Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Friday, December 28, 2007

REFLEKSI Akhir Tahun

Salam Merdeka

Sekali lagi NASIONALISME kita lahir dari proses pergulatan sejarah yang sangat panjang, bahkan tidak sedikit yang kehilangan nyawa, harta,dan sanak saudara. Nasionalisme juga lahir dari pergolakan dan perjuangan pada tingkat LOKALITAS daerah untuk membebaskan dirinya.

Memaknai kemerdekaan artinya memahami kebebasan dan tanggung-jawab, ada hak dan kewajiban yang harus dibayar dan dipenuhi. Jika dimasa sekarang dengan pajak, retribusi dan kompensasi (kebijakan) serta lainnya yang diberikan, oleh dan untuk seluruh warga masyarakat, tanpa terkecuali.

Banten sebagai sebuah propinsi baru menginjak usianya yang ke tujuh dan sebagai refleksi penutup akhir tahun 2007, mestilah terbentuk dari identitas ikatan emosional yang sama sebagai satu wilayah yang lahir melalui sejarah senasib dan sepenanggungan untuk memaknai kembali jati dirinya yang baru, yaitu memerdekakan dirinya dan bangsanya dari kemiskinan dan kebodohan serta penindasan.

Untuk itu adalah sangat bagus, jika kita kembali berpegangan tangan mengikat diri pada solidaritas sosial dan kesadaran yang baru, yaitu mampu merefleksikan diri pada cita-cita bangsa yang sejati.

Semoga

Kronos DP 14 M

Kronologis Kasus Korupsi DPRD Banten Rp.14 Miliar

Oktober- Desember 2002
PAL dan PAE tengah merampungkan draft APBD Banten 2003 dengan mengacu pada Makuda (manual keuangan daerah). Pembahasan ini telah menghabiskan dana Rp600 juta sesuai dengan alokasi dalam APBD tahun 2002. Dana ini telah habis digunakan.

16 Desember 2002,
Rapat di Hotel Imperial di Tangerang membahas gedung dewan, rumah dinas dewan. Hadir PAL yang beranggotakan 28 orang dan 3 pimpinan dewan. Menurut Sekretaris PAL, Tuti Sutiah Indra, dalam rapat ini juga dibahas besaran masing-masing yang akan diterima anggota PAL dari dana kegiatan penunjang dewan.

13 Januari 2003
DPRD Banten mengeluarkan surat izin untuk melaksanakan ibadah haji bagi Mufrodi Muchsin bin KH Muchsin dengan nomor 162/13/DPRD/I/2003. Mufrodi kembali dari tanah suci pada bulan Maret 2003.

4 Februari 2003
Hotel Bidakara, Jakarta diadakan pertemuan oleh Dirjen Otonomi Daerah Depdagri, kepala daerah dan anggota dewan seluruh Indonesia. Dalam pertemuan itu Dirjen Otda mengharuskan, seluruh APBD yang disusun daerah menggunakan sistem double entries atau kode rekening sesuai Kepmendagri No.29 tahun 2002. Hasil rapat di Hotel Bidakara ini membuat bingung Pemprov Banten dan DPRD yang telah menyusun draft APBD 2003 secara Makuda. Karena sifatnya wajib dan harus segera, diputuskan untuk menggunakan dana TT sebesar Rp 3,5 miliar untuk mengcover kegiatan perubahan cara penyusunan tersebut.

7 Februari 2003
Gubernur Banten mengirimkan surat No.900/Keu-309/2003 ke DPRD Banten untuk persetujuan menggunakan pos TT untuk bantuan penunjang kegiatan DPRD yang berkaitan dengan Kepmendagri No.29/200. Surat ini langsung dibalas pada tanggal yang sama (7/2-2003) oleh pimpinan DPRD dengan nomor surat 12.4/DPRD/45a/II/2003 yang prinsipnya menyetujui penggunaan dana itu denga mata anggaran 2.15.1.1.1150. Surat itu ditandatangani Dharmono K Lawi (Ketua).

10 Februari 2003
Gubernur Banten, Djoko Munandar menerbitkan SK No.163.1/Kep.41a-Huk/2003 tentang penggunaan dana pengeluaran tidak tersnagka untuk bantuan kegiatan DPRD berkaitan dengan Kepmendagri No.29/2002 sebesar Rp 3,5 miliar dan dibebankan pada nomor rekening 2.01.0311.5.1. Hari itu juga Bendaharawan Lili Syadeli dan Asisten Daerah (Asda) III, Dedi Djumhana membuat surat permintaan pembayaran (SPP) No.991/1/BT/I/2003 dengan lampiran kuitansi yang ditandatangani Lili Syadeli dan Tardian (alm), Sekwan Banten dan diketahui oleh Asda III, Dedi Djumhana. Kemudian Biro Keuangan menerbitkan SPMU No.931/Keu-0306/RT/2003 sebesar Rp 3,5 miliar.

11 Februari 2003
Nana Mulyana, Staf Biro Keuangan Pemprov Banten mentransfer uang itu ke rekening pribadi Tardian di Bank Jabar dengan nomor 07.03.60.000110.9. Kemudian uang itu diambil Tuti Sutiah Indra, Sekretaris Panitia Anggaran Legislatif (PAL) dengan menggunakan surat kuasa. Kemudian secara berangsur-angsur uang ini diambil oleh Tardian dan Tuty Sutiah Indra (Sekretaris PAL) untuk dibagikan kepada 28 anggota PAL.

5 Maret 2003
DPRD Banten mensahkan RAPBD menjadi APBD Banten tahun 2003 sebesar Rp1,2 triliun. Dalam APBD itu tidak terdapat pos belanja dana perumahan Rp 10,5 miliar dan kegiatan penunjang Rp 3,5 miliar. Seusai pengesahan APBD ini, Mufrodi Muchsin baru mengetahui bahwa dia sudah menerima uang ke rekeningnya yang ditransfer oleh Tardian, Sekwan Banten sebagai uang bantuan eksekutif. Dalam periode ini, muncul wacana di anggota DPRD akan meminta hak perumahan seperti yang tertuang dalam tata tertib (Tatib) yang dikompensasikan dalam bentuk uang. Alasannya, selama 3 tahun bertugas, anggota dewan belum pernah diberi fasilitas perumahan.

11 Maret 2003
Belum terjadi kesimpulan apakah dana TT dapat digunakan untuk dana perumahan. Pertemuan ini lebih membahas mekanisme dan prosedural yang benar.

19 Maret 2003
Pertemuan dengan fraksi-fraksi di ruang Sekda. Para anggota dewan mendesak Pemprov Banten agar memberikan uang tunjangan perumahan sesuai dengan haknya yang diatur dalam Tatib Banten. Dananya bisa diambil dari alokasi dana tak tesangka. Sekda Banten, Chaeron Muchsin selaku Ketua Panitia Anggaran Eksekutif (PAE) masih belum merespon secara penuh keinginan anggota dewan yang direpresentasikan oleh fraksi-fraksi. Bersamaa dengan itu, muncul wacana yang dimuat di koran-koran lokal tentang desakan dari anggota dewan untuk mengganti Chaeron Muchsin sebagai Sekda Banten karena dinilai tidak bisa diajak bekerja sama.

4 April 2003
Pertemuan di Hotel Mulia, Jakarta untuk membahas soal keinginan anggota DPRD untuk mendapatkan fasilitas rumah yang dikompensasikan dalam bentuk uang. Gubernur Banten, Djoko Munandar menolak secara halus dengan cara mempertanyakan payung hukum yang akan menaungi kompensasi itu, jika uangnya diambil dari alokasi dana tak tersangka.

11 April 2003
Di ruang gubernur, hadir Gubernur Banten Djoko Munandar dan wakilnya Atut Chosiyah, Sekda Banten Chaeron Muchsin, Kepala Biro Keuangan Heri Suheri dan pimpinan dewan (Dharmono, Muslim, Mufrodi), Ady Surya Dharma (Ketua PAL). Bahasan tentang tunjangan fasilitas rumah dinas. Asda III Dedi Djumhana; dasar pengeluaran fasilitas rumah dinas berdasarkan Tata Tertib DPRD, dikaitkan dengan pasal 7 dan pasal 12 Kepmendagri No 29 / 2002 agar anggota dewan terkumpul di ibukota provinsi untuk memudahkan jalannya pemerintahan. Di depan persidangan di Pengadilan Negeri Serang, Dedi Djumhana mengatakan. “Bila saya menjawab pada bulan April 2003, jawabannya itu pinjaman dulu dari dana TT. Tetapi bila menjawab pada bulan Desember 2003, tidak ada penggunaan dana TT karena sudah beres pertanggung jawabannya atau secara administrasi sudah diselesaikan.”

12 April 2003
Datang Tuti Sutiah Indra, Iwan Rosadi, Tardian (almarhum) meminta segera pencairan dana itu diproses.

13 April 2003
Uang tunjangan kegiatan anggota PAL DPRD Banten ditransfer melalui rekening masing-masing anggota PAL. Besarnya per anggota sekitar Rp 100 juta, total Rp 2,8 miliar. Sisanya, Rp 750 juta merupakan pembayaran pajak.

14 April 2003
Surat Gubernur Banten No.900/Keu-437/2003 permohonan persetujuan penggunaan dana TT dikirimkan ke DPRD Banten. Dalam surat itu tidak tercantum jumlah dana TT yang akan digunakan. Surat ini diterima Muslim Djamaludin, kemudian membuat disposisi ke Tardian, Sekwan Banten untuk segera menjawab surat tersebut.

15 April 2003
Surat balasan dari pimpinan DPRD Banten yang menyetujui penggunaan dana TT untuk dana perumahan. Surat itu ditandatangani Dharmono K Lawi (Ketua), Muslim Jamaluddin (Wakil Ketua) dan Mufrodi Muchsin (Wakil Ketua). Surat itu No 162.4/DPRD/172/IV/2003 yang berisi menyetujui penggunaan dana tak tersangka dengan mata anggaran 2.01.3.11.5.1.01.2. Dalam surat persetujuan pimpinan dewan itu muncul angka Rp 10,5 miliar. Kemudian, pada tanggal ini pula Gubernur Banten menerbitkan SK No.163/Kep.61-Huk/2003 tentang penggunaan dana tak tersangka untuk bantuan penunjang perumahan bagi anggota DPRD Provinsi Banten Rp 7,5 miliar.

16 April 2003
Bendaharawati, Lina Herlina dan Asda III, Dedi Djumhana menerbitkan SPP No.900/03/SPP/BT/2003 sebesar Rp 7,5 miliar. Kabag Perbendaharaan Biro Keuangan, Achmad Andy Rochandy menanandatangani surat perintah membayar uang (SPMU) No.931/Keu-1083/BT.P.III/2003 dengan lampiran kuitansi tanpa tanggal yang ditandatangani oleh Tardian (Sekwan), Lina Herlina (pemegang kas) dan Dedy Djumhana. Kemudian Nana Mulyana, staf Biro Keuangan mentransfer uang itu ke rekenign pribadi Tardian (Sekwan) dengan nomnor rekening 07.03.21.051688.1 di Bank Jabar Cabang Serang.

17 April 2003
Anggota Fraksi PKS di DPRD Banten menegur pimpinan dewan agar berhati-hati dalam soal penggunaan dana tidak tersangka. Teguran tersebut tidak pernah digubris.

18 April 2003
Gubernur Banten menerbitkan SK No.163/Kep.72-HUK/2003 untuk mengeluarkan uang bagi kompensasi dana perumahan. SK ini diproses di Biro Keuangan secara administratif.

23 April 2003
Gubernur Banten menerbitkan SK No.163.1/Kep.72-Huk/2003 tentang penggunaan uang tak tersangka untuk bantuan perumahan DPRD Banten.

27 April 2003
Pertemuan di Hotel Grand Mulia, Jakarta antara PAL dan PAE yang membahas soal fasilitas rumah dinas yang dikompensasikan ke uang.

29 April 2003
Dana perumahan ditransfer ke rekening pribadi Tardian, Sekwan DPRD Banten dengan nomor rekening 0-7.03.21.0516881 di Bank Jabar Cabang Serang. Supomo, Pembantu Pemegang Kas DPRD mencairkan uang pertama Rp 7 miliar dan kedua Rp 1,2 miliar. Uang itu diserahkan ke Tuti Sutiah Indra dan Rudolf Andup setelah diambil dari rekening pribadi Tardian. Uang itu dimasukan amplop berisi rata-rata Rp 100 juta, lalu dibagikan beserta tanda terimanya. Pembagian uang itu atas perintah Tuti. Uang itu diambil dari rekening tabungan Tardian di Bank Jabar.

19 Agustus 2003
Nota keuangan Gubernur Banten di dalam APBD perubahan mengenai pengeluaran dana Rp 10,5 miliar dan Rp 3,5 miliar dari dana tak tersangka. Nota keuangan, pertanggung jawaban dan perubahan APBD ini telah diterima oleh DPRD dan dinyatakan sah. Perubahan APBD ini dikirimkan ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan dinyatakan diterima, tidak terjadi penolakan atas APBD tersebut.

30 Oktober 2003
Sebagian anggota dewan mengembalikan uang dana perumahan karena dinilai tidak memenuhi kepatutan dan politis, melalui kas daerah dengan nomor rekening 20.104. Anggota DPRD Banten itu berasal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Desember 2003 - awal 2004
Pemberitaan tentang dana perumahan yang diduga sebagai kasus korupsi Rp 10,5 miliar semakin gencar dilansir oleh media cetak lokal maupun nasional. Akibat pemberitaan ini, seorang wartawan media cetak lokal sempat diadukan ke polisi oleh sebagian anggota DPRD Banten karena dinilai telah melakukan pencemaran nama baik. Pengaduan anggota dewan ini memicu sebagian besar wartawan yang bertugas di Banten menggelar demo ke Polda Banten. Pasalnya, sengketa pemberitaan itu tidak diselesaikan melalui Undang-undang No.40/1999 tentang pers, hanya menggunakan KUHP, sehingga wartawan yang membuat berita itu dianggap sebagai pelaku kriminal.

9 Agustus 2004
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jakarta-Banten melakukan pemeriksaan semester I tahun anggaran 2004 atas laporan keuangan Pemprov Banten tahun 2003 di Serang. Hasil pemeriksaan menyarankan pimpinan DPRD Banten agar mempertanggungjawabkan penggunaan bantuan penunjang kegiatan Rp 3,5 miliar serta memungut PPh pasal 21 sebesar Rp 525 juta dan menyetorkannya ke kas negara.

