Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Tuesday, January 1, 2008

Pilkadal Cilegon

Catatan Pilkadal Cilegon
dan Kontrak Politik di Indonesia


Oleh : Teguh Iman Prasetya

Di Indonesia salah satu point terwujudnya cita – cita dan harapan terjadinya proses demokratisasi yaitu terselenggaranya pemilihan langsung presiden dan kepala daerah. Harapan itu kini terwujud pada dekade tahun 2004-2005 paska Orde Baru berlalu. Pengaruh yang sangat besar masih akan tetap berputar pada mainstream peran politik mengenai proses demokratisasi dan penegakan hukum ditanah air sebagai manifestasi dan artikulasi perubahan yang dikehendaki oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Sementara itu diberbagai daerah telah terjadi penguatan atau desentralisasi wewenang dan otonomi ditiap daerah, dampaknya sebetulnya cukup besar bagi proses demokratisasi dan diharapkan membawa kesejahteraan rakyat, setelah sebelumnya pola (sentralisasi) kekuasaan terpusat terlalu dominan dan dianggap korup.

Berangkat dari hasil pemikiraan diatas maka lahirlah berbagai macam mekanisme peraturan perundangan yang mengatur visi tersebut diantaranya Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah No.32/2004 (setelah UU.Otonomi Daerah No.22/1999 direvisi) yang mengatur terjadinya Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan dan PP 06 / 2005 tentang Pemilihan Langsung Kepala Daerah serta lain sebagainya. Yang hingga saat ini masih menuai kritik dan perbaikan untuk lebih paripurna. Pada UU No. 32 / 2004 dan PP No 06/ tahun 2005 bab lima (5) pasal 36 (ayat 1,2 dan3) calon yang diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik sebanyak 15% kursi di DPRD, pada kenyataannya lebih memberi peluang politik dagang sapi dan politik uang lebih besar dan tidak memberi peluang potensi kelompok kelas menengah kebawah.

Meskipun demikian ditengah arus paradigma baru tersebut, kelemahan dan kritik tajam cukup deras mengalir tentang proses jalannya pemerintahan daerah tersebut diantaranya kemungkinan korupsi yang masih terjadi, konspirasi politik tingkat tinggi yang dilakukan oleh eksekutif dan legislative serta pengusaha diberbagai daerah (pengkaplingan kekuasaan), telah menjadikan demokratisasi rakyat hanya sebagai slogan dan jargon belaka dan kegiatan seremonial belaka. Inilah yang harus kita waspadai!

Karena demokratisasi pada penyelenggaraan pilkadal saat inipun bukan merupakan jaminan terselenggaranya pemerintahan daerah yang bersih, bahkan masih akan tetap terjebak kalau tidak dibilang sebagai praktek balas dendam, kemungkinan kembalinya praktek KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) jika para kepala daerah tersebut terpilih oleh rakyat didaerahnya. Karena partai-partai politik umumnya memasang tarif dengan nilai uang tertentu bagi calon pilkadal dari dalam dan luar partainya ditambah biaya kampanye yang dikeluarkannya untuk menggalang dukungan massa. Selain itu kesiapan KPUD daerah dan masih belum terlegitimasinya kepercayaan publik terhadap hasil pilkada tersebut mencerminkan potensi konflik horisontal yang akan terus berlanjut.

Indikasi praktek main kayu dan politik uang yang terjadi di Cilegon misalnya, telah menimbulkan krisis kepercayaan publik dan kemungkinan potensi konflik susulan serta menambah deret angka korupsi sebagai faktor kembali modal selama kampanye tersebut. Prediksi kondisi kedepan tersebut jelas memiliki pengaruh cukup besar sebagai skenario besar yang mesti kita cermati selanjutnya sebagai bahan kajian dan analisis bagi aparatur serta lembaga negara dari semua aspek secara komprehensif.

