Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Friday, December 28, 2007

Kronos DP 14 M

Kronologis Kasus Korupsi DPRD Banten Rp.14 Miliar

Oktober- Desember 2002
PAL dan PAE tengah merampungkan draft APBD Banten 2003 dengan mengacu pada Makuda (manual keuangan daerah). Pembahasan ini telah menghabiskan dana Rp600 juta sesuai dengan alokasi dalam APBD tahun 2002. Dana ini telah habis digunakan.

16 Desember 2002,
Rapat di Hotel Imperial di Tangerang membahas gedung dewan, rumah dinas dewan. Hadir PAL yang beranggotakan 28 orang dan 3 pimpinan dewan. Menurut Sekretaris PAL, Tuti Sutiah Indra, dalam rapat ini juga dibahas besaran masing-masing yang akan diterima anggota PAL dari dana kegiatan penunjang dewan.

13 Januari 2003
DPRD Banten mengeluarkan surat izin untuk melaksanakan ibadah haji bagi Mufrodi Muchsin bin KH Muchsin dengan nomor 162/13/DPRD/I/2003. Mufrodi kembali dari tanah suci pada bulan Maret 2003.

4 Februari 2003
Hotel Bidakara, Jakarta diadakan pertemuan oleh Dirjen Otonomi Daerah Depdagri, kepala daerah dan anggota dewan seluruh Indonesia. Dalam pertemuan itu Dirjen Otda mengharuskan, seluruh APBD yang disusun daerah menggunakan sistem double entries atau kode rekening sesuai Kepmendagri No.29 tahun 2002. Hasil rapat di Hotel Bidakara ini membuat bingung Pemprov Banten dan DPRD yang telah menyusun draft APBD 2003 secara Makuda. Karena sifatnya wajib dan harus segera, diputuskan untuk menggunakan dana TT sebesar Rp 3,5 miliar untuk mengcover kegiatan perubahan cara penyusunan tersebut.

7 Februari 2003
Gubernur Banten mengirimkan surat No.900/Keu-309/2003 ke DPRD Banten untuk persetujuan menggunakan pos TT untuk bantuan penunjang kegiatan DPRD yang berkaitan dengan Kepmendagri No.29/200. Surat ini langsung dibalas pada tanggal yang sama (7/2-2003) oleh pimpinan DPRD dengan nomor surat 12.4/DPRD/45a/II/2003 yang prinsipnya menyetujui penggunaan dana itu denga mata anggaran 2.15.1.1.1150. Surat itu ditandatangani Dharmono K Lawi (Ketua).

10 Februari 2003
Gubernur Banten, Djoko Munandar menerbitkan SK No.163.1/Kep.41a-Huk/2003 tentang penggunaan dana pengeluaran tidak tersnagka untuk bantuan kegiatan DPRD berkaitan dengan Kepmendagri No.29/2002 sebesar Rp 3,5 miliar dan dibebankan pada nomor rekening 2.01.0311.5.1. Hari itu juga Bendaharawan Lili Syadeli dan Asisten Daerah (Asda) III, Dedi Djumhana membuat surat permintaan pembayaran (SPP) No.991/1/BT/I/2003 dengan lampiran kuitansi yang ditandatangani Lili Syadeli dan Tardian (alm), Sekwan Banten dan diketahui oleh Asda III, Dedi Djumhana. Kemudian Biro Keuangan menerbitkan SPMU No.931/Keu-0306/RT/2003 sebesar Rp 3,5 miliar.

11 Februari 2003
Nana Mulyana, Staf Biro Keuangan Pemprov Banten mentransfer uang itu ke rekening pribadi Tardian di Bank Jabar dengan nomor 07.03.60.000110.9. Kemudian uang itu diambil Tuti Sutiah Indra, Sekretaris Panitia Anggaran Legislatif (PAL) dengan menggunakan surat kuasa. Kemudian secara berangsur-angsur uang ini diambil oleh Tardian dan Tuty Sutiah Indra (Sekretaris PAL) untuk dibagikan kepada 28 anggota PAL.