23 September 2004
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten ketika masih dijabat Kemas Yahya Rahman menerbitkan surat perintah penyidikan Nomor 398/0.6/Fd.1/09/2004 terhadap kasus dugaan korupsi DPRD Banten Rp 14 miliar. Dalam status penyelidikan, kejaksaan mengumpulkan keterangan dari Gubernur Banten Djoko Munandar, Ketua DPRD Banten Dharmono K Lawi, Wakil Ketua DPRD Banten Mufrodi Muchsin, Wakil Ketua DPRD Muslim Jamaluddin, para pejabat di Pemprov Banten dan anggota DPRD Banten lainnya. Namun Kejati belum pernah meminta keterangan Atut Chosiyah, Wakil Gubernur Banten, anak dari Chasan Sochib, tokoh kelompok dominan di Banten. Padahal dalam BAP dan keterangan anggota dewan jelas-jelas disebutkan bahwa Atut ikut dalam rapat-rapat untuk kompensasi dana perumahan dan penunjang kegiatan untuk menyusun ulang draft APBD disesuaikan dengan Kepmendagri No.29/2002.

24 September 2004
Mufordi Muchsin menitipkan uang dana perumahan untuk dikembalikan ke kas negara sebesar Rp 170 juta dari dana perumahan. Uang itu dititipkan ke Faisal Abbas sebagai pemegang kas dan diketahui Tardian (Sekwan).

4 November 2004
Kejati Banten melayangkan surat permintaan keterangan kepada tersangka korupsi. Surat ini dinilai aneh karena tidak dikenal dalam mekanisme pemeriksaan terhadap saksi atau tersangka seperti yang tercantum dalam UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.

5 November 2004
Kejati Banten mengirimkan surat ke Presiden RI dengan nomor R-169/0.6/Fd.1/11/2004 yang berisi permohonan izin melakukan tindakan kepolisian berkaitan dengan dugaan korupsi di DPRD Banten.

23 November 2004
Faisal Abbas, pemegang kas Sekretariat DPRD Banten menyetorkan pajak PPh 21 Rp 525 juta.

24 November 2004
Kepala Kejati Banten, Kemas Yahya Rahman menerbitkan surat perintah penyitaan atas barang bukti tindakan korupsi DPRD Banten dengan nomor surat 285/0.6/Fd/11/2004.

29 November 2004
BPKP melakukan pemeriksaan terhadap APBD Banten setelah BPK. Menurut Dwi Sahara, pegawai BPKP, lembaga ini menghitung kerugian negara yang berdasarkan 31 item berkas sebagai data acuan, antara lain dokumen satuan kerja, dokumen anggaran satuan kerja perubahan, surat gubernur tentang permohonan persetujuan pengeluaran dana tak tersangka, surat persetujuan DPRD, SK Gubernur Banten tentang penggunaan dana tak tersangka untuk tunjangan perumahan bagi anggota dewan, KLP hasil pemeriksaan BPKP, surat mendagri, Kepmendagri No.29/2002, nota penjelasan Gubernur Banten, SK Gubernur Banten tentang biaya sewa rumah pimpinan dewan, SMPM bendahara, daftar surat perintah pembayaran dan sebagainya.

1 Desember 2004
Tersangka korupsi DPRD Banten ditahan. Mereka dalah Dharmono K Lawi (mantan Ketua), Mufrodi Muchsin (mantan Wakil Ketua) dan Muslim Jamaluddin (mantan Wakil Ketua). Surat izin dari Presiden RI untuk pemeriksaan ketiga tersangka tersebut belum diterima oleh para tersangka.

9 Desember 2004
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono memberikan surat persetujuan dilakukan tindakan kepolisian terhadap pimpinan dan anggota DPRD Banten sesuai dengan No. R70/PRES/12/2004. Hari itu juga, Mufrodi Muchsin mengembalikan uang Rp 53 juta ke penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten sesuai dengan surat penyitaan Kepala Kejati Banten No.285/0.6/Fd.1/11/2004 tanggal 24 November 2004. Kemudian, tanggal ini juga tim pengacara yang mewakili Dharmono K Lawi mengajukan tuntutan praperadilan terhadap Kejati Banten karen dinilai sewenang-wenang, arogan dan tidak memenuhi ketentuan dalam proses penyelidikan dan penyidikan para tersangka korupsi DPRD Banten.

17 Desember 2004
Kejaksaan Tinggi Banten menetapkan Djoko Munandar, Gubernur Banten menjadi tersangka kasus korupsi DPRD Banten Rp 14 miliar.

16 Juni 2005
Majelis Hakim yang dipimpin Husni Rizal di Pengadilan Negeri Serang memvonis hukuman 4 tahun 6 bulan penjara kepada Dharmono K Lawi dan denda yang hampir mencapai Rp 490 juta. Dalam sidang yang sama, hakim ketua juga memvonis Muslim Jamaluddin dengan hukuman masing-masing 4 tahun penjara. Karena terbukti melanggar Pasal 2 junto Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 yang sudah disempurnakan menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketiga terdakwa langsung mengajukan banding. Putusan ini termuat keputusan No.52/Pid.B/2005/Pn.Srg.

7 Juli 2005
Tuti Sutiah Indra, mantan Sekretaris Panitia Anggaran Legislatif (PAL) DPRD Banten 2001-2004 divonis hukuman 1,5 tahun penjara oleh majelis hakim yang dipimpin Agusti. Tuti juga didenda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara dan denda pengganti Rp 225 juta subsider 3 bulan penjara. Vonis ini jauh di bawah tuntutan jaksa yang minta majelis hakim menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara. Tuti terbukti melakukan korupsi.

25 Agustus 2005
Pengadilan Tinggi Banten memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Serang yang menghukum ketiga terdakwa dalam kasus korupsi DPRD Banten. Namun Pengadilan Tinggi Banten mengubah status hukuman untuk tiga terdakwa korupsi Banten menjadi tahanan dalam kota. Ketiganya adalah Dharmono K Lawi, Mufrodi Muchsin dan Muslim Djamaluddin. Khusus untuk Dharmono terjadi perubahan alamat yang semula di Tangerang menjadi di Kalibata, Jakarta, yaitu rumah dinas anggota DPR RI. Dengan demikian, Dharmono tetap bisa mengantor sebagai anggota DPR RI dari Fraksi PDIP dengan status tahanan dalam kota di Jakarta. Dalam kasus ini, ketiga terdakwa langsung mengajukan kasasi.

29 September 2005
Pengadilan Tinggi Banten memperpanjang status tahanan kota bagi ketiga terdakwa.

Catatan Oktober 2005
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, Kemas Yahya Rahman berkali-kali melansir pernyataan ke media cetak lokal dan nasional serta media elektronik seperti televisi dan radio. Isi pernyataannya adalah mendesak Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono untuk menonaktifkan Djoko Munandar dari jabatannya sebagai Gubernur Banten. Alasannya, hal itu untuk memenuhi ketentuan UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dalam pasal 27-114 dan PP No.6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang menyebutkan bahwa kepala daerah yang sudah menjadi terdakwa bisa diberhentikan sementara (nonaktif) tanpa melalui usulan DPRD.

26 Oktober 2005
Tardian, mantan Sekwan DPRD Banten divonis 1 tahun penjara karena membantu terjadinya korupsi DPRD Banten sebesar Rp 14 miliar. Vonis yang dijatuhkan majelis hakim yang dipimpin Ismoyono ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.

Catatan November 2005
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan surat penonaktifan sejumlah kepala daerah di Indonesia yang tengah diperiksa dalam kasus dugaan korupsi. Dalam daftar kepala daerah itu tercantum Djoko Munandar yang dinonaktifkan sebagai Gubernur Banten.

24 November 2005
Tardian, mantan Sekwan Banten yang tengah menjalani hukuman meninggal dunia di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Serang, sekitar pukul 16.50 WIB. Dia meninggal akibat serangan jantung. Menurut para dokter di RSUD Serang, Tardian sudah tidak bernyawa ketika dibawa ke rumah sakit. Tardian dikuburkan di pemakaman keluarganya di Labuan, Kabupaten Pandeglang.

28 November 2005
Djoko Munandar, Gubernur Banten Nonaktif dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 300 juta oleh Jaksa Penuntut Umum yang dipimpin I Gede Sudiatmadja, sehari-hari Assintel Kejati Banten di Pengadilan Negeri Serang. Menurut tim jaksa, perbuatan Djoko menyebabkan kerugian negara Rp 14 miliar. Akibat perbuatannya, Djoko juga dituduh telah merusak citra instansi pemerintah, terutama Pemerintah Provinsi Banten.

21 Desember 2005
Pengadilan Negeri Serang dalam sidangnya yang dipimpin Husni Rizal menghukum Djoko Munandar, Gubernur Banten Nonaktif dengan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, serta penggantinya 3 bulan penjara. ''Dakwaan primer yang menuduh Djoko telah melakukan tindak pidana korupsi untuk memperkaya diri sendiri tidak terbukti, tetapi saudara Djoko telah mengeluarkan surat keputusan mencairkan dana APBD dari pos Tak Terduga untuk memperkaya para anggota DPRD Banten,'' kata Ketua Majelis Hakim, Husni Rizal saat membacakan amar putusannya. Dalam putusan disebutkan, Djoko Munandar tidak sepeser pun menikmati uang yang dikorupsi tersebut. Hanya Djoko dinilai tidak efisien dan tidak optimal dalam menggunakan APBD.

16 Januari 2006
Status tahanan kota bagi Dharmono K Lawi, Mufrodi Muchsin dan Muslim Djamaluddin diperpanjang untuk 30 hari berikutnya. Surat izin itu dikeluarkan Wakil Ketua Mahkamah Agung, Mariana S Nasution.

2 Februari 2006
Permohonan kasasi 3 terpidana kasus korupsi ditolak Mahkamah Agung. Dalam putusan No.40K/Pid/MA/2006 memutuskan agar ketiga terpidana diharuskan masuk ke penjara. Namun Kejaksaan Tinggi Banten baru menerima petikan putusan tersebut, sehingga belum bisa dijadikan dasar untuk melakukan eksekusi.

16 April 2006
Tim eksekusi putusan MA No.40 K melakukan penjemputan ke masing-masing rumah terpidana. Namun tidak ada satu pun yang bersedia untuk ikut tim tersebut. Mereka berjanji akan menyerahkan diri. Sedangkan Muslim Djamaludin berada di rumah sakit karena penyakitnya kambuh. Sedangkan Dharmono K Lawi dinyatakan buron karena tidak mau menyerahkan diri. Kepada para wartawan, Dharmono berjanji akan melakukan perlawanan karena putusan MA itu dinilai cacat hukum. Terbukti, statusnya sebagai tahanan kota yang berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung dan Mahkamah Agung justru tidak pernah tercatat dalam pertimbangan hukum. Ketiga terpidana itu diasumsikan masih dalam tahanan.

17 April 2006
Mufrodi Muchsin, terpidana korupsi yang masih menjabat Wakil Ketua DPRD Banten menyerahkan diri ke Lapas Serang, setelah melapor ke tim eksekusi. Mufrodi yang juga menjabat Ketua DPW PPP Banten diantar oleh sanak dan keluarganya ke Lapas Serang.

18 April 2006
Muslim Djamaluddin menyerahkan diri ke Lapas Serang setelah sempat dirawat 3 hari di Paviliun Mina, RSUD Serang karena sakit asma dan darah tingginya kambuh.

18 Mei 2006
Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat izin pemeriksaaan No.161.36/1034/sj/2006 yang ditandatangani M Ma’ruf. Surat ini berisikan izin pemeriksaan terhadap anggota dewan yang terlibat dalam kasus korupsi DPRD Banten Rp 14 miliar. Berdasarkan surat ini, Kejaksaan Tinggi Banten, Kamal Sofyan Nasution menetapkan 3 tersangka yang masing-masing Iwan Rosadi, Marzuki Raili dan Riril Suhartinah. Sedangkan 5 anggota dewan dijadikan saksi masing-masing Malawti (PDIP), Sutje Suwartini (PDIP), Hadi Hartono (PDIP), Bueti Natsir (PBB) dan Yayat Suhartono (PKS). Namun Kamal Sofyan Nasution tidak menyinggung soal kemungkinan Atut Chosiyah yang waktu itu menjabat Wakil Gubernur Banten dimintai keterangannya karena hadir dalam rapat-rapat penggunaan dana TT.

8 Juni 2006
Muslim Djamaluddin yang tengah menjalani hukuman 4 tahun penjara meninggal dunia setelah sempat dirawat di ICU RSUD Serang sejak Sabtu (3/6). Muslim meninggal karena penyakit komplikasi yang berakhir dengan serangan jantung. Hingga peristiwa ini, Dharmono tetap belum menyerahkan diri.

Desember 2006
Dharmono K Lawi ditangkap di Bandung di rumahnya. (tim)

Data Kasus Lahan Mapolda

Kasus Mark up
Pembebasan Lahan Gedung Mapolda Banten

Sejak Propinsi Banten berdiri pada tanggal 04 Oktober 2000 pembangunan suprastruktur dan infrastruktur fisik berlangsung pesat diantaranya Gedung Mapolda, DPRD Banten jalan raya dsb. Ternyata sejak saat itu pula banyak terjadi banyak dugaan kasus korupsi salah satunya pembebasan lahan gedung Mapolda ternyata bermasalah.

Pembebasan lahan didesa Banjarsari Kec. Cipocok Jaya diperuntukan bagi peningkatan status peran Kepolisian Wilayah menjadi Kepolisian Daerah Banten (Polda Banten) dengan luas sebesar 10,948 ha. Dengan ganti rugi sebesar Rp.25.344.620.000,00 atau sebesar Rp.231.500,00 per meter2.

Status kepemilikan lahan tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Tanah seluas 61.358 m2 tersebut dikuasai H.CSH.
2. Tanah seluas 33.287 m2 dikuasai Herlin Wijaya
3. Eks Tanah Bengkok milik Pemda Kab. Serang seluas 14835 m2

Sumber pendanaan tanah sebagai berikut :
1. APBD 2003
2. Pos Setda
3. Pos Dana Tak Tersangka. (?)

Pembayaran ganti rugi kepada Prof. Dr. H.Chasan Sochib dan Herlin Wijaya sebesar 21.910.317.500,00 ditandatangani untuk diterima pada bulan Mei 2003 dan diterima terakhir bulan Desember 2003 atas rekening Dana Tak Tersangka sebesar Rp.13.778.372.100,00.