Visi Proses Pembangunan di Daerah
Tahap terakhir setelah demokrasi menurut Juergen Habermas (Mahzab Frankrut) yaitu menciptakan transformasi sosial tatanan masyarakat yang lebih terbuka, kritis dan cerdas, sehingga memungkinkan terjadinya intensitas komunikasi politik yang cukup tinggi antara penguasa dan rakyat. Didalamnya terdapat dialog interaktif diantara kedua belah pihak sehingga terjadi komunikasi politik yang diharapkan akan menimbulkan terjadinya kesepakatan politik atau tidak sama sekali. Demokrasi radikal yang diharapkan Jurgen Habermas merupakan praksis partisipatoris dengan dialog komunikatif dan tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan dengan komunikasi bebas dari dominasi kekuasaan.

Kesenjangan saluran komunikasi sosial pembangunan dan politik yang tersumbat pada saat proses berjalannya pemerintahan sudah semestinya dibuka untuk rakyat diberbagai daerah. Khususnya ketika menyoal jalannya proses pembangunan dan mekanisme laporan evaluasi yang masih terdapat adanya rekayasa dan konspirasi antar pribadi pejabat dan melibatkan institusi terkait lainnya. Inilah titik lemah kita selama ini dari sekian banyak akumulasi aspirasi masyarakat dan masalah diera reformasi (pembaharuan) kita.

Dengan demikian partisipasi rakyat dan penguasa terjadi dialog yang menjamin keterbukaan dan kesetaraan dalam pembangunan, salah satunya dengan menggunakan komunikasi massa dan publik sebagai faktor perubahan sosial. Melalui temu warga dan Dewan (musyawarah warga ) Kota ketika terjadi masalah besar di kotanya, atau melalui siaran radio maka diharapkan dialog yang terbangun adalah kedekatan, keterbukaan, serta tanggung jawab terhadap publik oleh penguasa dan kebersamaan dengan keterlibatan rakyat dalam proses pembangunan tersebut.

Dan dimasa kini dianggap perlu adanya kebersamaan untuk menciptakan tatanan masyarakat madani dan civil society yang sangat kuat diberbagai daerah. Model populis merupakan kekuasaan yang dipegang oleh setiap individu warganegara atau rakyat yang terbaik sebagai pilar demokrasi kedaulatan rakyat di Indonesia sebagaimana JJ. Rouseau menyatakan tentang keabsahan kekuasaan .


Pilkadal Cilegon Geger Cilegon Kedua
Pada tanggal 5 Juni 2005 diselenggarakan Pilkadal yang pertama di Propinsi Banten memilih walikota Cilegon. Menariknya Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) di Cilegon ini dalam proses perjalanannya pelaksanaan pemilihan tersebut, diduga dan terindikasi sarat dengan praktek politik uang serta tersangkutnya salah seorang wakil walikota Rusli Ridwan sebagai tersangka kasus korupsi pembebasan tanah Kubang Sari seluas 66,5 hektar dengan dana dari Pemkot Cilegon sebesar Rp. 6.566.710.100 (Sbr. Radar Banten,15/01/2005) pada masa pemerintahan sebelumnya periode 2000-2005. Dan akhirnya kasus korupsi Cilegon lainnya dibuka oleh Kejati Banten dan terungkap indikasi korupsi juga disebutkan mengenai pembelian kapal tunda (tug boat) sebesar 1 milyard rupiah, jalan lingkar selatan, dsb. Sebelumnya Transparansi Internasional (TI) juga telah menandai bahwa kota Cilegon dan Tangerang di Propinsi Banten termasuk 5 (lima) besar daerah terkorup di Indonesia.