5 Maret 2003
DPRD Banten mensahkan RAPBD menjadi APBD Banten tahun 2003 sebesar Rp1,2 triliun. Dalam APBD itu tidak terdapat pos belanja dana perumahan Rp 10,5 miliar dan kegiatan penunjang Rp 3,5 miliar. Seusai pengesahan APBD ini, Mufrodi Muchsin baru mengetahui bahwa dia sudah menerima uang ke rekeningnya yang ditransfer oleh Tardian, Sekwan Banten sebagai uang bantuan eksekutif. Dalam periode ini, muncul wacana di anggota DPRD akan meminta hak perumahan seperti yang tertuang dalam tata tertib (Tatib) yang dikompensasikan dalam bentuk uang. Alasannya, selama 3 tahun bertugas, anggota dewan belum pernah diberi fasilitas perumahan.

11 Maret 2003
Belum terjadi kesimpulan apakah dana TT dapat digunakan untuk dana perumahan. Pertemuan ini lebih membahas mekanisme dan prosedural yang benar.

19 Maret 2003
Pertemuan dengan fraksi-fraksi di ruang Sekda. Para anggota dewan mendesak Pemprov Banten agar memberikan uang tunjangan perumahan sesuai dengan haknya yang diatur dalam Tatib Banten. Dananya bisa diambil dari alokasi dana tak tesangka. Sekda Banten, Chaeron Muchsin selaku Ketua Panitia Anggaran Eksekutif (PAE) masih belum merespon secara penuh keinginan anggota dewan yang direpresentasikan oleh fraksi-fraksi. Bersamaa dengan itu, muncul wacana yang dimuat di koran-koran lokal tentang desakan dari anggota dewan untuk mengganti Chaeron Muchsin sebagai Sekda Banten karena dinilai tidak bisa diajak bekerja sama.

4 April 2003
Pertemuan di Hotel Mulia, Jakarta untuk membahas soal keinginan anggota DPRD untuk mendapatkan fasilitas rumah yang dikompensasikan dalam bentuk uang. Gubernur Banten, Djoko Munandar menolak secara halus dengan cara mempertanyakan payung hukum yang akan menaungi kompensasi itu, jika uangnya diambil dari alokasi dana tak tersangka.

11 April 2003
Di ruang gubernur, hadir Gubernur Banten Djoko Munandar dan wakilnya Atut Chosiyah, Sekda Banten Chaeron Muchsin, Kepala Biro Keuangan Heri Suheri dan pimpinan dewan (Dharmono, Muslim, Mufrodi), Ady Surya Dharma (Ketua PAL). Bahasan tentang tunjangan fasilitas rumah dinas. Asda III Dedi Djumhana; dasar pengeluaran fasilitas rumah dinas berdasarkan Tata Tertib DPRD, dikaitkan dengan pasal 7 dan pasal 12 Kepmendagri No 29 / 2002 agar anggota dewan terkumpul di ibukota provinsi untuk memudahkan jalannya pemerintahan. Di depan persidangan di Pengadilan Negeri Serang, Dedi Djumhana mengatakan. “Bila saya menjawab pada bulan April 2003, jawabannya itu pinjaman dulu dari dana TT. Tetapi bila menjawab pada bulan Desember 2003, tidak ada penggunaan dana TT karena sudah beres pertanggung jawabannya atau secara administrasi sudah diselesaikan.”

12 April 2003
Datang Tuti Sutiah Indra, Iwan Rosadi, Tardian (almarhum) meminta segera pencairan dana itu diproses.

13 April 2003
Uang tunjangan kegiatan anggota PAL DPRD Banten ditransfer melalui rekening masing-masing anggota PAL. Besarnya per anggota sekitar Rp 100 juta, total Rp 2,8 miliar. Sisanya, Rp 750 juta merupakan pembayaran pajak.

14 April 2003
Surat Gubernur Banten No.900/Keu-437/2003 permohonan persetujuan penggunaan dana TT dikirimkan ke DPRD Banten. Dalam surat itu tidak tercantum jumlah dana TT yang akan digunakan. Surat ini diterima Muslim Djamaludin, kemudian membuat disposisi ke Tardian, Sekwan Banten untuk segera menjawab surat tersebut.

15 April 2003
Surat balasan dari pimpinan DPRD Banten yang menyetujui penggunaan dana TT untuk dana perumahan. Surat itu ditandatangani Dharmono K Lawi (Ketua), Muslim Jamaluddin (Wakil Ketua) dan Mufrodi Muchsin (Wakil Ketua). Surat itu No 162.4/DPRD/172/IV/2003 yang berisi menyetujui penggunaan dana tak tersangka dengan mata anggaran 2.01.3.11.5.1.01.2. Dalam surat persetujuan pimpinan dewan itu muncul angka Rp 10,5 miliar. Kemudian, pada tanggal ini pula Gubernur Banten menerbitkan SK No.163/Kep.61-Huk/2003 tentang penggunaan dana tak tersangka untuk bantuan penunjang perumahan bagi anggota DPRD Provinsi Banten Rp 7,5 miliar.