Sedangkan pembayaran ke Pemda Kab. Serang sebesar Rp. 3.343.302.500,00 dengan menggunakan Surat Tanda Setoran/ Model Bend 1.dalam dua tahap melalui rekening dua tahap melalui rekening individual yaitu pemindah bukuan sebesar Rp. 3.262.587.372,00 pada tanggal 24 Juni 2003 dan setoran tunai sebesar Rp. 171.715.125,00. pada tanggal 12 Januari 2004.

Menurut Camat Cipocok ternyata harga ganti rugi tanah tersebut lebih mahal sebesar Rp. 31.500.,00 dengan harga pasaran berdasarkan rekomendasi Bupati Serang berkisar antara Rp. 150.000, 00 – 250.000,.00.per m2 dan sesuai dengan harga pasar tertinggi yaitu Rp. 200.000,00 per m2.Dengan adanya laporan tersebut BPK menuduh kelebihan harga tertinggi yang ditetapkan (Rp. 200.000,00-231.000,.00) Pembebasan lahan ini mengindikasikan kerugian daerah sebesar 3.448.620,00 (31.500 x 109.800m2).

Masalah ini diduga hasil intervensi pihak penjual PT. BBJ yang notebene milik H. Chasan Sochib kepada Gubernur Banten yang tidak menginginkan alternative lokasi lain dengan alasan Gedung Mapolda Banten sudah ditenderkan di Polda Jabar. Pemprov Banten juga membela diri bahwa penetapan harga Rp231.500,00 masih dalam aturan yang benar sesuai dengan pasaran tertinggi berdasarkan rekomendasi Panitia 9 dari Kabupaten Serang dan dalam kondisi siap bangun tanpa ada bangunan dan unsur tegakan yang lain.

Argumentasi itu ditambahkan berdasarkan bahwa :
1. Hasil inventarisasi dan pengukuran tanah pada tanggal 14 April 2003 jo. bidang tanah No.01/2003 Peta Bidang Tanah tanggal 05 Januari 2003 yang dimuat dalam risalah rapat pada tanggal 17 Januari 2003 menyebutkan pada bidang tanah tersebut tidak ada bangunan,tanaman tumbuh dan unsur tegakan lain.
2. Permintaan harga ganti rugi dari pemilik tanah per m2 yang semula Rp. 250.000,-dan kemudian berubah menjadi 220.000,-sudah termasuk dalam kondisi lahan siap bangun.

Menurut BPK modus operandi kasus ini tetap menyiratkan adanya dugaan kolusi yang merugikan keuangan daerah sebesar Rp. 3.448.620,00 (31.500 x 109.800m2) untuk diproses secara hukum.

BPK hanya menuduh adanya markup harga jual tanah, sementara itu opini public yang digulirkan oleh berbagai elemen masyarakat termasuk LSM tentang adanya penyimpangan anggaran seperti penggunaan Pos Dana Tak Tersangka sebesar Rp. Rp.13.778.372.100,00 milyard oleh Gubernur yang seharusnya diperuntukan bagi kondisi darurat seperti bencana alam, kiranya juga diusut dan dikenakan delik hukum pidana. Penggunaan Dana Tidak Tersangka (DTT) itu tidak memenuhi ketentuan dalam PP 105 dan Kepmendagri No.29/2002. Kebijakan menggunakan Dana Tak Tersangka, jelas-jelas kewenangan mutlak gubernur. Tafsiran “keadaan mendesak” dalam PP 105 tahun 2000 telah disalah tafsirkan digunakan untuk pembebasan lahan Mapolda Banten dan menyalahi intruksi Mendagri. Kasus berikutnya serupa terjadi juga dalam kasus Dana Perumahan bagi anggota DPRD Banten selain peraturan diatas juga diancam terkena delik pidana berdasarkan UU Anti Korupsi No.20 Tahun 2001 junto pasal 55 KUHP.

Dugaan kolusi kemungkinan besar disebabkan intervensi pemaksaan, balas budi dan unsur lain oleh H. Chasan Sochib (masa itu bagi kalangan aktivis dan akademisi disebut dengan anekdot Hitlernya Banten atau Sang Gubernur Jendral. red) terhadap Gubernur Djoko Munandar dan Panitia 9 (sembilan). Pertemuan terakhir di Jakarta untuk pembayaran ganti rugi terhadap H.Chasan Sochib, Helin Wijaya diduga adanya konspirasi kesepakatan damai masalah tersebut. (Tim)

Sumber Pustaka :
1. BPK RI 2005
2. Kejadian langsung dan saksi sejarah

Bundel Karang Sari

Dugaan Korupsi Karangsari Rp3,5 Miliar Tak Tersentuh Hukum

SETELAH lebih dari 3 tahun, kasus dugaan korupsi pengadaan lahan Karangsari senilai Rp 5 miliar, berkas perkaranya tak kunjung ke Pengadilan Negeri Serang untuk mendapatkan keadilan.
Padahal kasus ini menjadi sorotan masyarakat karena diduga kuat melibatkan Atut Chosiyah, Plt Gubernur Banten dan sang ayah tercinta, Chasan Sochib serta pejabat teras di lingkungan Pemprov Banten dan Pemkab Pandeglang.
Kasus ini dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten dan Kepolisian Daerah (Polda) Banten pada tahun 2003. Pelaporannya adalah Lembaga Advokasi Masalah Publik (LAMP).
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten memang sudah menetapkan tersangka atas kasus ini, Tantan yang menjabat Pimpro. Namun Atut Chosiyah dan Chasan Sochib tak pernah dimintai keterangan tentang kasus ini yang menggunakan APBD tahun 2002, sehingga berkas perkara itu tidak pernah lengkap dan tidak memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan.
Kepala Kejati Banten, Kemal Sofyan Nasution melalui Asisten Pengawasannya, AF Basyuni, penyebab tersendat-sendatnya penyelidikan kasus Karangsari adalah terdapat perbedaan antara hasil perhitungan kerugian negara oleh auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan Kejati Banten. Versi BPKP menyebutkan angka Rp 5 miliar, sesuai dengan nomenklatur di APBD. Sedangkan Kejati Banten berpegang teguh pada Rp 3,5 miliar karena hanya uang itu yang digunakan untuk membebaskan lahan Karangsari.
Hasil pemeriksaan BPK maupun BPKP memang menyebutkan angka Rp 5,14 miliar, sesuai dengan besaran anggaran yang tercantum dalam APBD 2002. Di antaranya untuk pembebasan lahan Karangsari Rp 3,5 miliar. Namun sisanya, Rp 1,64 miliar juga menjadi temuan BPK dan BPKP karena tak ada pelaksanaan proyek pelebaran jalan itu.
Sebenarnya, Dengan temuan BPK dan perhitungan BPKP itu, Kejati Banten justru mendapatkan dua perkara. Pertama, perkara dugaan korupsi pengadaan lahan Karangsari Rp 3,5 miliar. Kedua, perkara dugaan korupsi pelaksanaan pelebaran Jalan Raya Serang-Pandeglang tahun 2002 yang dinilai tidak dilaksanakan. Kenyataannya, kasus ini terkatung-katung hingga 3 tahun lebih.
Bahkan bulan Juli 2006, Kejati Banten telah menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Perkara (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi Karang Sari. (tim)


Kronologis Dugaan Korupsi Lahan Karang Sari

Lahan Karangsari yang diributkan telah menjadi objek korupsi berada di Kampung Karangasari, Desa Sukarame, Kecamatan Labuan (sebelum dimekarkan menjadi Carita), Kabupaten Pandeglang. Tanah ini milik Omo Sudarma bin Kamdani dengan luas 22.460 m2 (2,24) hektare dengan nomor sertifikat 17.

4 Januari 1997
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pandeglang membayar tanah Karangsari milik Omo Sudarmo. Ini sesuai keterangan Karna Suwanda yang waktu itu sebagai Bupati Pandeglang. Keterangan Karna dikuatkan oleh Omo Sudarma sendiri dalam suratnya bertanggal 4 Januari 1997 yang ditujukan kepada Bupati Pandeglang. Tanah Omo yang dibeli Pemkab seluas 22.000 m2 dari 22.460 m2. Omo mengaku hanya memiliki sisa tanah 400 m2. Pemkab menjadikan lahan sebagai objek wisata yang menghasilan pendapatan asli daerah (PAD) melalui retribusi parkir dan wisatawan.

2 Juni 1997.
Omo Sudarma melaporkan kehilangan dokumen sertifikat No.17 sesuai dengan laporannya kepada polisi No.SLBKS 35/VI/1997. Kehilangan dokumen ini diumumkan di media massa dan lembaran negara pada 19 Juni-25 Juli 1997.

14 Agustus 1997
Omo Sudarma mengajukan surat permohonan sertifikat pengganti.

13 Oktober 1997
Kantor Pertanahan Pandeglang menyatakan arsip sertifikat No.17 hilang dari kantor itu. Kemudian sertifikat diganti dengan No.690 pada tanggal 13 Oktober 1997 dan masih atas nama Omo, meskipun 22.000 m2 sudah dibayar oleh Pemkab Pandeglang, milik Omo hanya 460 m2.

25 Juli 2000
Dadan Sudarma, anak tertua Omo Sudarma mengirimkan surat kepada Bupati Pandeglang yang berisi meminta sertifikat No.690 dipecah dan tanah yang masih milik Omo seluas 460 m2 agar dipisahkan dari sertifikat itu. Sedangkan tanah milik Pemkab Pandeglang hanya 22.000 m2. Berdasarkan surat ini Kantor Pertanahan Pandeglang memecah surat ukur tanah sertifikat nomor 690 dengan nomor surat ukur No.71 dengan luas 22.000 m2 dan No.72 dengan luas 460 m2.

5 Mei 2001
Pemkab Pandeglang mengajukan hak pengelolaan atas tanah Karangsari, setelah 4 tahun mengabaikan proses administrasi jual beli antara Omo dan Pemkab Pandeglang.

6 Mei 2001
Kepala Kantor Pertanahan Pandeglang, Supartawidjaja menyatakan, permohonan itu masih diproses. Hingga sekarang sertifikat hak pengelolaan itu tidak pernah diterbitkan, tanpa ada penjelasan resmi.

Juni-Juli 2001
Pemkab Pandeglang melakukan musyawarah sebanyak 5 kali dengan keluarga Omo Sudarma untuk menyelesaikan sengketa tanah Karangsari. Dalam pertemuan ini, Omo tidak pernah hadir dengan alasan sakit dan diwakilkan kepada anaknya, Dadan. Pemkab Pandeglang menawarkan sisa tanah Omo dibeli dengan harga Rp70 juta yang akan diambil dari APBD Pandeglang. Namun janji Pemkab Pandeglang ini tidak pernah ditepati.

12 Agustus 2001
Terjadi musyawarah di Kantor Pertanahan Pandeglang yang dihadiri antara lain AM Siagian (wakil Chasan Sochib), Dadan (anak Omo) dan pejabat kantor pertanahan. Dalam pertemuan itu, pejabat Kantor Pertanahan Pandeglang mengatakan, tanah Karangsari sedang dalam sengketa, sehingga disarankan Chasan Sochib tidak melakukan jual beli atas tanah tersebut.

15 Agustus 2001
Omo Sudarma melalui anaknya, Dadan nekad menjual tanah itu kepada Chasan Sochib, pengusaha dan tokoh Banten sesuai dengan surat perjanjian jual beli No.01/SP/VI/2001 tanggal 23 Juni 2001. Harga keseluruhan Rp 1,2 miliar. Surat perjanjian jual beli ini ditandatangani pihak pertama Dadan Sudarma (anak dan pihak kedua Chasan Sochib. Saksinya adalah Santubi bin Jasim, AM Siagian dan Joko Soemito.

20 Agustus 2001.
Perjanjian jual beli antara Omo dan Chasan Sochib dituangkan dalam akta notaris yang dibuat notaris Steven Irianto Sitorus yang kantornya Jalan Mayor Syafei No.14 Serang dengan nomor akta 4. Saat pembuatan akta, Chasan Sochib membayar sisa pembelian tanah Rp 950 juta.

Agustus 2001
Karena tidak tercapai kesepakatan, Pemkab Pandeglang mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Pandeglang dengan tergugat Omo Sudarma, Chasan Sochib dan Kantor Pertanahan Pandeglang. Gugatan itu terdaftar sebagai perkara No.14/Pdt.G/2001/PN.Pdg. Di tengah persidangan, Chasan Sochib melakukan gugatan intervensi dengan mendaftarkan perkara No.20/Pdt.G/2001.Pdg dengan tergugat masing-masing Pemkab Pandeglang, Kantor Pertanahan Pandeglan dan Omo Sudarma.

11 November 2001
Kedua perkara ini sudah mencapai tahap duplik. Majelis hakim yang menyidangkan perkara ini menyarankan agar dilakukan pejanjian damai atau vandading.

31 Januari 2002
Terjadi akta vandading di Pengadilan Negeri Pandeglang yang atas perkara perdata No.14 dan No.22/Pdt.G/2001/PN.Pdg. Perjanjian itu antara Chasan Sochib, Pemkab Pandeglang, Omo Sudarma bin Kamdani dan Kantor Badan Pertanahan Nasional (lembaga ini berubah nama dari Kantor Pertanahan menjadi Badan Pertanahan Nasional). Akta ini ditandatangani Chasan Sochib, Pemkab Pandeglang yang terdiri dari Sory Harkany, Rulliansyah, Agus Kurniawan,Tri Mariani, HD Sukendar, Sukran, Agus Hidayat, Agus Mintono. Pihak Omo Sudarma diwakili kuasa hukumnya Thomas Ahsudiniah dan Cuhori. Dari BPN Pandeglang ditandatangani Supartawijaya. Akta in diketahui Ketua Pengadilan Negeri Pandeglang, Ida Purwanti, Wakil Ketua Pandeglang Aat Suprawijaya. Kolom GubernurBanten itu kosong, tidak terdapat nama dan tangan. Anehnya, meski kosong, soal dana Rp 3,5 miliar yang disebut-sebut sebagai penggantian pemerintah kepada Chasan Sochib justru diharuskan menjadi tanggung jawab Pemprov Banten. Padahal dalam proses vandading pun, secara resmi Pemprov Banten tidak pernah terlibat.

5 Januari 2002
Kepala DPU Banten Irawan Kostaman usul peningkatan Jalan Raya Serang-Pandeglang dengan nilai Rp 5,14 miliar. Usulan ini tidak menyebutkan pembebasan lahan Karangsari, yang lokasinya dan fungsi lahannya tidak ada kaitan apa-apa dengan pelebaran jalan utama tersebut.

7 Januari 2002
Bupati Pandeglang, Achmad Dimyati Natakusumah mengirimkan surat ke Gubernur Banten No.180/03-Huk/2002 berisi mohon peningkatan jalan dan pembebasan lahan Karangsari.