Masalah praktek korupsi pembangunan di kota Cilegon ini memang menggegerkan pengamat sosial baik politik lokal maupun nasional. Mengulang sejarah terjadinya pengerahan pasukan sipil Pamswakarsa di Jakarta, para PNS (Pegawai Negeri Sipil) termasuk pejabat birokrasi Cilegon sengaja meliburkan diri (mangkir kerja), dengan didukung tambahan kekuatan tokoh-tokoh LSM serta Ormas dan OKP Cilegon melakukan apel akbar dan aksi unjuk rasa ke Kejagung menolak adanya tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada walikota mereka oleh sejumlah LSM dikota tersebut. Dan menggugat proses penyidikan yang dilakukan Kejati Banten karena dianggap sangat mengganggu iklim kerja mereka. Pada aksi unjukrasa tersebut terjadi insiden bentrokan fisik antara pihak keamanan dengan para demonstran yang umumnya para pegawai negeri tersebut. Insiden lainnya tertembaknya seorang petinju tanpa disengaja oleh petugas keamanan pada peristiwa naas tersebut.

Kericuhan dimasa akhir kekuasaan Aat Syafaat dan Rusli Ridwan tersebut telah menandai bahwa kondisi Cilegon tidak lagi kondusif dan demokratis, apalagi hal ini diperburuk dengan memanasnya situasi dikota tersebut dengan dipukulnya Rahmat wartawan radio Hot Fm hingga mengalami cedera dan dirawat dirumah sakit, ketika sedang meliput berita dikantor walikota Cilegon.Protes keraspun kemudian semakin bermunculan baik dari lokal Banten maupun nasional dilakukan oleh para wartawan dan aktivis untuk kasus pemukulan serta korupsi tersebut. Kasus itu akhirnya diusut oleh Polda Banten dan dilakukan penangkapan terhadap pelaku pemukulan tersebut, setelah sebelumnya sempat melarikan diri ke Lampung.

Pilkadal Cilegon yang digelar pada tanggal 05 Juni 2005 diiikuti pemilih suara 230.575. orang penduduk layak memilih dan dengan proporsi pemenang yaitu sebanyak 115.288 suara (50%+1) atau sekurang-kurangnya mendapat 57.644 suara (25%+1), diduga telah mengalami kegagalan dalam proses pilkadal tersebut. Masalah tersebut berkembang esok harinya pada tanggal 06 Juni 2005 Ketua KPUD Cilegon H.Suherman dan dua orang rekannya digrebek massa dan diduga sedang melakukan transaksi politik untuk merubah hasil suara di Hotel Permata Cilegon dan Restoran Sari Kuring. Peristiwa memalukan tersebut juga diliput secara nasional oleh kru televisi swasta, meskipun telah dibantah oleh yang bersangkutan tidak ada kecurangan suara.

Pengumuman Pilkadal Cilegon pada hari Jumat tanggal 10 Juni 2005 telah menetapkan pemenang yaitu pasangan Aat-Rusli dengan suara terbanyak 87.212 suara diposisi pertama, pasangan Ade Miftah-Nikmatullah 71.797 suara dan pasangan H. Entol Sadeli Ali – H. Tarbin Usman 11.419 suara. (Sbr. Radar dan Fajar Banten 11/06/2005). Pengumuman tersebut mengundang protes keras ARPP melalui juru bicaranya Isbatullah dan Aliansi Mahasiswa Peduli Pilkada Cilegon (AMPCC) yang terdiri dari BEM Se-Cilegon, FAM dan KAMMI Banten pada aksi unjuk rasa tanggal 10 Juni 2005 di halaman KPUD Cilegon melayangkan protes dan menuntut KPUD Cilegon dibubarkan karena dinilai melanggar aturan dan sarat kecurangan dalam proses Pilkadal tersebut.