16 April 2003
Bendaharawati, Lina Herlina dan Asda III, Dedi Djumhana menerbitkan SPP No.900/03/SPP/BT/2003 sebesar Rp 7,5 miliar. Kabag Perbendaharaan Biro Keuangan, Achmad Andy Rochandy menanandatangani surat perintah membayar uang (SPMU) No.931/Keu-1083/BT.P.III/2003 dengan lampiran kuitansi tanpa tanggal yang ditandatangani oleh Tardian (Sekwan), Lina Herlina (pemegang kas) dan Dedy Djumhana. Kemudian Nana Mulyana, staf Biro Keuangan mentransfer uang itu ke rekenign pribadi Tardian (Sekwan) dengan nomnor rekening 07.03.21.051688.1 di Bank Jabar Cabang Serang.

17 April 2003
Anggota Fraksi PKS di DPRD Banten menegur pimpinan dewan agar berhati-hati dalam soal penggunaan dana tidak tersangka. Teguran tersebut tidak pernah digubris.

18 April 2003
Gubernur Banten menerbitkan SK No.163/Kep.72-HUK/2003 untuk mengeluarkan uang bagi kompensasi dana perumahan. SK ini diproses di Biro Keuangan secara administratif.

23 April 2003
Gubernur Banten menerbitkan SK No.163.1/Kep.72-Huk/2003 tentang penggunaan uang tak tersangka untuk bantuan perumahan DPRD Banten.

27 April 2003
Pertemuan di Hotel Grand Mulia, Jakarta antara PAL dan PAE yang membahas soal fasilitas rumah dinas yang dikompensasikan ke uang.

29 April 2003
Dana perumahan ditransfer ke rekening pribadi Tardian, Sekwan DPRD Banten dengan nomor rekening 0-7.03.21.0516881 di Bank Jabar Cabang Serang. Supomo, Pembantu Pemegang Kas DPRD mencairkan uang pertama Rp 7 miliar dan kedua Rp 1,2 miliar. Uang itu diserahkan ke Tuti Sutiah Indra dan Rudolf Andup setelah diambil dari rekening pribadi Tardian. Uang itu dimasukan amplop berisi rata-rata Rp 100 juta, lalu dibagikan beserta tanda terimanya. Pembagian uang itu atas perintah Tuti. Uang itu diambil dari rekening tabungan Tardian di Bank Jabar.

19 Agustus 2003
Nota keuangan Gubernur Banten di dalam APBD perubahan mengenai pengeluaran dana Rp 10,5 miliar dan Rp 3,5 miliar dari dana tak tersangka. Nota keuangan, pertanggung jawaban dan perubahan APBD ini telah diterima oleh DPRD dan dinyatakan sah. Perubahan APBD ini dikirimkan ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan dinyatakan diterima, tidak terjadi penolakan atas APBD tersebut.

30 Oktober 2003
Sebagian anggota dewan mengembalikan uang dana perumahan karena dinilai tidak memenuhi kepatutan dan politis, melalui kas daerah dengan nomor rekening 20.104. Anggota DPRD Banten itu berasal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Desember 2003 - awal 2004
Pemberitaan tentang dana perumahan yang diduga sebagai kasus korupsi Rp 10,5 miliar semakin gencar dilansir oleh media cetak lokal maupun nasional. Akibat pemberitaan ini, seorang wartawan media cetak lokal sempat diadukan ke polisi oleh sebagian anggota DPRD Banten karena dinilai telah melakukan pencemaran nama baik. Pengaduan anggota dewan ini memicu sebagian besar wartawan yang bertugas di Banten menggelar demo ke Polda Banten. Pasalnya, sengketa pemberitaan itu tidak diselesaikan melalui Undang-undang No.40/1999 tentang pers, hanya menggunakan KUHP, sehingga wartawan yang membuat berita itu dianggap sebagai pelaku kriminal.

9 Agustus 2004
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jakarta-Banten melakukan pemeriksaan semester I tahun anggaran 2004 atas laporan keuangan Pemprov Banten tahun 2003 di Serang. Hasil pemeriksaan menyarankan pimpinan DPRD Banten agar mempertanggungjawabkan penggunaan bantuan penunjang kegiatan Rp 3,5 miliar serta memungut PPh pasal 21 sebesar Rp 525 juta dan menyetorkannya ke kas negara.