8 Januari 2002.
Sekda Pemprov Banten, Chaeron Muchsin mendisposisikan surat surat Bupati Pandeglang ke Asda II, Bapeda, Dinas PU, Kabiro Ekbang dan instansi terkait lainnya. Dalam disposisi No.925 tertulis agar diindahkan sesuai arahan Wakil Gubernur Banten yang waktu itu dijabat Atut Chosiyah.

28 Februari 2002
DPRD Banten mensahkan APBD Banten 2002 dengan Perda No.1/2002. Di dalamnya terdapat proyek peningkatan jalan provinsi Serang-Pandeglang dengan kode 2P.0.06.1.02.0.15. Kepala Biro Ekbang Pemprov Banten, Djoni Trijana membuat lembaran kerja dan petunjuk operasional (LK/PO) yang memasukan pembebasan lahan Karangsari. Padahal item itu tidak tercantum dalam usulan Dinas PU Banten, dan lahannya tidak pernah berkaitan apa-apa dengan pelebaran jalan provinsi.

20 Maret 2002
Chasan Sochib menagih janji ke Bupati Pandeglang soal pelunasan kompensasi Karangsari Rp 3,5 miliar yang diharapkan dilunasi tanggal 25 Maret 2002. Surat ditembuskan ke Gubernur Banten, Ketua DPRD Pandeglang, Ketua PN Pandeglang dan Kejaksaan Negeri Pandeglang.

20-21 Maret 2002
Kepala Dinas PU Banten, Irawan Kostaman (kini Asda II Pemprov Banten) menandatangani daftar isian proyek daerah (Dipda), LKO/PO, meski nomenklatur dengan isi tidak sesuai dalam soal pembebasan lahan Karangsari. Nilainya Rp 5,14 miliar, di antaranya Rp 3,5 miliar untuk pembebasan lahan Karangsari yang lokasinya di pantai Carita. Sedangkan Jalan Raya Serang-Pandeglang tidak pernah bersentuhan dengan tanah tersebut.

1 April 2002
Pengesahan Dipda Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Serang-Pandeglang No.915/Kep-65/2002.

8 April 2002
Pimpro Lahan Karangsari, Tjep Tantan Rustandie menyerahkan dana ke Pemkab Pandeglang dengan nota Kepala Biro Ekbang,Djoni Trijana No.912/25-Ekbang/2002. Berita acara penyerahan ini No.932/02/BA/SP/IV/2002. Berita acara ini ditandatangani Tjep Tantan Rustandie, pimpro dan Mudjio A Satari, Wakil Bupati Pandeglang serta mengetahui Ny Rt Atut Chosiyah, Wakil Gubernur Banten.

11 April 2002
Terbit surat perintah membayar uang (SPMU) No.932/Keu-18/PT/2002 yang mentransfer uang dari kas Pemprov Banten ke kas Pemkab Serang Nomor rekening 20.201 di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Barat.

15 April 2002
Bendahara Keuangan Pemkab Pandeglang, Lukman Hakim Y mentransfer uang ke rekening Chasan Sochib No.0700010001987 di BPD Jabar. Berita acara pelunasan dibuat di PN Pandeglang yang ditandatangani Mudjio A Satiri, Chasan Sochib dan Ketua Pengadilan Negeri Pandeglang, Ida Purwanti.

10 Juli 2002
Sekda Pemprov Banten, Chaeron Muchsin menegur Bupati Pandeglang melalui surat No.593.8/2727-PU/2002 karena kewajiban Pemkab Pandeglang tidak dipenuhi, berkaitan dengan dana untuk Lahan Karangsari.

13 Desember 2002
Sekda Banten kembali menegur Bupati Pandeglang melalui surat No.900.04/08-PU/2002. Karena tahun anggaran 2002 akan berakhir dan bisa menyebabkan kesulitan Pemprov banten untuk menyusun laporan pertanggung jawaban (LPJ) APBD 2002.

17 Februari 2003
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan pelaksanaan APBD 2002 pada semester II. Dalam hasil pemeriksaan No.II/S/XIV-1-XIV1.2/02/2003 disebutkan, pemberian kompensasi ke pihak ketiga menyalahi ketentuan. Hasil pemeriksaan ini juga menyebut-sebut keterlibatan tokoh dan pengusaha Banten yang diinisialkan CH, serta anaknya yang menjabat Wakil Gubernur Banten yang diinisialkan dengan RT. Disebutkan juga soal adanya indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menimbulkan kerugian negara.


31 Maret 2003
Sekda Pemprov Banten, Chaeron Muchsin memberikan surat keterangan ke BPK yang menyebutkan, Pemprov akan mengupayakan Pandeglang menyerahkan sebagian lahan Karangsari sebagai aset Pemprov Banten untuk menutupi kerugian negara yang ditimbulkan dalam soal pemberian bantuan kepada pihak ketiga.

September 2003
Direktur Eksekutif LSM LAMP, Suhada melaporkan dugaan KKN ke KPK dan Kejaksaan Agung. Laporan ini disertai dokumen yang lengkap, termasuk hasil temuan BPK.

1 April 2004
Ketua BPK, Billy Budihardjo Joedono mengirimkan surat No.0354.VI/BPK/2003 ke Kejaksaan Agung RI. Antara lain minta lembaga ini mengusut dugaan KKN dalam pengadaan lahan Karangsari. BPK menggunakan inisial CH yang ditegaskan sebagai ayahnya RT, Wakil Gubernur Banten.

29 April 2004
Wakil Gubernur Banten, Ny Atut Chosiyah mengundang seluruh pejabat terkait lahan parkir Karangsari. Sesuai dengan undangan acara itu dilaksanakan tanggal 5 Mei 2004 di Pendopo Gubernur Bantren, pukul 09.00 WIB.

24 Juni 2004
Bupati Pandeglang, Achmad Dimyati Natakusumah mengirimkan surat ke Pemprov Banten No.590/560-Pem/2004 yang isinya akan menyelesaikan administrasi Karangsari.

9 Juli 2004
Sekda Banten kembali menagih janji Bupati Pandeglang soal Karangsari.

19 Agustus 2004
Sekda Banten kembali menagih Karangsari, sekaligus minta Bupati Pandeglang mengembalikan uang jika tidak bisa memenuhi administrasi yang diperlukan.

24 Desember 2004
Ketua DPRD Kabupaten Pandeglang, HM Acang mengirimkan surat No.172.2/612-DPRD/2004 ke Bupati Pandeglang yang minta dana kompensasi Karangsari dikeluarkan dari Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) tahun 2005. Sebelumnya, Bupati Pandeglang memasukan usulan pembebasan lahan Karangsari Rp 3,5 miliar untuk mengganti uang dari Pemprov Banten karena tidak bisa memenuhi syarat administrasi yang diminta Pemprov Banten.

Catatan selama 2004.
Berbagai organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan LSM, aktivis dan elemen masyarakat lainnya terus mendesak agar Kejaksaan Tinggi Banten mengusut dugaan korupsi Karangsari. Bagi mereka, kasus ini sangat jelas duduk persoalannya, dan jelas pula unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), termasuk bukti-bukti dokumen dan indikasi rekayasa atas proyek pelebaran jalan Serang-Pandeglang terlalu kuat untuk diabaikan.
LSM, Ormas dan aktivis ini kembali melaporkan kasus ini ke KPK, Kejaksaan Agung, Polri, Polda Banten dan Kejati Banten. Aksi demo pun sempat digelar di sana.

Catatan selama 2005.
Awal tahun, Kejati Banten menyatakan kasus Karangsari ditingkatkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan. Kejaksaan telah menetapkan tersangka, Tjep Tantan Rustandie, Pimpro pengadaan lahan Karangsari. Namun pihak yang terlibat lainnya seperti Atut chosiyah, Mudjio A satari, Achmad Dimyati Natakusumah, Djoni Trijana, Irawan Kostaman, Chaeron Muchsin, Chasan Sochib, Dadan bin Omo Sudarma, Aat Suprawijaya - tidak jelas statusnya dan tidak pernah dimintai keterangan apa pun.
Kembali LSM, Ormas dan aktivis di Banten melaporkan dan mendesak kasus Karangsari segera dituntaskan agar memberikan kepastian hukum di ranah Banten.

Februari 2006
Kasus ini tidak ada kemajuan, dalam pengertian tidak ada pemeriksaan apa pun terhadap mereka. AF Basyunie, Aswas Kejati Banten sekaligus ketua tim perkara ini menyatakan terdapat perbedaan perhitungan kerugian negara antara lembaganya dengan auditor BPKP.

Juli 2006
Kejati Banten mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi Karangsari. (tim)

Kronos Karang Sari

Kronologis Dugaan Korupsi Lahan Karang Sari
Oleh: Tim www.bantenlink.com

Lahan Karangsari yang diributkan telah menjadi objek korupsi berada di Kampung Karangasari, Desa Sukarame, Kecamatan Labuan (sebelum dimekarkan menjadi Carita), Kabupaten Pandeglang. Tanah ini milik Omo Sudarma bin Kamdani dengan luas 22.460 m2 (2,24) hektare dengan nomor sertifikat 17.

4 Januari 1997
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pandeglang membayar tanah Karangsari milik Omo Sudarmo. Ini sesuai keterangan Karna Suwanda yang waktu itu sebagai Bupati Pandeglang. Keterangan Karna dikuatkan oleh Omo Sudarma sendiri dalam suratnya bertanggal 4 Januari 1997 yang ditujukan kepada Bupati Pandeglang. Tanah Omo yang dibeli Pemkab seluas 22.000 m2 dari 22.460 m2. Omo mengaku hanya memiliki sisa tanah 400 m2. Pemkab menjadikan lahan sebagai objek wisata yang menghasilan pendapatan asli daerah (PAD) melalui retribusi parkir dan wisatawan.

2 Juni 1997.
Omo Sudarma melaporkan kehilangan dokumen sertifikat No.17 sesuai dengan laporannya kepada polisi No.SLBKS 35/VI/1997. Kehilangan dokumen ini diumumkan di media massa dan lembaran negara pada 19 Juni-25 Juli 1997.

14 Agustus 1997
Omo Sudarma mengajukan surat permohonan sertifikat pengganti.

13 Oktober 1997
Kantor Pertanahan Pandeglang menyatakan arsip sertifikat No.17 hilang dari kantor itu. Kemudian sertifikat diganti dengan No.690 pada tanggal 13 Oktober 1997 dan masih atas nama Omo, meskipun 22.000 m2 sudah dibayar oleh Pemkab Pandeglang, milik Omo hanya 460 m2.

25 Juli 2000
Dadan Sudarma, anak tertua Omo Sudarma mengirimkan surat kepada Bupati Pandeglang yang berisi meminta sertifikat No.690 dipecah dan tanah yang masih milik Omo seluas 460 m2 agar dipisahkan dari sertifikat itu. Sedangkan tanah milik Pemkab Pandeglang hanya 22.000 m2. Berdasarkan surat ini Kantor Pertanahan Pandeglang memecah surat ukur tanah sertifikat nomor 690 dengan nomor surat ukur No.71 dengan luas 22.000 m2 dan No.72 dengan luas 460 m2.

5 Mei 2001
Pemkab Pandeglang mengajukan hak pengelolaan atas tanah Karangsari, setelah 4 tahun mengabaikan proses administrasi jual beli antara Omo dan Pemkab Pandeglang.

6 Mei 2001
Kepala Kantor Pertanahan Pandeglang, Supartawidjaja menyatakan, permohonan itu masih diproses. Hingga sekarang sertifikat hak pengelolaan itu tidak pernah diterbitkan, tanpa ada penjelasan resmi.

Juni-Juli 2001
Pemkab Pandeglang melakukan musyawarah sebanyak 5 kali dengan keluarga Omo Sudarma untuk menyelesaikan sengketa tanah Karangsari. Dalam pertemuan ini, Omo tidak pernah hadir dengan alasan sakit dan diwakilkan kepada anaknya, Dadan. Pemkab Pandeglang menawarkan sisa tanah Omo dibeli dengan harga Rp70 juta yang akan diambil dari APBD Pandeglang. Namun janji Pemkab Pandeglang ini tidak pernah ditepati.

12 Agustus 2001
Terjadi musyawarah di Kantor Pertanahan Pandeglang yang dihadiri antara lain AM Siagian (wakil Chasan Sochib), Dadan (anak Omo) dan pejabat kantor pertanahan. Dalam pertemuan itu, pejabat Kantor Pertanahan Pandeglang mengatakan, tanah Karangsari sedang dalam sengketa, sehingga disarankan Chasan Sochib tidak melakukan jual beli atas tanah tersebut.

15 Agustus 2001
Omo Sudarma melalui anaknya, Dadan nekad menjual tanah itu kepada Chasan Sochib, pengusaha dan tokoh Banten sesuai dengan surat perjanjian jual beli No.01/SP/VI/2001 tanggal 23 Juni 2001. Harga keseluruhan Rp 1,2 miliar. Surat perjanjian jual beli ini ditandatangani pihak pertama Dadan Sudarma (anak dan pihak kedua Chasan Sochib. Saksinya adalah Santubi bin Jasim, AM Siagian dan Joko Soemito.

20 Agustus 2001.
Perjanjian jual beli antara Omo dan Chasan Sochib dituangkan dalam akta notaris yang dibuat notaris Steven Irianto Sitorus yang kantornya Jalan Mayor Syafei No.14 Serang dengan nomor akta 4. Saat pembuatan akta, Chasan Sochib membayar sisa pembelian tanah Rp 950 juta.

Agustus 2001
Karena tidak tercapai kesepakatan, Pemkab Pandeglang mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Pandeglang dengan tergugat Omo Sudarma, Chasan Sochib dan Kantor Pertanahan Pandeglang. Gugatan itu terdaftar sebagai perkara No.14/Pdt.G/2001/PN.Pdg. Di tengah persidangan, Chasan Sochib melakukan gugatan intervensi dengan mendaftarkan perkara No.20/Pdt.G/2001.Pdg dengan tergugat masing-masing Pemkab Pandeglang, Kantor Pertanahan Pandeglan dan Omo Sudarma.

11 November 2001
Kedua perkara ini sudah mencapai tahap duplik. Majelis hakim yang menyidangkan perkara ini menyarankan agar dilakukan pejanjian damai atau vandading.