Aminullah kuasa hukum pasangan Ade Miftah – Ni’matullah, Toto-Tarbin dan FPPI (Forum Peduli Pilkada Independen) Cilegon melalui Ketua Umumnya Ade Rachmat menolak hasil Pilkadal dan melaporkan adanya dugaan pelanggaran proses Pilkadal Cilegon tersebut. Diantaranya puluhan ribu lebih masyarakat yang tidak mendapat kartu suara tidak seperti masa pilpres,pemalsuan KTP dan pemilih dibawah umur, keterlibatan PNS sebagai pendukung kampanye Aat- Rusli, dugaan rekayasa perubahan suara (indikasi pertemuan KPUD Cilegon dengan tim sukses Aat – Rusli di Hotel Permata) dan penyegelan sebanyak duakali untuk tiga kecamatan Purwakarta, Citangkil,dan Cilegon oleh petugas KPPS, politik uang setiap desa Rp.3 juta lebih dan satu ekor kambing.

Gugatan hukum yang dilakukan Kejati Banten terhadap Rusli Ridwan di PT. Banten sebagai tersangka kasus korupsi sangat berbeda dengan perlakuan yang diberikan kepada Dharmono K.Lawi, Muslim Jamaluddin, Muchrodi Muchsin mantan anggota DPRD Banten periode 2001-2004 tersangka kasus korupsi dana perumahan 10,5 m dan 3,5 m tunjangan fasilitas kegiatan yang kini dalam proses persidangan dan penahanan sebelumnya. Joko Munandar dan Rusli Ridwan mengalami penundaan dan bahkan Rusli Ridwan berhak mengikuti pencalonan pilkada Cilegon disebabkan yang bersangkutan dianggap tidak akan melarikan diri dan tidak akan menghilangkan barang bukti.

Pada posisi sebagai saksi atas kasus korupsi Rusli Ridwan tersebut Aat Syafaat mantan Walikota Cilegon hingga saat ini mendominasi percaturan politik dikotanya, bahkan sangat cenderung populis dan dikenal dengan pola kepemimpinan feodal-tradisional-kapitalis telah dianggap mempraktekan kekuasaan seperti Soeharto kecil. Dugaan konspirasi dengan institusi lainnya, serta tokoh masyarakat dan sentralisasi kekuasaan secara tradisional berpengaruh sangat besar menopang dukungan publik terhadapnya, baik sebagai mitra partner kerjasama maupun posisi sebagai orang-orang kepercayaannya.

Praktek korupsi di Cilegon ini sebelumnya pernah juga digugat dalam aksi unjuk rasa pada tanggal 2 Juni 2005 di Kejati dan PT. Banten. mengatasnamakan Aliansi Rakyat Anti Korupsi (ARAK-Banten) yang terdiri dari IMM, KAMMI Banten, Kumandang, Kumala, Hamas, BCW, Forse Banten.

Pada tanggal 20 Juni 2005 Aliansi Rakyat Peduli Pilkada (ARPP) dan Aliansi Mahasiswa Peduli Pilkada Cilegon (AMPPC) yang terdiri dari BEM Se-Cilegon, FAM dan KAMMI Banten kembali melakukan unjuk rasa ke Pengadilan Tinggi Banten (PT. Banten) serta dari KAMMI Banten yang kemudian turut ikut bergabung. Organ radikal yang menuntut pembubaran KPUD Cilegon ini sebelumnya diikuti ribuan massa rakyat dan mahasiswa sejak tanggal 9 dan 16 Juni 2005. Organ radikal ini oleh sebagian besar pengamat politik dianggap mewakili gabungan kepentingan politik salah satu calon yang kalah dan kepentingan moral rakyat Cilegon.