23 September 2004
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten ketika masih dijabat Kemas Yahya Rahman menerbitkan surat perintah penyidikan Nomor 398/0.6/Fd.1/09/2004 terhadap kasus dugaan korupsi DPRD Banten Rp 14 miliar. Dalam status penyelidikan, kejaksaan mengumpulkan keterangan dari Gubernur Banten Djoko Munandar, Ketua DPRD Banten Dharmono K Lawi, Wakil Ketua DPRD Banten Mufrodi Muchsin, Wakil Ketua DPRD Muslim Jamaluddin, para pejabat di Pemprov Banten dan anggota DPRD Banten lainnya. Namun Kejati belum pernah meminta keterangan Atut Chosiyah, Wakil Gubernur Banten, anak dari Chasan Sochib, tokoh kelompok dominan di Banten. Padahal dalam BAP dan keterangan anggota dewan jelas-jelas disebutkan bahwa Atut ikut dalam rapat-rapat untuk kompensasi dana perumahan dan penunjang kegiatan untuk menyusun ulang draft APBD disesuaikan dengan Kepmendagri No.29/2002.

24 September 2004
Mufordi Muchsin menitipkan uang dana perumahan untuk dikembalikan ke kas negara sebesar Rp 170 juta dari dana perumahan. Uang itu dititipkan ke Faisal Abbas sebagai pemegang kas dan diketahui Tardian (Sekwan).

4 November 2004
Kejati Banten melayangkan surat permintaan keterangan kepada tersangka korupsi. Surat ini dinilai aneh karena tidak dikenal dalam mekanisme pemeriksaan terhadap saksi atau tersangka seperti yang tercantum dalam UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.

5 November 2004
Kejati Banten mengirimkan surat ke Presiden RI dengan nomor R-169/0.6/Fd.1/11/2004 yang berisi permohonan izin melakukan tindakan kepolisian berkaitan dengan dugaan korupsi di DPRD Banten.

23 November 2004
Faisal Abbas, pemegang kas Sekretariat DPRD Banten menyetorkan pajak PPh 21 Rp 525 juta.

24 November 2004
Kepala Kejati Banten, Kemas Yahya Rahman menerbitkan surat perintah penyitaan atas barang bukti tindakan korupsi DPRD Banten dengan nomor surat 285/0.6/Fd/11/2004.

29 November 2004
BPKP melakukan pemeriksaan terhadap APBD Banten setelah BPK. Menurut Dwi Sahara, pegawai BPKP, lembaga ini menghitung kerugian negara yang berdasarkan 31 item berkas sebagai data acuan, antara lain dokumen satuan kerja, dokumen anggaran satuan kerja perubahan, surat gubernur tentang permohonan persetujuan pengeluaran dana tak tersangka, surat persetujuan DPRD, SK Gubernur Banten tentang penggunaan dana tak tersangka untuk tunjangan perumahan bagi anggota dewan, KLP hasil pemeriksaan BPKP, surat mendagri, Kepmendagri No.29/2002, nota penjelasan Gubernur Banten, SK Gubernur Banten tentang biaya sewa rumah pimpinan dewan, SMPM bendahara, daftar surat perintah pembayaran dan sebagainya.

1 Desember 2004
Tersangka korupsi DPRD Banten ditahan. Mereka dalah Dharmono K Lawi (mantan Ketua), Mufrodi Muchsin (mantan Wakil Ketua) dan Muslim Jamaluddin (mantan Wakil Ketua). Surat izin dari Presiden RI untuk pemeriksaan ketiga tersangka tersebut belum diterima oleh para tersangka.

9 Desember 2004
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono memberikan surat persetujuan dilakukan tindakan kepolisian terhadap pimpinan dan anggota DPRD Banten sesuai dengan No. R70/PRES/12/2004. Hari itu juga, Mufrodi Muchsin mengembalikan uang Rp 53 juta ke penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten sesuai dengan surat penyitaan Kepala Kejati Banten No.285/0.6/Fd.1/11/2004 tanggal 24 November 2004. Kemudian, tanggal ini juga tim pengacara yang mewakili Dharmono K Lawi mengajukan tuntutan praperadilan terhadap Kejati Banten karen dinilai sewenang-wenang, arogan dan tidak memenuhi ketentuan dalam proses penyelidikan dan penyidikan para tersangka korupsi DPRD Banten.