31 Januari 2002
Terjadi akta vandading di Pengadilan Negeri Pandeglang yang atas perkara perdata No.14 dan No.22/Pdt.G/2001/PN.Pdg. Perjanjian itu antara Chasan Sochib, Pemkab Pandeglang, Omo Sudarma bin Kamdani dan Kantor Badan Pertanahan Nasional (lembaga ini berubah nama dari Kantor Pertanahan menjadi Badan Pertanahan Nasional). Akta ini ditandatangani Chasan Sochib, Pemkab Pandeglang yang terdiri dari Sory Harkany, Rulliansyah, Agus Kurniawan,Tri Mariani, HD Sukendar, Sukran, Agus Hidayat, Agus Mintono. Pihak Omo Sudarma diwakili kuasa hukumnya Thomas Ahsudiniah dan Cuhori. Dari BPN Pandeglang ditandatangani Supartawijaya. Akta in diketahui Ketua Pengadilan Negeri Pandeglang, Ida Purwanti, Wakil Ketua Pandeglang Aat Suprawijaya. Kolom GubernurBanten itu kosong, tidak terdapat nama dan tangan. Anehnya, meski kosong, soal dana Rp 3,5 miliar yang disebut-sebut sebagai penggantian pemerintah kepada Chasan Sochib justru diharuskan menjadi tanggung jawab Pemprov Banten. Padahal dalam proses vandading pun, secara resmi Pemprov Banten tidak pernah terlibat.

5 Januari 2002
Kepala DPU Banten Irawan Kostaman usul peningkatan Jalan Raya Serang-Pandeglang dengan nilai Rp 5,14 miliar. Usulan ini tidak menyebutkan pembebasan lahan Karangsari, yang lokasinya dan fungsi lahannya tidak ada kaitan apa-apa dengan pelebaran jalan utama tersebut.

7 Januari 2002
Bupati Pandeglang, Achmad Dimyati Natakusumah mengirimkan surat ke Gubernur Banten No.180/03-Huk/2002 berisi mohon peningkatan jalan dan pembebasan lahan Karangsari.

8 Januari 2002.
Sekda Pemprov Banten, Chaeron Muchsin mendisposisikan surat surat Bupati Pandeglang ke Asda II, Bapeda, Dinas PU, Kabiro Ekbang dan instansi terkait lainnya. Dalam disposisi No.925 tertulis agar diindahkan sesuai arahan Wakil Gubernur Banten yang waktu itu dijabat Atut Chosiyah.

28 Februari 2002
DPRD Banten mensahkan APBD Banten 2002 dengan Perda No.1/2002. Di dalamnya terdapat proyek peningkatan jalan provinsi Serang-Pandeglang dengan kode 2P.0.06.1.02.0.15. Kepala Biro Ekbang Pemprov Banten, Djoni Trijana membuat lembaran kerja dan petunjuk operasional (LK/PO) yang memasukan pembebasan lahan Karangsari. Padahal item itu tidak tercantum dalam usulan Dinas PU Banten, dan lahannya tidak pernah berkaitan apa-apa dengan pelebaran jalan provinsi.

20 Maret 2002
Chasan Sochib menagih janji ke Bupati Pandeglang soal pelunasan kompensasi Karangsari Rp 3,5 miliar yang diharapkan dilunasi tanggal 25 Maret 2002. Surat ditembuskan ke Gubernur Banten, Ketua DPRD Pandeglang, Ketua PN Pandeglang dan Kejaksaan Negeri Pandeglang.

20-21 Maret 2002
Kepala Dinas PU Banten, Irawan Kostaman (kini Asda II Pemprov Banten) menandatangani daftar isian proyek daerah (Dipda), LKO/PO, meski nomenklatur dengan isi tidak sesuai dalam soal pembebasan lahan Karangsari. Nilainya Rp 5,14 miliar, di antaranya Rp 3,5 miliar untuk pembebasan lahan Karangsari yang lokasinya di pantai Carita. Sedangkan Jalan Raya Serang-Pandeglang tidak pernah bersentuhan dengan tanah tersebut.

1 April 2002
Pengesahan Dipda Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Serang-Pandeglang No.915/Kep-65/2002.

8 April 2002
Pimpro Lahan Karangsari, Tjep Tantan Rustandie menyerahkan dana ke Pemkab Pandeglang dengan nota Kepala Biro Ekbang,Djoni Trijana No.912/25-Ekbang/2002. Berita acara penyerahan ini No.932/02/BA/SP/IV/2002. Berita acara ini ditandatangani Tjep Tantan Rustandie, pimpro dan Mudjio A Satari, Wakil Bupati Pandeglang serta mengetahui Ny Rt Atut Chosiyah, Wakil Gubernur Banten.

11 April 2002
Terbit surat perintah membayar uang (SPMU) No.932/Keu-18/PT/2002 yang mentransfer uang dari kas Pemprov Banten ke kas Pemkab Serang Nomor rekening 20.201 di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Barat.

15 April 2002
Bendahara Keuangan Pemkab Pandeglang, Lukman Hakim Y mentransfer uang ke rekening Chasan Sochib No.0700010001987 di BPD Jabar. Berita acara pelunasan dibuat di PN Pandeglang yang ditandatangani Mudjio A Satiri, Chasan Sochib dan Ketua Pengadilan Negeri Pandeglang, Ida Purwanti.

10 Juli 2002
Sekda Pemprov Banten, Chaeron Muchsin menegur Bupati Pandeglang melalui surat No.593.8/2727-PU/2002 karena kewajiban Pemkab Pandeglang tidak dipenuhi, berkaitan dengan dana untuk Lahan Karangsari.

13 Desember 2002
Sekda Banten kembali menegur Bupati Pandeglang melalui surat No.900.04/08-PU/2002. Karena tahun anggaran 2002 akan berakhir dan bisa menyebabkan kesulitan Pemprov banten untuk menyusun laporan pertanggung jawaban (LPJ) APBD 2002.

17 Februari 2003
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan pelaksanaan APBD 2002 pada semester II. Dalam hasil pemeriksaan No.II/S/XIV-1-XIV1.2/02/2003 disebutkan, pemberian kompensasi ke pihak ketiga menyalahi ketentuan. Hasil pemeriksaan ini juga menyebut-sebut keterlibatan tokoh dan pengusaha Banten yang diinisialkan CH, serta anaknya yang menjabat Wakil Gubernur Banten yang diinisialkan dengan RT. Disebutkan juga soal adanya indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menimbulkan kerugian negara.

31 Maret 2003
Sekda Pemprov Banten, Chaeron Muchsin memberikan surat keterangan ke BPK yang menyebutkan, Pemprov akan mengupayakan Pandeglang menyerahkan sebagian lahan Karangsari sebagai aset Pemprov Banten untuk menutupi kerugian negara yang ditimbulkan dalam soal pemberian bantuan kepada pihak ketiga.

September 2003
Direktur Eksekutif LSM LAMP, Suhada melaporkan dugaan KKN ke KPK dan Kejaksaan Agung. Laporan ini disertai dokumen yang lengkap, termasuk hasil temuan BPK.

1 April 2004
Ketua BPK, Billy Budihardjo Joedono mengirimkan surat No.0354.VI/BPK/2003 ke Kejaksaan Agung RI. Antara lain minta lembaga ini mengusut dugaan KKN dalam pengadaan lahan Karangsari. BPK menggunakan inisial CH yang ditegaskan sebagai ayahnya RT, Wakil Gubernur Banten.

29 April 2004
Wakil Gubernur Banten, Ny Atut Chosiyah mengundang seluruh pejabat terkait lahan parkir Karangsari. Sesuai dengan undangan acara itu dilaksanakan tanggal 5 Mei 2004 di Pendopo Gubernur Bantren, pukul 09.00 WIB.

24 Juni 2004
Bupati Pandeglang, Achmad Dimyati Natakusumah mengirimkan surat ke Pemprov Banten No.590/560-Pem/2004 yang isinya akan menyelesaikan administrasi Karangsari.

9 Juli 2004
Sekda Banten kembali menagih janji Bupati Pandeglang soal Karangsari.

19 Agustus 2004
Sekda Banten kembali menagih Karangsari, sekaligus minta Bupati Pandeglang mengembalikan uang jika tidak bisa memenuhi administrasi yang diperlukan.

24 Desember 2004
Ketua DPRD Kabupaten Pandeglang, HM Acang mengirimkan surat No.172.2/612-DPRD/2004 ke Bupati Pandeglang yang minta dana kompensasi Karangsari dikeluarkan dari Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) tahun 2005. Sebelumnya, Bupati Pandeglang memasukan usulan pembebasan lahan Karangsari Rp 3,5 miliar untuk mengganti uang dari Pemprov Banten karena tidak bisa memenuhi syarat administrasi yang diminta Pemprov Banten.

Catatan selama 2004.
Berbagai organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan LSM, aktivis dan elemen masyarakat lainnya terus mendesak agar Kejaksaan Tinggi Banten mengusut dugaan korupsi Karangsari. Bagi mereka, kasus ini sangat jelas duduk persoalannya, dan jelas pula unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), termasuk bukti-bukti dokumen dan indikasi rekayasa atas proyek pelebaran jalan Serang-Pandeglang terlalu kuat untuk diabaikan.
LSM, Ormas dan aktivis ini kembali melaporkan kasus ini ke KPK, Kejaksaan Agung, Polri, Polda Banten dan Kejati Banten. Aksi demo pun sempat digelar di sana.

Catatan selama 2005.
Awal tahun, Kejati Banten menyatakan kasus Karangsari ditingkatkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan. Kejaksaan telah menetapkan tersangka, Tjep Tantan Rustandie, Pimpro pengadaan lahan Karangsari. Namun pihak yang terlibat lainnya seperti Atut chosiyah, Mudjio A satari, Achmad Dimyati Natakusumah, Djoni Trijana, Irawan Kostaman, Chaeron Muchsin, Chasan Sochib, Dadan bin Omo Sudarma, Aat Suprawijaya - tidak jelas statusnya dan tidak pernah dimintai keterangan apa pun.
Kembali LSM, Ormas dan aktivis di Banten melaporkan dan mendesak kasus Karangsari segera dituntaskan agar memberikan kepastian hukum di ranah Banten.

Februari 2006
Kasus ini tidak ada kemajuan, dalam pengertian tidak ada pemeriksaan apa pun terhadap mereka. AF Basyunie, Aswas Kejati Banten sekaligus ketua tim perkara ini menyatakan terdapat perbedaan perhitungan kerugian negara antara lembaganya dengan auditor BPKP.

Juli 2006
Kejati Banten mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi Karangsari. (tim)

Dugaan Karang Sari

Dugaan Korupsi Karangsari Rp3,5 Miliar Tak Tersentuh Hukum

SETELAH lebih dari 3 tahun, kasus dugaan korupsi pengadaan lahan Karangsari senilai Rp 5 miliar, berkas perkaranya tak kunjung ke Pengadilan Negeri Serang untuk mendapatkan keadilan.
Padahal kasus ini menjadi sorotan masyarakat karena diduga kuat melibatkan Atut Chosiyah, Plt Gubernur Banten dan sang ayah tercinta, Chasan Sochib serta pejabat teras di lingkungan Pemprov Banten dan Pemkab Pandeglang.
Kasus ini dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten dan Kepolisian Daerah (Polda) Banten pada tahun 2003. Pelaporannya adalah Lembaga Advokasi Masalah Publik (LAMP).
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten memang sudah menetapkan tersangka atas kasus ini, Tantan yang menjabat Pimpro. Namun Atut Chosiyah dan Chasan Sochib tak pernah dimintai keterangan tentang kasus ini yang menggunakan APBD tahun 2002, sehingga berkas perkara itu tidak pernah lengkap dan tidak memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan.
Kepala Kejati Banten, Kemal Sofyan Nasution melalui Asisten Pengawasannya, AF Basyuni, penyebab tersendat-sendatnya penyelidikan kasus Karangsari adalah terdapat perbedaan antara hasil perhitungan kerugian negara oleh auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan Kejati Banten. Versi BPKP menyebutkan angka Rp 5 miliar, sesuai dengan nomenklatur di APBD. Sedangkan Kejati Banten berpegang teguh pada Rp 3,5 miliar karena hanya uang itu yang digunakan untuk membebaskan lahan Karangsari.
Hasil pemeriksaan BPK maupun BPKP memang menyebutkan angka Rp 5,14 miliar, sesuai dengan besaran anggaran yang tercantum dalam APBD 2002. Di antaranya untuk pembebasan lahan Karangsari Rp 3,5 miliar. Namun sisanya, Rp 1,64 miliar juga menjadi temuan BPK dan BPKP karena tak ada pelaksanaan proyek pelebaran jalan itu.
Sebenarnya, Dengan temuan BPK dan perhitungan BPKP itu, Kejati Banten justru mendapatkan dua perkara. Pertama, perkara dugaan korupsi pengadaan lahan Karangsari Rp 3,5 miliar. Kedua, perkara dugaan korupsi pelaksanaan pelebaran Jalan Raya Serang-Pandeglang tahun 2002 yang dinilai tidak dilaksanakan. Kenyataannya, kasus ini terkatung-katung hingga 3 tahun lebih.
Bahkan bulan Juli 2006, Kejati Banten telah menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Perkara (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi Karang Sari. (tim)