Perlawanan dan tentangan dari kubu Aat-Rusli juga sempat mencuat menjadi opini publik terutama dari organ mahasiswa seperti IMC (Ikatan Mahasiswa Cilegon), HMI Cilegon Rachmat Fikri, KNPI Banten Tubagus Iman Aryadi yang mulai berpihak pada kepentingan politik kekuasaan menyusul keberpihakan LSM Gempar, Cidar, Guntur dan Paguyuban Kepala Desa Se-Cilegon. Pernyataan yang keluar waktu itu dimedia massa lokal Radar Banten dan Fajar Banten yaitu protes mestinya diajukan 3 (tiga) hari sebelum DPT (Daftar Pemilih Tetap) dikeluarkan oleh KPUD Cilegon dan menentang aksi unjuk rasa tersebut sebagai upaya untuk melakukan kerusuhan serta memancing aksi massa tandingan. Pernyataan lainnya mengenai keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis dan tidak lagi independen yang dilontarkan, seharusnya dipahami sebagai bagian dari dinamika mahasiswa dan tidak lebih hanya kepentingan taktis, bahkan secara eksplisit (terbuka) sepertinya organisasi-organisasi diatas juga telah memberi contoh tauladan yang baik’selama ini.

Mengenai DPT (Daftar Pemilih Tetap) secara teknis harusnya sudah ada regulasi khusus yang diselenggarakan atas inisiatif KPUD Cilegon sepertihalnya di KPUD Serang, karena aturan tersebut tidak ada di PP.06/2005. Kebijakan –kebijakan regulasi yang menyangkut masalah teknis mengenai data pemilih mestinya sudah diantisipasi sebelumnya oleh KPUD Cilegon.

Hasil Pilkadal Cilegon berdasarkan surat nomor 131/234/DPRD/2005 pada tanggal 14 Juni 2005 telah diajukan oleh pimpinan anggota DPRD Cilegon untuk meminta pengesahan dari Gubernur Banten (Rdr Banten.23/06/2005) telah mendapat tentangan dari pasangan Ade Miftah-Ni’matullah dan Toto-Tarbin. Pengajuan kasus tersebut kini dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi Banten (atas nama Mahkamah Agung) dan putusan terakhir mengenai hasil pilkadal tersebut merupakan puncak dari rentetan peristiwa Geger Cilegon diabad millenium ini. Pilkadal Cilegon bernuansa sarat kepentingan kekuasaan dan konflik horisontal tersebut diharapkan dapat sesegera mungkin teratasi secara adil, karena hasilnya merupakan representasi dari keinginan rakyat Cilegon.

Tingginya angka golput didaerah Cilegon juga merupakan salah satu indikator suara gelap (sumbang) ketidakpercayan dan apatisme publik sebesar 25 ,93%, sedangkan pemilih yang menggunakan hak suaranya hanya 74,07% (sbr. Radar Banten dari Depdagri) dari jumlah pemilih sah 230.575 orang. Sedangkan Harian Kompas pada tanggal 23 Juni 2005 menyebutkan 54.661 orang golput atau sebesar 23,7% tidak menggunakan hak pilihnya dari total pemilih sah.Tingginya angka golput ini merupakan cermin kegagalan pilkadal di Cilegon, juga faktor lainnya mereka tidak dapat memilih pada saat itu.

Anatomi Konflik dan Resolusi Konflik Cilegon

Sebagai kesimpulan akhir mengenai kericuhan kasus Pilkadal dikota Cilegon tersebut dan juga merupakan tali temali dari potensi konflik sebelumnya yaitu mengenai dibukanya kasus korupsi dijajaran birokrasi Cilegon, disintegrasi antar organisasi dan kepartaian serta ketidakberdayaan hukum. Lebih jelasnya anatomi konflik tersebut yaitu sebagai berikut :

1. Faktor Pendukung (facilitating factor)
Terjadinya konflik horisontal pada pilkadal Cilegon terdapat 3 (tiga) kubu yang terdiri dari pendukung rejim sebelumnya, kelompok yang menghendaki pembaharuan (reformasi) politik dan perubahan sosial dikota Cilegon, dan kelompok yang merasa dirugikan hasil Pilkadal 2005.

2. Akar Masalah (core of problems)
Dibukanya kasus-kasus korupsi di Pemkot Cilegon periode 2000-2004 dan tersangkutnya mantan pejabat wakil walikota Cilegon dan dugaan kecurangan perolehan suara pada Pilkadal Cilegon 2005.