17 Desember 2004
Kejaksaan Tinggi Banten menetapkan Djoko Munandar, Gubernur Banten menjadi tersangka kasus korupsi DPRD Banten Rp 14 miliar.

16 Juni 2005
Majelis Hakim yang dipimpin Husni Rizal di Pengadilan Negeri Serang memvonis hukuman 4 tahun 6 bulan penjara kepada Dharmono K Lawi dan denda yang hampir mencapai Rp 490 juta. Dalam sidang yang sama, hakim ketua juga memvonis Muslim Jamaluddin dengan hukuman masing-masing 4 tahun penjara. Karena terbukti melanggar Pasal 2 junto Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 yang sudah disempurnakan menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketiga terdakwa langsung mengajukan banding. Putusan ini termuat keputusan No.52/Pid.B/2005/Pn.Srg.

7 Juli 2005
Tuti Sutiah Indra, mantan Sekretaris Panitia Anggaran Legislatif (PAL) DPRD Banten 2001-2004 divonis hukuman 1,5 tahun penjara oleh majelis hakim yang dipimpin Agusti. Tuti juga didenda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara dan denda pengganti Rp 225 juta subsider 3 bulan penjara. Vonis ini jauh di bawah tuntutan jaksa yang minta majelis hakim menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara. Tuti terbukti melakukan korupsi.

25 Agustus 2005
Pengadilan Tinggi Banten memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Serang yang menghukum ketiga terdakwa dalam kasus korupsi DPRD Banten. Namun Pengadilan Tinggi Banten mengubah status hukuman untuk tiga terdakwa korupsi Banten menjadi tahanan dalam kota. Ketiganya adalah Dharmono K Lawi, Mufrodi Muchsin dan Muslim Djamaluddin. Khusus untuk Dharmono terjadi perubahan alamat yang semula di Tangerang menjadi di Kalibata, Jakarta, yaitu rumah dinas anggota DPR RI. Dengan demikian, Dharmono tetap bisa mengantor sebagai anggota DPR RI dari Fraksi PDIP dengan status tahanan dalam kota di Jakarta. Dalam kasus ini, ketiga terdakwa langsung mengajukan kasasi.

29 September 2005
Pengadilan Tinggi Banten memperpanjang status tahanan kota bagi ketiga terdakwa.

Catatan Oktober 2005
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, Kemas Yahya Rahman berkali-kali melansir pernyataan ke media cetak lokal dan nasional serta media elektronik seperti televisi dan radio. Isi pernyataannya adalah mendesak Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono untuk menonaktifkan Djoko Munandar dari jabatannya sebagai Gubernur Banten. Alasannya, hal itu untuk memenuhi ketentuan UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dalam pasal 27-114 dan PP No.6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang menyebutkan bahwa kepala daerah yang sudah menjadi terdakwa bisa diberhentikan sementara (nonaktif) tanpa melalui usulan DPRD.

26 Oktober 2005
Tardian, mantan Sekwan DPRD Banten divonis 1 tahun penjara karena membantu terjadinya korupsi DPRD Banten sebesar Rp 14 miliar. Vonis yang dijatuhkan majelis hakim yang dipimpin Ismoyono ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.

Catatan November 2005
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan surat penonaktifan sejumlah kepala daerah di Indonesia yang tengah diperiksa dalam kasus dugaan korupsi. Dalam daftar kepala daerah itu tercantum Djoko Munandar yang dinonaktifkan sebagai Gubernur Banten.

24 November 2005
Tardian, mantan Sekwan Banten yang tengah menjalani hukuman meninggal dunia di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Serang, sekitar pukul 16.50 WIB. Dia meninggal akibat serangan jantung. Menurut para dokter di RSUD Serang, Tardian sudah tidak bernyawa ketika dibawa ke rumah sakit. Tardian dikuburkan di pemakaman keluarganya di Labuan, Kabupaten Pandeglang.

28 November 2005
Djoko Munandar, Gubernur Banten Nonaktif dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 300 juta oleh Jaksa Penuntut Umum yang dipimpin I Gede Sudiatmadja, sehari-hari Assintel Kejati Banten di Pengadilan Negeri Serang. Menurut tim jaksa, perbuatan Djoko menyebabkan kerugian negara Rp 14 miliar. Akibat perbuatannya, Djoko juga dituduh telah merusak citra instansi pemerintah, terutama Pemerintah Provinsi Banten.

