriminalisasi pembela HAM di Indonesia meningkat drastis sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa. Sampai kini sudah 21 aktivis dijadikan tersangka oleh Polri. (idr/aik)
Sumber: Kompas, 15 Oktober 2009



Sumber http://antikorupsi.org/

Saturday, October 3, 2009

Skandal Bank Century

Secara mengejutkan terungkap bahwa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menambah modal Bank Century hingga Rp. 6,76 triliun. Penambahan modal ini merupakan konsekuensi dari pengambilalihan Bank Century oleh LPS menyusul kolapsnya bank ini. Kebijakan ini sebetulnya bukan hanya mengambilalih bank, akan tetapi juga menjamin seluruh simpanan nasabah. Termasuk simpanan yang besarnya lebih dari Rp. 2 miliar. Kebijakan ini ditengarai kental dengan dugaan persekongkolan dengan pengambil kebijakan ataupun penegak hukum. Kasus ini patut dibongkar. Penanganan dugaan korupsi oleh KPK dinilai paling tepat. Hal ini, dilatarbelakangi kegagalan proses hukum mega skandal BLBI oleh Kepolisian dan Kejaksaan.

Berikut release ICW.

Press Release ICW
No: /PR/ICW/VIII/2009

KPK dan BPK Perlu Ungkap Skandal Bank Century

Secara mengejutkan terungkap bahwa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menambah modal Bank Century hingga Rp. 6,76 triliun. Penambahan modal ini merupakan konsekuensi dari pengambilalihan Bank Century oleh LPS menyusul kolapsnya bank ini. Kebijakan ini sebetulnya bukan hanya mengambilalih bank, akan tetapi juga menjamin seluruh simpanan nasabah. Termasuk simpanan yang besarnya lebih dari Rp. 2 miliar.

Kebijakan pengambilalihan ini dipertanyakan karena Pertama, tidak ada situasi yang membenarkan penyelamatan ini merupakan bagian dari kebijakan sistemik Bank Indonesia menghadapi krisis finansial global. Tidak ada ancaman rush atau penarikan dana secara tiba-tiba di perbankan Indonesia. Bank Century juga bukan bank retail yang memiliki banyak nasabah dan kantor cabang.

Kedua, dana yang dihimpun oleh Bank Century ternyata sebagian diinvestasikan ke surat-surat berharga yang tidak ada nilainya alias asetnya bodong. Dengan demikian, sejak awal bisa diperkirakan bahwa LPS pasti akan merugi karena suntikan dana untuk penyehatan perbankan tidak akan sebanding dengan aset yang diambil laih.

Kebijakan penyelamatan Bank Century lagi-lagi negara menjadi pemadam kebakaran yang ditimbulkan dari beragam bentuk dugaan penyelewenangan dan fraud di perbankan. Tanpa pengawasan, dana APBN yang dikumpulkan dari para pembayar pajak akan dipergunakan untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh praktek korupsi.

Kasus ini bukan yang pertama karena sudah ada preseden kasus skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hingga sekarang utang BLBI harus dibayar oleh negara melalui uang pembayar pajak. Bukan tidak mungkin, Skandal Bank Century bisa menjadi BLBI Jilid II bila kemudian LPS meminta dana dari negara karena hutang pemilik bank kepada nasabah ditanggung oleh negara.

Persolan lainnya, proses penyehatan Bank Century dilakukan secara tertutup. Belum ada informasi daftar nasabah yang dijamin menggunakan dana dari LPS. Ketertutupan ini akhirnya dapat memicu praktek korupsi dalam pencairan dana nasabah. Salah satu kasus yang sempat mengemuka di publik terkait dengan salah seorang petinggi Mabes POLRI, yakni dalam pencaiaran dana PT. LSB. Hal itu menunjukkan bagaimana korupsi rawan terjadi dalam kasus ini.

Laporan keuangan Bank Century yang berada di bawah pengawasan LPS menunjukkan selama 6 bulan di tahun 2009 terjadi penurunan kewajiban terhadap nasabah dalam bentuk giro dan deposito, dari Rp. 10,8 triliun pada Desember 2008 menjadi Rp. 5,1 triliun pada Juni 2009. Diduga selama 6 bulan tersebut terjadi penarikan dana nasabah dalam jumlah besar. Tidak ada informasi kepada publik padahal penarikan dana dalam jumlah besar ini berpotensi merugikan negara.

Segala persoalan Bank Century, tentu sangat mungkin mengakibatkan kerugian negara yang cukup besar. Domain LPS dan kebijakan Pemerintah untuk penyelamatan Bank Century tentu perlu diungkap lebih dalam. Sesuai dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, Institusi yang kapabel untuk melakukan pemeriksaan tentu saja adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Harapannya, akan dapat diketahui dengan lebih jernih, dimana saja Fraud terjadi, dan aturan apa saja yang dilanggar.

Jika terdapat indikasi korupsi, kami berpandangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang paling dapat dipercaya menangani kasus ini. Apalagi, nilai strategis kebijakan keuangan dan dugaan persekongkolan dengan pengambil kebijakan ataupun penegak hukum merupakan akar masalah yang patut dibongkar. Penanganan dugaan korupsi oleh KPK dinilai paling tepat. Hal ini, dilatarbelakangi kegagalan proses hukum mega skandal BLBI oleh Kepolisian dan Kejaksaan.

Oleh karena itu, ICW menyatakan sikap

1. Mendukung langkah audit yang dilakukan oleh BPK, terutama untuk menilai secara objektif kebijakan pemerintah dalam penyelamatan perbankan;
2. Mendorong transparansi kebijakan pemerintah karena dalam kasus ini pemerintah akan mengeluarkan dana dari APBN (dana pembayar pajak). Ini sudah memasuki wilayah publik sehingga pemerintah harus transparan, siapa sebenarnya pemilik simpanan di Bank Century. Transparansi tentang informasi nasabah juga sangat penting karena praktek korupsi diduga telah terjadi dalam kasus pencairan dana nasabah. Beberapa waktu lalu, seorang petinggi Mabes Polri diduga terlibat kasus korupsi. Oleh karena itu;
3. Mendorong penegakan hukum oleh KPK bila ditemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi, termasuk korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum.

Jakarta, 1 September 2009
Indonesia Corruption Watch
Sumber