3. Faktor Pencetus Konflik (fuse factor)
Krisis ketidakpercayaan publik mengenai proses penegakan hukum mengenai tindak pidana korupsi dan hasil pilkadal dikota Cilegon. Dominasi kekuasaan lokal yang terlalu besar diikat secara tradisional kedaerahan dan emosional kelompok kepentingan politik. Indikasi tersebut diperparah pada saat pertemuan tertutup dan pemindahan kotak suara ke Hotel Permata Cilegon, penyegelan sebanyak duakali untuk tiga kecamatan Purwakarta, Citangkil,dan Cilegon oleh petugas KPPS, politik uang setiap desa Rp.3 juta lebih dan satu ekor kambing.

4. Faktor Kekesalan (grudgess factor)
Korupnya aparat birokrasi Pemkot Cilegon juga tingginya konspirasi politik yang melibatkan banyak pihak serta dugaan politik uang dan penegakan hukum yang lumpuh diwilayah tersebut pada periode sebelumnya (2000-2004). Potensi faktor kekesalan akan bertambah jika hasil pilkadal ini tidak menjamin tegaknya hukum dan keadilan dimasa datang serta bertambah deret angka indikasi korupsi susulan.

Resolusi konflik yang terbaik untuk kondisi Cilegon tersebut mengingat situasi yang mulai memanas tersebut yaitu :

1. Penanganan hukum secara tegas (coercive) oleh lembaga peradilan, jika terus berlanjut dengan jaminan transparansi (keterbukaan) dan akuntabilitas (pertanggungjawaban) dari KPUD Cilegon sendiri.

2. Pilkadal ulang dapat terselenggara, jika hasil pemeriksaan tersebut membuktikan adanya kecurangan dan pelanggaran dalam proses pemilihan kepala daerah tersebut.

3. Krisis kepercayaan publik mengenai kasus korupsi sebelumnya harus ditangani berdasarkan prinsip keadilan dan tegaknya hukum diwilayah Propinsi Banten juga mempertimbangkan aspek realitas sosio-kultural dan psikologi sosial masyarakat Cilegon.

4. Mendamaikan warga masyarakat Cilegon ditingkat bawah (grassroot) dengan melibatkan mediasi pihak kepolisian,aparat desa/kecamatan, tokoh masyarakat dan ulama yang masih netral untuk menenangkan dan mengeliminir konflik horisontal dan bentrok fisik antar pendukung sebagai dampak akibat pertikaian elit politik di Cilegon.


Kontrak Politik Kepala Daerah di Indonesia

Substansi dari kontrak politik merupakan keabsahan kekuasaan dan akumulasi dari janji politik penguasa yang diterjemahkan oleh rakyat sebagai bagian dari kampanye juga berdasarkan tuntutan aspirasi masyarakat ketika menjabat sebagai kepala daerah. Apabila berdasarkan pelaksanaan kampanye menurut PP No. 06 / 2005 pasal 55 dan pasal 56 bab 6 (enam) mengenai pelaksanaan kampanye dan bentuk kampanye terutama ayat ke 6 (enam) pasal 55 yang berbunyi, “ Apabila pasangan calon terpilih menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, visi, misi, dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menjadi dokumen resmi daerah” sangatlah jelas, maka perlu diatur dalam bentuk komunikasi selanjutnya berdasarkan kontrak politik yang memungkinkan terjadinya komunikasi politik antara rakyat dan seorang kepala daerah.Bukan hanya pada saat pilkadal saja pada pasal 56 dimana bentuk kampanye terlihat sangat demokratis-komunikatif.

Menarik contoh sosok dan kinerja seorang bupati teladan dari Kebumen diperiode lalu sangat bagus untuk dicermati dan ditiru oleh para bupati / walikota lainnya dimana tiap hari melakukan komunikasi (dialog interaktif) dengan warganya. Hasilnya cukup bagus untuk kemajuan daerahnya, karena dengan demikian permasalahan warga dapat diketahui dan diidentifikasi serta dapat dipecahkan bersama dengan rakyat dan langsung merekomendasikan kepada instansi-instansi terkait.