21 Desember 2005
Pengadilan Negeri Serang dalam sidangnya yang dipimpin Husni Rizal menghukum Djoko Munandar, Gubernur Banten Nonaktif dengan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, serta penggantinya 3 bulan penjara. ''Dakwaan primer yang menuduh Djoko telah melakukan tindak pidana korupsi untuk memperkaya diri sendiri tidak terbukti, tetapi saudara Djoko telah mengeluarkan surat keputusan mencairkan dana APBD dari pos Tak Terduga untuk memperkaya para anggota DPRD Banten,'' kata Ketua Majelis Hakim, Husni Rizal saat membacakan amar putusannya. Dalam putusan disebutkan, Djoko Munandar tidak sepeser pun menikmati uang yang dikorupsi tersebut. Hanya Djoko dinilai tidak efisien dan tidak optimal dalam menggunakan APBD.

16 Januari 2006
Status tahanan kota bagi Dharmono K Lawi, Mufrodi Muchsin dan Muslim Djamaluddin diperpanjang untuk 30 hari berikutnya. Surat izin itu dikeluarkan Wakil Ketua Mahkamah Agung, Mariana S Nasution.

2 Februari 2006
Permohonan kasasi 3 terpidana kasus korupsi ditolak Mahkamah Agung. Dalam putusan No.40K/Pid/MA/2006 memutuskan agar ketiga terpidana diharuskan masuk ke penjara. Namun Kejaksaan Tinggi Banten baru menerima petikan putusan tersebut, sehingga belum bisa dijadikan dasar untuk melakukan eksekusi.

16 April 2006
Tim eksekusi putusan MA No.40 K melakukan penjemputan ke masing-masing rumah terpidana. Namun tidak ada satu pun yang bersedia untuk ikut tim tersebut. Mereka berjanji akan menyerahkan diri. Sedangkan Muslim Djamaludin berada di rumah sakit karena penyakitnya kambuh. Sedangkan Dharmono K Lawi dinyatakan buron karena tidak mau menyerahkan diri. Kepada para wartawan, Dharmono berjanji akan melakukan perlawanan karena putusan MA itu dinilai cacat hukum. Terbukti, statusnya sebagai tahanan kota yang berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung dan Mahkamah Agung justru tidak pernah tercatat dalam pertimbangan hukum. Ketiga terpidana itu diasumsikan masih dalam tahanan.

17 April 2006
Mufrodi Muchsin, terpidana korupsi yang masih menjabat Wakil Ketua DPRD Banten menyerahkan diri ke Lapas Serang, setelah melapor ke tim eksekusi. Mufrodi yang juga menjabat Ketua DPW PPP Banten diantar oleh sanak dan keluarganya ke Lapas Serang.

18 April 2006
Muslim Djamaluddin menyerahkan diri ke Lapas Serang setelah sempat dirawat 3 hari di Paviliun Mina, RSUD Serang karena sakit asma dan darah tingginya kambuh.

18 Mei 2006
Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat izin pemeriksaaan No.161.36/1034/sj/2006 yang ditandatangani M Ma’ruf. Surat ini berisikan izin pemeriksaan terhadap anggota dewan yang terlibat dalam kasus korupsi DPRD Banten Rp 14 miliar. Berdasarkan surat ini, Kejaksaan Tinggi Banten, Kamal Sofyan Nasution menetapkan 3 tersangka yang masing-masing Iwan Rosadi, Marzuki Raili dan Riril Suhartinah. Sedangkan 5 anggota dewan dijadikan saksi masing-masing Malawti (PDIP), Sutje Suwartini (PDIP), Hadi Hartono (PDIP), Bueti Natsir (PBB) dan Yayat Suhartono (PKS). Namun Kamal Sofyan Nasution tidak menyinggung soal kemungkinan Atut Chosiyah yang waktu itu menjabat Wakil Gubernur Banten dimintai keterangannya karena hadir dalam rapat-rapat penggunaan dana TT.

8 Juni 2006
Muslim Djamaluddin yang tengah menjalani hukuman 4 tahun penjara meninggal dunia setelah sempat dirawat di ICU RSUD Serang sejak Sabtu (3/6). Muslim meninggal karena penyakit komplikasi yang berakhir dengan serangan jantung. Hingga peristiwa ini, Dharmono tetap belum menyerahkan diri.

Desember 2006
Dharmono K Lawi ditangkap di Bandung di rumahnya. (tim)

No comments:

Post a Comment