Prolog Gdg DPRD Banten

Gedung Mewah Wakil Rakyat Ketika Pengkonsumsi Nasi Aking Meningkat

DUGAAN korupsi di pembangunan Gedung DPRD Banten, sepertinya dilewatkan begitu saja oleh para penegak hukum di Banten. Padahal, pembangunan Gedung DPRD Banten sangat kental sekali unsur kolusi dan nepotismenya.
Kasus ini mencuat ke permukaan bulan Agustus hingga bulan September 2004, Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Banten memutuskan kontrak pembangunan Gedung DPRD Banten yang dilaksanakan oleh PT Sinar Ciomas Raya Contraktor (SCRC). Alasannya, denda keterlambatan penyelesaian pembangunan itu sudah melewati batas maksimal sebesar 5 persen dari total kontrak Rp62,5 miliar.
Sebelumnya, DPU Banten sudah melayangkan 7 surat teguran ke PT SCRC, Isinya menegur keterlambatan jadwal pembangunan. Namun PT SCRC tidak mengindahkan teguran ini dan tetap terlambat dalam melaksanakan jadwal tersebut. Bahkan hingga hari terakhir tenggat waktu, PT SCRC hanya mampu menyelesaikan 65 persen pekerjaan.
Akibat pemutusan kontrak ini, PT SCRC melakukan gugatan lewat Badan Arbitase Nasional Indonesia (BANI) yang memutuskan lewat Akte Perdamaian No. 304/I/ARBBANI/2005 tanggal 21 Juli 2005.
Dalam akte perdamaian itu diputuskan, PT SCRC tetap melaksanakan pembangunan Gedung DPRD Banten dengan syarat tidak meminta pembayaran hingga pembangunan selesai 100 persen. Sedangkan Pemprov Banten harus membayar termin / pembayaran kedua yang sempat ditunda sebelumnya.
Keputusan BANI ini menyebabkan Pemprov Banten kehilangan penerimaan dari denda sanksi keterlambatan Rp3,125 miliar dan kesempatan mencairkan jaminan pelaksanaan sebesar Rp3,125 miliar. Padahal, dalam Keppres 80 tahun 2003 Pasal 35 ayat 3 disebutkan, “Pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kelalaian penyedia barang/jasa dikenakan sanksi sesuai yang ditetapkan dalam kontrak berupa : jaminan pelaksanaan menjadi milik negara, sisa uang muka dilunasi oleh penyedia barang/jasa, membayar denda dan ganti rugi kepada negara, dan pengenaan daftar hitam untuk jangka waktu tertentu”.
Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) APBD Banten tahun 2004 meminta Kepala DPU untuk mempertanggungjawabkan masalah ini secara hukum.
Walaupun waktu pengerjaan pembangunan Gedung DPRD itu sudah diberikan perpanjangan lagi hingga tanggal 20 Desember 2005, PT SCRC ternyata tetap tidak mampu menyelesaikannya. Hasil konsultan LPPM-ITB menyebutkan, PT SCRC hanya mampu menyelesaikan hingga 81,11 persen bobot pekerjaan.
Herannya, baik DPU Banten maupun Pemprov Banten tidak melakukan tindakan apapun. Kecuali surat dari DPU Banten yang isinya menyebutkan, PT SCRC untuk menghentikan pekerjaan dan tetap bertanggungjawab terhadap lingkungan dan aset Gedung DPRD Banten.
Diam-diam, Atut Chosiyah, Plt Gubernur Banten menyetujui pembangunan itu diteruskan oleh PT SCRC, maka dibuatkan kembali addendum kontrak ke V. Menurut Iing Suwargi, Kasudin Cipta Karya DPU Banten, addendum ini atas saran BANI pada tanggal 4 Januari 2006. PT SCRC diberikan perpanjangan waktu kembali hingga tanggal 30 April 2006.
Selanjutnya, pembangunan Gedung DPRD Banten memasuki tahap ke II dengan pelaksana tetap PT SCRC. Pada tahap kedua ini, pembangunan itu menelan dana Rp28 miliar dari APBD Banten 2006 atau total Rp90,5 miliar.
Padahal, LHP BPK atas APBD Banten 2005 menyebutkan, modus operandi pembangunan Gedung DPRD Banten diindikasikan ada kerugian daerah dan disarankan untuk ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Bagi masyarakat Banten, tak tersentuhnya dugaan korupsi di pembangunan Gedung DPRD Banten sudah tak aneh lagi. Soalnya, kontraktor pelaksana pembangunan itu adalah Chasan Sochib yang tak lain merupakan ayahanda dari Atut Chosiyah, Plt Gubernur Banten. (tim)

Bundel Gdg DPRD Banten

Gedung Mewah Wakil Rakyat

DUGAAN korupsi di pembangunan Gedung DPRD Banten, sepertinya dilewatkan begitu saja oleh para penegak hukum di Banten. Padahal, pembangunan Gedung DPRD Banten sangat kental sekali unsur kolusi dan nepotismenya.
Kasus ini mencuat ke permukaan bulan Agustus hingga bulan September 2004, Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Banten memutuskan kontrak pembangunan Gedung DPRD Banten yang dilaksanakan oleh PT Sinar Ciomas Raya Contraktor (SCRC). Alasannya, denda keterlambatan penyelesaian pembangunan itu sudah melewati batas maksimal sebesar 5 persen dari total kontrak Rp62,5 miliar.
Sebelumnya, DPU Banten sudah melayangkan 7 surat teguran ke PT SCRC, Isinya menegur keterlambatan jadwal pembangunan. Namun PT SCRC tidak mengindahkan teguran ini dan tetap terlambat dalam melaksanakan jadwal tersebut. Bahkan hingga hari terakhir tenggat waktu, PT SCRC hanya mampu menyelesaikan 65 persen pekerjaan.
Akibat pemutusan kontrak ini, PT SCRC melakukan gugatan lewat Badan Arbitase Nasional Indonesia (BANI) yang memutuskan lewat Akte Perdamaian No. 304/I/ARBBANI/2005 tanggal 21 Juli 2005.
Dalam akte perdamaian itu diputuskan, PT SCRC tetap melaksanakan pembangunan Gedung DPRD Banten dengan syarat tidak meminta pembayaran hingga pembangunan selesai 100 persen. Sedangkan Pemprov Banten harus membayar termin / pembayaran kedua yang sempat ditunda sebelumnya.
Keputusan BANI ini menyebabkan Pemprov Banten kehilangan penerimaan dari denda sanksi keterlambatan Rp3,125 miliar dan kesempatan mencairkan jaminan pelaksanaan sebesar Rp3,125 miliar. Padahal, dalam Keppres 80 tahun 2003 Pasal 35 ayat 3 disebutkan, “Pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kelalaian penyedia barang/jasa dikenakan sanksi sesuai yang ditetapkan dalam kontrak berupa : jaminan pelaksanaan menjadi milik negara, sisa uang muka dilunasi oleh penyedia barang/jasa, membayar denda dan ganti rugi kepada negara, dan pengenaan daftar hitam untuk jangka waktu tertentu”.
Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) APBD Banten tahun 2004 meminta Kepala DPU untuk mempertanggungjawabkan masalah ini secara hukum.
Walaupun waktu pengerjaan pembangunan Gedung DPRD itu sudah diberikan perpanjangan lagi hingga tanggal 20 Desember 2005, PT SCRC ternyata tetap tidak mampu menyelesaikannya. Hasil konsultan LPPM-ITB menyebutkan, PT SCRC hanya mampu menyelesaikan hingga 81,11 persen bobot pekerjaan.
Herannya, baik DPU Banten maupun Pemprov Banten tidak melakukan tindakan apapun. Kecuali surat dari DPU Banten yang isinya menyebutkan, PT SCRC untuk menghentikan pekerjaan dan tetap bertanggungjawab terhadap lingkungan dan aset Gedung DPRD Banten.
Diam-diam, Atut Chosiyah, Plt Gubernur Banten menyetujui pembangunan itu diteruskan oleh PT SCRC, maka dibuatkan kembali addendum kontrak ke V. Menurut Iing Suwargi, Kasudin Cipta Karya DPU Banten, addendum ini atas saran BANI pada tanggal 4 Januari 2006. PT SCRC diberikan perpanjangan waktu kembali hingga tanggal 30 April 2006.
Selanjutnya, pembanguna Gedung DPRD Banten memasuki tahap ke II dengan pelaksana tetap PT SCRC. Pada tahap kedua ini, pembangunan itu menelan dana Rp28 miliar dari APBD Banten 2006 atau total Rp90,5 miliar.
Padahal, LHP BPK atas APBD Banten 2005 menyebutkan, modus operandi pembangunan Gedung DPRD Banten diindikasikan ada kerugian daerah dan disarankan untk ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Bagi masyarakat Banten, tak tersentuhnya dugaan korupsi di pembangunan Gedung DPRD Banten sudah tak aneh lagi. Soalnya, kontraktor pelaksana pembangunan itu adalah Chasan Sochib yang tak lain merupakan ayahanda dari Atut Chosiyah, Plt Gubernur Banten. (tim)

Kronologis Kasus Dugaan Korupsi Pembangunan Gedung DPRD Banten

28 Juli 2003
PT SCRC memenangkan kontrak pembangunan Gedung DPRD Banten mengalahkan PT Pembangunan Perumahan (PT PP), PT Waskita Realty dan PT Waskita Karya, melalui mekanisme Pemilihan Langsung oleh Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Provinsi Banten. Menurut Berita Acara Evaluasi No 06/PAN-PIL/PGD/CK/2003 tanggal 28 Juli 2003, PT SCRC dipilih karena penawarannya terendah.

13 Agustus 2003
Hasil pemilihan langsung itu dibuatkan Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas PU No 13/PAN-PIL/PGD/CK/2003 tanggal 13 Agustus 2003.

10 September 2003
Pelaksanaan pekerjaan itu diikat dengan Surat Perjanjian Kontrak Induk No.761/KTRK/P3B.DPRD.DPU/123/IX/2003 tanggal 10 September 2003 senilai Rp106.918.000.000,00 dengan jangka waktu pelaksanaan selama 240 (dua ratus empat puluh) hari kalender atau sampai dengan tanggal 10 Juni 2004.

23 September 2003
Terjadi perubahan nilai pembangunan Gedung DPRD Banten dari Rp106,91 miliar menjadi Rp62,5 miliar, sehingga dibuatkan perubahan kontrak (addendum) yang pertama, Addendum I No 761/KTRK/P3B.DPRD-ADD.I/DPU/123/IX/2003 tanggal 23 September 2003.

10 Oktober 2003
Karena pembangunan ini memakan waktu beberapa tahun (multi years), maka dibuatkan Kontrak turunan (Kontrak anak) I dengan surat perjanjian No 761/KTRK/P3B.DPRDADD. I/DPU/134/X/2003 tanggal 10 Oktober 2003 dengan nilai kontrak Rp20 miliar.

21 Oktober 2003
Pemprov Banten memberikan Uang Muka Kerja sebesar 20 persen dari total kontrak Rp62,5 miliar atau sebesar Rp12,5 miliar dengan Berita Acara Pembayaran No 900/BA.373/DPU/2003 tanggal 21 Oktober 2003.

29 Oktober 2003
Pemprov Banten menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) No 932/KEU-7995/BT.P.I/2003 tanggal 29 Oktober 2003 terhadap pemberian Uang Muka Kerja itu.

17 Desember 2003
Berita Acara Tingkat Kemajuan Fisik Pekerjaan No 02/BA-Fiasik/Pemb-DPRD/XII/2003 tanggal 17 Desember 2003, menyatakan kemajuan pekerjaan telah mencapai bobot 16,18 persen.

18 Desember 2003
DPU Banten membuat Berita Acara Pembayaran No 900/BA.985/DPU/2003 tanggal 18 Desember 2003 sebesar 16 persen dari total nilai kontrak dipotong uang muka kerja dan biaya pemeliharaan sebesar Rp2,5 miliar. Sehingga uang yang harus dibayarkan Pemprov Banten ke PT SCRC sebesar Rp7,5 miliar.

19 Desember 2003
Pembayaran itu dibuatkan Surat Perintah Membayar (SPM) No 932/KEU-10143/BT.P.I/2003 tanggal 19 Desember 2003.

11 Maret 2004
Pelaksanaan pekerjaan ini sudah tidak sesuai jadwal pelaksanaan pembangunan. DPU Banten menilai penyimpangan jadwal per tanggal 11 Maret 2004 sudah mencapai deviasi 14,8 persen. Sehingga berpotensi pembangunan gedung ini tidak akan selesai sesuai jadwal.

19 Maret 2004
DPU Banten menerbitkan Kontrak Anak II dengan Surat Perjanjian No 761/KTRK/P3B.DPRDADD.I/DPU/134/III/2004 tanggal 19 Maret 2004 senilai Rp42,5 miliar.

23 Maret 2004
Berkaitan dengan penyimpangan jadwal yang sudah mencapai deviasi 14,8 persen per tanggal 11 Maret 2004, DPU Banten melayangkan Surat Teguran No 641.3/191-DPU/2004 tanggal 23 Maret 2004 ke PT SCRC.

19 April 2004
Berita Acara Tingkat Kemajuan Fisik Pekerjaan yang diterbitkan tanpa nomor oleh DPU Banten ( /BA-Fisik/Pemb-DPRD/IV/2004 tanggal 19 April 2004) menyatakan, kemajuan pekerjaan telah mencapai bobot 55,95 persen.

20 April 2004
DPU Banten melakukan pembayaran kedua untuk PT SCRC atas dasar BA fisik tanpa nomor itu. Nilai pembayaran sebesar 55,95 persen dari total kontrak dipotongi pembayaran pertama, uang muka dan jaminan (retensi) Rp1,28 miliar. Sehingga DPU Banten hanya membayar sebesar Rp18,72 miliar. Berita Acara Pembayaran No 900/BA.001/DPU/2004 tanggal 20 April 2004.

21 April 2004
Terjadi perubahan perjanjian antara DPU Banten dan PT SCRC berkenaan dengan material yang sudah dikirim ke lokasi pembangunan (Material On Site / MOS). MOS yang disimpan sesuai persyaratan dapat dilakukan pembayaran sebesar 80 persen dari nilai barang. MOS yang dibayar berupakan material untuk pekerjaan permanen.


29 April 2004
Pemprov Banten menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) untuk pembayaran kedua ke PT SCRC dengan SPM No SPM No.932/KEU- 1109/BT.P.I/2004 tanggal 29 April 2004.

14 Mei 2004
DPU Banten melayangkan Surat Teguran II No 234/388-DPU/2004 tanggal 14 Mei 2004 karena penyimpangan jadwal sudah mencapai 17,96 persen sedangkan sisa waktu tinggal 30 hari lagi.

15 Mei 2004
PT SCRC mengajukan permohonan penambahan waktu pelaksanaan pembangunan Gedung DPRD dengan alasan terjadi perubahan perencanaan pekerjaan urugan tanah dan terganggunya pekerjaan struktur akibat curah hujan yang tinggi.
Atas surat bernomor No 049/Add-Waktu.DPRD/SCRC-Srg/V/2004 tanggal 15 Mei 2004 itu, DPU Banten meminta rekomendasi dari Konsultan Konstruksi dan mengabulkan penambahan waktu itu.

Bulan Juni 2004
DPU Banten dan PT SCRC mengadakan perubahan perjanjian yang dituangkan dalam Addendum III No 761/KTRK/P3B.DPRD-ADD.III/DPU/038/VI/2004. Addendum ini merubah waktu penyelesaian pekerjaan dari 240 hari menjadi 340 hari dan merubah waktu pemeliharaan dari 60 hari menjadi 90 hari.
Addendum ini juga mengatur kembali masalah sanksi dan denda. Peringatan I akan diberikan jika PT SCRC tidak mencapai bobot pekerjaan sebesar 70 persen pada hari ke 49 dari 100 hari perpanjangan waktu.
Peringatan II akan diberikan jika PT SCRC tidak mencapai bobot pekerjaan sebesar 90 persen pada hari ke 75 dari 100 hari perpanjangan waktu. Peringatan II langsung diikuti penangguhan pembayaran hingga diselesaikan pekerjaan itu.
PT SCRC harus sudah mencapai bobot pekerjaan 100 persen di hari ke 100 dari 100 hari perpanjangan waktu. Jika tidak, PT SCRC akan dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 (seribu per mil) per hari dari total kontrak. Jumlah denda maksimal sebesar 5 persen dari total kontrak.

23 Juli 2004
DPU Banten melayangkan Surat Teguran III No 640/638-DPU/2004 tanggal 23 Juli 2004 yang isinya menyebutkan, hingga minggu ke 40, bobot pekerjaan baru mencapai 64 persen dari seharusnya 79,34 persen. Artinya terjadi keterlambatan jadwal sebesar 15,34 persen.
Kecepatan kemajuan pekerjaan yang dilakukan PT SCRC rata hanya 0,7 persen per minggu. Hingga PT SCRC berpotensi tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak.
Dalam addendum kontrak disebutkan, pada tanggal 27 Juli 2004, PT SCRC harus mencapai bobot pekerjaan 70 persen dan pada tanggal 18 September 2004 harus sudah 100 persen.

27 Agustus 2004
DPU Banten kembali melayangkan Surat Teguran 641/814-DPU/2004 tanggal 27 Agustus 2004. Isinya menyebutkan kemajuan pekerjaan PT SCRC baru mencapai 65 persen, serta sisa waktu pekerjaan tinggal 23 hari lagi.

16 September 2004
DPU Banten tak bosan-bosan, kembali melayangkan surat dengan No 641/877-DPU/2004 tanggal 16 September 2004. Isinya menyebutkan PT SCRC akan dikenakan denda 1/1000 (satu per mil) setiap harinya, mulai tanggal 19 September 2004.

22 Oktober 2004
Walaupun tidak pernah direspon oleh PT SCRC, DPU Banten melayangkan surat lagi dengan No 641.3/1069-DPU/2004 tanggal 22 Oktober 2004. Isinya mengatakan batas maksimum pengenaan denda sebesar 5 persen tinggal 16 hari lagi.

2 November 2004
DPU Banten melayang surat No 641.3/1107-DPU/2004 tanggal 2 November 2004 yang menyebutkan, batas denda maksimal berakhir pada tanggal 8 November 2004 dan PT SCRC tidak mungkin lagi menyelesaikan pembangunan Gedung DPRD Banten.

9 November 2004
Kepala DPU Banten memutuskan kontrak PT SCRC, karena tidak dapat menyelesaikan pekerjaan itu. Pemutusan kontrak ini melalui surat No 641.3/1119-DPU/2004 tanggal 9 Nopember 2004. Sehingga denda yang harus dipungut dari PT SCRC sebesar 5 persen dari total kontrak atau senilai Rp3,15 miliar.
Akibat pemutusan kontrak ini, PT SCRC mengajukan permohonan ke Badan Arbitase Nasional Indonesia (BANI).

20 Desember 2004
DPU Banten menagih sanksi denda keterlambatan ke PT SCRC dengan cara melayangkan surat No.900/1253-DPU/2004 tanggal 20 Desember 2004.

21 Juli 2005
Atas sengketa pembangunan Gedung DPRD Banten, BANI mengeluarkan Akte Perdamaian No. 304/I/ARBBANI/2005 tanggal 21 Juli 2005. Isinya mewajibkan PT SCRC menyelesaikan pekerjaan pembanguna gedung itu tanpa mengajukan pembayaran / termin hingga pekerjaan selesai 100 persen. Sedangkan DPU Banten diharuskan membayar termin ke III sesuai kemajuan pekerjaan sebesar 70 persen atau senilai Rp6,64 miliar.
Biaya arbitrase sebesar Rp515 juta ditanggung PT SCRC sebesar Rp257,5 juta dan Pemprov Banten sebesar Rp257,5 juta. Akibat putusan ini, Pemprov Banten kehilangan kesempatan mencairkan jaminan pelaksanaan PT SCRC sebesar Rp3,125 miliar.



28 Juli 2005
Keputusan BANI menyebabkan terjadi perubahan kontrak pembangunan Gedung DPRD Banten, sehingga dibuatkan addendum IV No 761/KTRK/PG.DPRD-ADD.IV/DPU/070-12/VII/2005 tanggal 28 Juli 2005. Isinya memperpanjang waktu pelaksanaan hingga 20 Desember 2005 atau 146 hari.

20 Desember 2005
Di hari terakhir pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan addendum IV, PT SCRC tetap tidak mampu menyelesaikan pembangunan Gedung DPRD Banten. Hasil opname pekerjaan yang dilakukan oleh konsultan LPPM-ITB menyebutkan, kemajuan pekerjaan yang dilakukan PT SCRC hanya mencapai 81,11 persen. Itu pun sudah termasuk pengadaan material (MOS).
PT SCRC dinilai tidak mampu menyelesaikan pekerjaan senilai Rp10,72 miliar atau 18,88 persen dari nilai kontrak.
Sementara Atut Chosiyah, Plt Gubernur Banten mendisposisikan surat dari PT SCRC yang mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyelesaian pembangunan Gedung DPRD Banten ke Kepala DPU Banten. Isi disposisi itu memerintahkan DPU Banten untuk berkoordinasi dan berkonsultasi dengan BANI.
BANI baru dapat memberikan waktu pada tanggal 3 Januari 2006.

21 Desember 2005
DPU Banten melayang surat No 640.3/1387.4-DPU/XII/2005 tanggal 21 Desember 2005 ke PT SCRC. Isinya memerintahkan PT SCRC menghentikan pekerjaan, tapi tetap bertanggungjawab terhadap keamanan lingkungan dan aset pembangunan Gedung DPRD Banten.

30 Desember 2005
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyelesaikan pemeriksaan di Pemprov Banten dan melaporkan Gedung DPRD Banten belum selesai dikerjakan.

Catatan
• Surat permohonan perpanjangan yang diajungkan PT SCRC, tidak pernah diketahui keberadaannya, begitu pula dengan disposisi Plt Gubernur Banten, Atut Chosiyah yang tak lain putri dari Chasan Sochib, pemilik PT SCRC.
• Hasil pertemuan Pemprov Banten dengan BANI pada tanggal 3 Januari 2006, menurut Iing Suwargi, Kasubdin Cipta Karya DPU Banten hanya menghasilkan surat biasa tertanggal 4 Januari 2006. Isinya pembangunan Gedung DPRD Banten diperkenankan diteruskan oleh PT SCRC.
Sehingga diadakan perubahan kontrak lagi (addendum V) yang merubah waktu terakhir penyelesaian pekerjaan itu tanggal 30 April 2006. Menurut Iing, PT SCRC dapat menyelesaikan 100 persen kontrak pertama dan sisa pembayaran sebesar Rp10,72 miliar sudah dilunasi.
• Surat BANI tertanggal 4 Januari 2006, ternyata tidak diketahui oleh Biro Hukum Pemprov Banten. Soalnya, pengurusan sengketa itu hanya dipercayakan pada satu pegawai Biro Hukum Banten, Johan.
• Menurut Iing Suwargi, Kasubdin Cipta Karya DPU Banten, agar Gedung DPRD Banten siap dihuni, maka dibuat kontrak kedua yang ruang lingkupnya pada bidang arsitektur indoor dan outdor, serta infastruktur penunjang. Kontrak ini senilai Rp28 miliar dan waktu terakhir penyelesaian tanggal 30 Desember 2006. (tim)

Kronologis Gdg DPRD Banten

Kronologis Kasus Dugaan Korupsi Pembangunan Gedung DPRD Banten

28 Juli 2003
PT SCRC memenangkan kontrak pembangunan Gedung DPRD Banten mengalahkan PT Pembangunan Perumahan (PT PP), PT Waskita Realty dan PT Waskita Karya, melalui mekanisme Pemilihan Langsung oleh Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Provinsi Banten. Menurut Berita Acara Evaluasi No 06/PAN-PIL/PGD/CK/2003 tanggal 28 Juli 2003, PT SCRC dipilih karena penawarannya terendah.

13 Agustus 2003
Hasil pemilihan langsung itu dibuatkan Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas PU No 13/PAN-PIL/PGD/CK/2003 tanggal 13 Agustus 2003.

10 September 2003
Pelaksanaan pekerjaan itu diikat dengan Surat Perjanjian Kontrak Induk No.761/KTRK/P3B.DPRD.DPU/123/IX/2003 tanggal 10 September 2003 senilai Rp106.918.000.000,00 dengan jangka waktu pelaksanaan selama 240 (dua ratus empat puluh) hari kalender atau sampai dengan tanggal 10 Juni 2004.

23 September 2003
Terjadi perubahan nilai pembangunan Gedung DPRD Banten dari Rp106,91 miliar menjadi Rp62,5 miliar, sehingga dibuatkan perubahan kontrak (addendum) yang pertama, Addendum I No 761/KTRK/P3B.DPRD-ADD.I/DPU/123/IX/2003 tanggal 23 September 2003.

10 Oktober 2003
Karena pembangunan ini memakan waktu beberapa tahun (multi years), maka dibuatkan Kontrak turunan (Kontrak anak) I dengan surat perjanjian No 761/KTRK/P3B.DPRDADD. I/DPU/134/X/2003 tanggal 10 Oktober 2003 dengan nilai kontrak Rp20 miliar.

21 Oktober 2003
Pemprov Banten memberikan Uang Muka Kerja sebesar 20 persen dari total kontrak Rp62,5 miliar atau sebesar Rp12,5 miliar dengan Berita Acara Pembayaran No 900/BA.373/DPU/2003 tanggal 21 Oktober 2003.

29 Oktober 2003
Pemprov Banten menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) No 932/KEU-7995/BT.P.I/2003 tanggal 29 Oktober 2003 terhadap pemberian Uang Muka Kerja itu.

17 Desember 2003
Berita Acara Tingkat Kemajuan Fisik Pekerjaan No 02/BA-Fiasik/Pemb-DPRD/XII/2003 tanggal 17 Desember 2003, menyatakan kemajuan pekerjaan telah mencapai bobot 16,18 persen.

18 Desember 2003
DPU Banten membuat Berita Acara Pembayaran No 900/BA.985/DPU/2003 tanggal 18 Desember 2003 sebesar 16 persen dari total nilai kontrak dipotong uang muka kerja dan biaya pemeliharaan sebesar Rp2,5 miliar. Sehingga uang yang harus dibayarkan Pemprov Banten ke PT SCRC sebesar Rp7,5 miliar.

19 Desember 2003
Pembayaran itu dibuatkan Surat Perintah Membayar (SPM) No 932/KEU-10143/BT.P.I/2003 tanggal 19 Desember 2003.

11 Maret 2004
Pelaksanaan pekerjaan ini sudah tidak sesuai jadwal pelaksanaan pembangunan. DPU Banten menilai penyimpangan jadwal per tanggal 11 Maret 2004 sudah mencapai deviasi 14,8 persen. Sehingga berpotensi pembangunan gedung ini tidak akan selesai sesuai jadwal.

19 Maret 2004
DPU Banten menerbitkan Kontrak Anak II dengan Surat Perjanjian No 761/KTRK/P3B.DPRDADD.I/DPU/134/III/2004 tanggal 19 Maret 2004 senilai Rp42,5 miliar.

23 Maret 2004
Berkaitan dengan penyimpangan jadwal yang sudah mencapai deviasi 14,8 persen per tanggal 11 Maret 2004, DPU Banten melayangkan Surat Teguran No 641.3/191-DPU/2004 tanggal 23 Maret 2004 ke PT SCRC.

19 April 2004
Berita Acara Tingkat Kemajuan Fisik Pekerjaan yang diterbitkan tanpa nomor oleh DPU Banten ( /BA-Fisik/Pemb-DPRD/IV/2004 tanggal 19 April 2004) menyatakan, kemajuan pekerjaan telah mencapai bobot 55,95 persen.

20 April 2004
DPU Banten melakukan pembayaran kedua untuk PT SCRC atas dasar BA fisik tanpa nomor itu. Nilai pembayaran sebesar 55,95 persen dari total kontrak dipotongi pembayaran pertama, uang muka dan jaminan (retensi) Rp1,28 miliar. Sehingga DPU Banten hanya membayar sebesar Rp18,72 miliar. Berita Acara Pembayaran No 900/BA.001/DPU/2004 tanggal 20 April 2004.

21 April 2004
Terjadi perubahan perjanjian antara DPU Banten dan PT SCRC berkenaan dengan material yang sudah dikirim ke lokasi pembangunan (Material On Site / MOS). MOS yang disimpan sesuai persyaratan dapat dilakukan pembayaran sebesar 80 persen dari nilai barang. MOS yang dibayar berupakan material untuk pekerjaan permanen.

29 April 2004
Pemprov Banten menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) untuk pembayaran kedua ke PT SCRC dengan SPM No SPM No.932/KEU- 1109/BT.P.I/2004 tanggal 29 April 2004.

14 Mei 2004
DPU Banten melayangkan Surat Teguran II No 234/388-DPU/2004 tanggal 14 Mei 2004 karena penyimpangan jadwal sudah mencapai 17,96 persen sedangkan sisa waktu tinggal 30 hari lagi.

15 Mei 2004
PT SCRC mengajukan permohonan penambahan waktu pelaksanaan pembangunan Gedung DPRD dengan alasan terjadi perubahan perencanaan pekerjaan urugan tanah dan terganggunya pekerjaan struktur akibat curah hujan yang tinggi.
Atas surat bernomor No 049/Add-Waktu.DPRD/SCRC-Srg/V/2004 tanggal 15 Mei 2004 itu, DPU Banten meminta rekomendasi dari Konsultan Konstruksi dan mengabulkan penambahan waktu itu.

Bulan Juni 2004
DPU Banten dan PT SCRC mengadakan perubahan perjanjian yang dituangkan dalam Addendum III No 761/KTRK/P3B.DPRD-ADD.III/DPU/038/VI/2004. Addendum ini merubah waktu penyelesaian pekerjaan dari 240 hari menjadi 340 hari dan merubah waktu pemeliharaan dari 60 hari menjadi 90 hari.
Addendum ini juga mengatur kembali masalah sanksi dan denda. Peringatan I akan diberikan jika PT SCRC tidak mencapai bobot pekerjaan sebesar 70 persen pada hari ke 49 dari 100 hari perpanjangan waktu.
Peringatan II akan diberikan jika PT SCRC tidak mencapai bobot pekerjaan sebesar 90 persen pada hari ke 75 dari 100 hari perpanjangan waktu. Peringatan II langsung diikuti penangguhan pembayaran hingga diselesaikan pekerjaan itu.
PT SCRC harus sudah mencapai bobot pekerjaan 100 persen di hari ke 100 dari 100 hari perpanjangan waktu. Jika tidak, PT SCRC akan dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 (seribu per mil) per hari dari total kontrak. Jumlah denda maksimal sebesar 5 persen dari total kontrak.

23 Juli 2004
DPU Banten melayangkan Surat Teguran III No 640/638-DPU/2004 tanggal 23 Juli 2004 yang isinya menyebutkan, hingga minggu ke 40, bobot pekerjaan baru mencapai 64 persen dari seharusnya 79,34 persen. Artinya terjadi keterlambatan jadwal sebesar 15,34 persen.
Kecepatan kemajuan pekerjaan yang dilakukan PT SCRC rata hanya 0,7 persen per minggu. Hingga PT SCRC berpotensi tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak.
Dalam addendum kontrak disebutkan, pada tanggal 27 Juli 2004, PT SCRC harus mencapai bobot pekerjaan 70 persen dan pada tanggal 18 September 2004 harus sudah 100 persen.

27 Agustus 2004
DPU Banten kembali melayangkan Surat Teguran 641/814-DPU/2004 tanggal 27 Agustus 2004. Isinya menyebutkan kemajuan pekerjaan PT SCRC baru mencapai 65 persen, serta sisa waktu pekerjaan tinggal 23 hari lagi.

16 September 2004
DPU Banten tak bosan-bosan, kembali melayangkan surat dengan No 641/877-DPU/2004 tanggal 16 September 2004. Isinya menyebutkan PT SCRC akan dikenakan denda 1/1000 (satu per mil) setiap harinya, mulai tanggal 19 September 2004.

22 Oktober 2004
Walaupun tidak pernah direspon oleh PT SCRC, DPU Banten melayangkan surat lagi dengan No 641.3/1069-DPU/2004 tanggal 22 Oktober 2004. Isinya mengatakan batas maksimum pengenaan denda sebesar 5 persen tinggal 16 hari lagi.

2 November 2004
DPU Banten melayang surat No 641.3/1107-DPU/2004 tanggal 2 November 2004 yang menyebutkan, batas denda maksimal berakhir pada tanggal 8 November 2004 dan PT SCRC tidak mungkin lagi menyelesaikan pembangunan Gedung DPRD Banten.

9 November 2004
Kepala DPU Banten memutuskan kontrak PT SCRC, karena tidak dapat menyelesaikan pekerjaan itu. Pemutusan kontrak ini melalui surat No 641.3/1119-DPU/2004 tanggal 9 Nopember 2004. Sehingga denda yang harus dipungut dari PT SCRC sebesar 5 persen dari total kontrak atau senilai Rp3,15 miliar.
Akibat pemutusan kontrak ini, PT SCRC mengajukan permohonan ke Badan Arbitase Nasional Indonesia (BANI).

20 Desember 2004
DPU Banten menagih sanksi denda keterlambatan ke PT SCRC dengan cara melayangkan surat No.900/1253-DPU/2004 tanggal 20 Desember 2004.

21 Juli 2005
Atas sengketa pembangunan Gedung DPRD Banten, BANI mengeluarkan Akte Perdamaian No. 304/I/ARBBANI/2005 tanggal 21 Juli 2005. Isinya mewajibkan PT SCRC menyelesaikan pekerjaan pembanguna gedung itu tanpa mengajukan pembayaran / termin hingga pekerjaan selesai 100 persen. Sedangkan DPU Banten diharuskan membayar termin ke III sesuai kemajuan pekerjaan sebesar 70 persen atau senilai Rp6,64 miliar.
Biaya arbitrase sebesar Rp515 juta ditanggung PT SCRC sebesar Rp257,5 juta dan Pemprov Banten sebesar Rp257,5 juta. Akibat putusan ini, Pemprov Banten kehilangan kesempatan mencairkan jaminan pelaksanaan PT SCRC sebesar Rp3,125 miliar.

28 Juli 2005
Keputusan BANI menyebabkan terjadi perubahan kontrak pembangunan Gedung DPRD Banten, sehingga dibuatkan addendum IV No 761/KTRK/PG.DPRD-ADD.IV/DPU/070-12/VII/2005 tanggal 28 Juli 2005. Isinya memperpanjang waktu pelaksanaan hingga 20 Desember 2005 atau 146 hari.

20 Desember 2005
Di hari terakhir pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan addendum IV, PT SCRC tetap tidak mampu menyelesaikan pembangunan Gedung DPRD Banten. Hasil opname pekerjaan yang dilakukan oleh konsultan LPPM-ITB menyebutkan, kemajuan pekerjaan yang dilakukan PT SCRC hanya mencapai 81,11 persen. Itu pun sudah termasuk pengadaan material (MOS).
PT SCRC dinilai tidak mampu menyelesaikan pekerjaan senilai Rp10,72 miliar atau 18,88 persen dari nilai kontrak.
Sementara Atut Chosiyah, Plt Gubernur Banten mendisposisikan surat dari PT SCRC yang mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyelesaian pembangunan Gedung DPRD Banten ke Kepala DPU Banten. Isi disposisi itu memerintahkan DPU Banten untuk berkoordinasi dan berkonsultasi dengan BANI.
BANI baru dapat memberikan waktu pada tanggal 3 Januari 2006.

21 Desember 2005
DPU Banten melayang surat No 640.3/1387.4-DPU/XII/2005 tanggal 21 Desember 2005 ke PT SCRC. Isinya memerintahkan PT SCRC menghentikan pekerjaan, tapi tetap bertanggungjawab terhadap keamanan lingkungan dan aset pembangunan Gedung DPRD Banten.

30 Desember 2005
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyelesaikan pemeriksaan di Pemprov Banten dan melaporkan Gedung DPRD Banten belum selesai dikerjakan.

Catatan
• Surat permohonan perpanjangan yang diajungkan PT SCRC, tidak pernah diketahui keberadaannya, begitu pula dengan disposisi Plt Gubernur Banten, Atut Chosiyah yang tak lain putri dari Chasan Sochib, pemilik PT SCRC.
• Hasil pertemuan Pemprov Banten dengan BANI pada tanggal 3 Januari 2006, menurut Iing Suwargi, Kasubdin Cipta Karya DPU Banten hanya menghasilkan surat biasa tertanggal 4 Januari 2006. Isinya pembangunan Gedung DPRD Banten diperkenankan diteruskan oleh PT SCRC.
Sehingga diadakan perubahan kontrak lagi (addendum V) yang merubah waktu terakhir penyelesaian pekerjaan itu tanggal 30 April 2006. Menurut Iing, PT SCRC dapat menyelesaikan 100 persen kontrak pertama dan sisa pembayaran sebesar Rp10,72 miliar sudah dilunasi.
• Surat BANI tertanggal 4 Januari 2006, ternyata tidak diketahui oleh Biro Hukum Pemprov Banten. Soalnya, pengurusan sengketa itu hanya dipercayakan pada satu pegawai Biro Hukum Banten, Johan.
• Menurut Iing Suwargi, Kasubdin Cipta Karya DPU Banten, agar Gedung DPRD Banten siap dihuni, maka dibuat kontrak kedua yang ruang lingkupnya pada bidang arsitektur indoor dan outdor, serta infastruktur penunjang. Kontrak ini senilai Rp28 miliar dan waktu terakhir penyelesaian tanggal 30 Desember 2006. (tim)

Thursday, December 27, 2007

AMBISI sikapi korupsi

Aksi anti korupsi hari ini dikantor Kejati Banten sangat ramai digelar oleh belasan organ gerakan mahasiswa yang tergabung dalam AMBISI. Hari Anti Korupsi (9 Desember) lalu, menyisakan perlawanan paling berani dalam SEJARAH GERAKAN MAHASISWA BANTEN hingga detik ini.

Setelah sebelumnya 2 (dua) orang mahasiswa ditahan karena dituduh melakukan tindakan perusakan (anarkisme) dikantor Kejati Banten. Mereka kembali melakukan aksi yang ketigakalinya dan mempertegas esensi aksi unjuk rasa yang dilakukan.

AMBISI (Aliansi Mahasiswa Banten Anti Korupsi) dalam aksinya hari ini menyampaikan 10kasus korupsi di Banten untuk diproses dan tidak dipeti eskan (SP 3-Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara). Contoh kasus sebelumnya yaitu Karang Sari (5,2 milyard) di Pandeglang yang terbukti merupakan penyalahgunaan wewenang dan korupsi anggaran, dari peningkatan jalan menjadi pembebasan lahan telah di peti eskan pada 27Juli 2006 oleh Kejati Banten.

AMBISI menurut Rudi Hermawan tidak ingin kasus serupa terulang kembali, dimana kekuasaan politik lebih dominan dibandingkan penegakan hukum di Banten. Korelasi yang sangat kuat membuat penegakan hukum menjadi sesuatu yang mahal dan hanya sekedar jargon.

Sangat aneh lagi jika melihat 8 (delapan) nyawa struktur organisasi di Indonesia yang cukup banyak, dimana kita melihat KPK, BPK, Kejati, Polda, Bawasda,BPKP, Inspektorat Jendral, belum lagi ditambah parlemen (fungsi pengawasan) masih tidak mampu memberantas korupsi. Di China dan Hongkong (ICA) saja hanya ada satu atau tiga lembaga, tetapi sangat keras dan tegas, juga efektif dalam memberantas korupsi.

Di Indonesia rakyat terpaksa harus turun ke jalan, bahkan para mahasiswa yang tugas sebetulnya harus menekuni studi."Ini betul-betul menguras energi, waktu, dan masalah bagi kami", demikian imbuh Rudi Hermawan, aktivis mahasiswa Untirta yang sudah cukup lama sering turun ke jalan melakukan demonstrasi, ketika ditemui dipojok kampus sedang melakukan kordinasi dan diskusi informal dengan UMC (Untirta Movement Community).(Teguh)

Tuesday, November 20, 2007

UU 20 Tahun 2001

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :
a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak
hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara
luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan
yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa;

b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman
penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas
tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan huruf b, perlu membentuk Undang-undang tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar
1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3209);
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3851);
4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874);


Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI.

Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai
berikut:

1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga
rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal
angka 1 Undang-undang ini.

2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan
unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undangundang
Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili; atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan
maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili.

(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).

Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,
atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan
bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan
negara dalam keadaan perang;

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang
yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil
atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut.

Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftardaftar
yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00
(tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya; atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut; atau

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut.

Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau
yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut
ada hubungan dengan jabatannya.

Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili;

d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili;

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang;

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan,
telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya
bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan;
atau

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun
tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal
12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi
yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).

Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan
ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan
wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau
milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undangundang
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi
Pasal 26 A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26 A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat
diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,
angka, atau perforasi yang memiliki makna.

5. Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal
37 A dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat (2)
dengan penyempurnaan pada ayat (2) frasa yang berbunyi
"keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
baginya" diubah menjadi "pembuktian tersebut digunakan oleh

pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti", sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 adalah sebagai berikut:

Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut
dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti.
b. Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) dengan penyempurnaan kata "dapat" pada ayat (4) dihapus
dan penunjukan ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (5) dihapus, serta ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5) masing-masing berubah menjadi ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 A adalah
sebagai berikut:

Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat
bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5
sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut
umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
6. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni
Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi
sebagai berikut :

Pasal 38 A
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan
pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pasal 38 B
(1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib
membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum
didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak
pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari
tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh
atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.
(3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan
tuntutannya pada perkara pokok.
(4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada
saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat
diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa
pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala
tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta
benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus
ditolak oleh hakim.

Pasal 38 C
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga
atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum
dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap
terpidana dan atau ahli warisnya.

7. Di antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai
Ketentuan Peralihan yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang
diletakkan di antara Pasal 43 dan Pasal 44 sehingga keseluruhannya
berbunyi sebagai berikut:


BAB VI A
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 43 A
(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana
penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan
ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan
Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal
7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi
yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang ini
diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum
pidana penjara bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari
Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2) Undang-undang ini.
8. Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni
Pasal 43 B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43 B
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210,
Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal
419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang
Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh
Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 Nopember 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSII.

I. UMUM
Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang
berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan Undangundang
tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan
Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan
hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.

Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara
sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara,
tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara
luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus
dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem
pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran,
dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu
diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah
yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain
diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga
diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
14
yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung
elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram,
teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam
secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat "premium remidium" dan
sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undangundang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak
melakukan tindak pidana korupsi.

Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang
gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang
diduga berasal dari salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal
16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini.
Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan
gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan
atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan
atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak
pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau
ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk
kuasanya untuk mewakili negara.

Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru
mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana
korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan
bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
Di samping itu, dalam Undang-undang ini dicantumkan Ketentuan
Peralihan. Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai
dengan asas umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

II. PASAL DEMI PASAL
15
Pasal I
Angka 1
Pasal 2 ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah
keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku
tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan
bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial
yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan
pengulangan tindak pidana korupsi.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyelenggara negara" dalam Pasal ini adalah
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undangundang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian
"penyelenggara negara" tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal
berikutnya dalam Undang-undang ini.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
16
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "advokat" adalah orang yang berprofesi memberi
jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf I
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 12 A
17
Cukup jelas
Pasal 12 B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau
tanpa sarana elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12 C
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 26 A
Huruf a
Yang dimaksud dengan "disimpan secara elektronik" misalnya data yang
disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM)
atau Write Once Read Many (WORM).
Yang dimaksud dengan "alat optik atau yang serupa dengan itu" dalam
ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data
interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.
Huruf b
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 37
Ayat (1)
Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian
terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan
hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang
18
berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination).
Ayat (2)
Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut
undang-undang (negatief wettelijk).
Pasal 37 A
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 38 A
Cukup jelas
Pasal 38 B
Ketentuan dalam Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang
dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga keras juga
berasal dari tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal
14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai
dengan Pasal 12 Undang-undang ini sebagai tindak pidana pokok.
Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda tersebut
dirampas untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan
prikemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa.
Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ialah
alasan logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa
dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti terdakwa bukan
pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut.

Pasal 38 C
Dasar pemikiran ketentuan dalam Pasal ini adalah untuk memenuhi rasa
keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga berasal dari
tindak pidana korupsi.
Harta benda tersebut diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dalam hal tersebut, negara memiliki hak untuk
melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya
terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan
memperoleh kekuatan tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada

Undang-undang sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau setelah
berlakunya Undang-undang tersebut.
Untuk melakukan gugatan tersebut negara dapat menunjuk kuasanya
untuk mewakili negara.
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4150