Dengan demikian bagi kepala daerah lainnya terpilih di Kabupaten Serang dan Indonesia umumnya untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan daerah yang bersih dan amanah di Indonesia, untuk menyetujui isi perjanjian dengan rakyat (pakta sosial/ kontrak sosial) yang berdimensi hukum dan politik (mengikat) berdasarkan UU No. 32 / 2004, PP No. 06/2005 yang hingga saat ini masih mengundang perdebatan dan perbaikan serta peraturan hukum lainnya juga dimensi sosial melibatkan partisipasi rakyat ini yaitu sebagai berikut dibawah ini :

1. Menjalankan sistem komunikasi dialogis dan partisipasi warga kota diseluruh Propinsi Banten dengan menggelar dialog dengan rakyat melalui komunikasi massa siaran radio dan dewan kota.

Melalui siaran radio temu warga masyarakat dengan kepala daerah secara reguler berkala (setiap hari/bulan/ 3 bulan) dan merupakan suatu upaya untuk menjembatani kesenjangan komunikasi juga yang terpenting evaluasi mengenai pembangunan dan politik dengan dialog partisipatoris (setara dan kebersamaan melibatkan rakyat).

Sedangkan Dewan Kota merupakan musyawarah warga kota (dengar pendapat/public hearing) yang digelar berdasarkan permintaan sebagian besar kelompok masyarakat tertentu atau masyarakat umum dengan mengundang seluruh warga kota mengenai masalah sosial dan kemasyarakatan yang berkaitan sebagai dampak pembangunan terjadi. Sistem Dewan Kota yang digunakan dengan representasi dari berbagai sumber (akademisi, LSM, tokoh masyarakat,pers dsb) melalui diskusi panel atau dengan dengar pendapat tentang masalah pembangunan dikabupaten/kotanya sendiri ketika terjadi masalah yang bersifat khusus kasuistis.

2. Konsistensi dan konsekwensi dengan visi dan misi serta program yang menguntungkan dan berpihak pada rakyat jelata (dokumen resmi daerah PP.06/ 2005 psl.55 ayat 6 ) ketika masa pilkada, dan harus bersedia diadili jika tidak konsisten dengan visi dan misi program tersebut, karena mengingkari janji terhadap rakyat pada saat putaran kampanye (retorika politik).

3. Bersedia diperiksa (audit dan verifikasi) data kekayaan pribadi sejak menjabat hingga pada saat terakhir berkuasa menjabat sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, berdasarkan persyaratan pendaftaran pencalonan sesuai pasal 38 ayat 1 (huruf i) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

4. Bersedia diberhentikan jika melanggar sumpah jabatan dan terkena kasus pidana ,juga tidak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan pasal 123,124,125,126,127,128 (krisis kepercayaan publik dan hak angket salah satunya), 129,130,131,132,133.

5. Bersedia melakukan transparansi/ keterbukaan dan akuntabilitas/pertanggung jawaban publik pemerintahan daerah selama menjabat sebagai kepala daerah.

6. Bersedia menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

7. Kebijakan public yang berpihak pada rakyat seperti alokasi dana pendidikan sebesar 20% sesuai dengan amanat UUD 45 revisi keempat pasal 31 tentang Pendidikan.

Serang. 29 Juni 2005
Penulis adalah dosen Untirta pengamat dan praktisi social,
Kord.Umum BCW (Banten Corruption Watch)


DATA PUSTAKA
I. BUKU BACAAN
1. Perihal KONTRAK SOSIAL atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik.2005. Penerbit Dian Rakyat
2. Putra, Fadillah. 2005. Kebijakan Tidak Untuk Publik. Resist Book Yogya
3. PP 06 / 2005 Tentang Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan,Pengesahan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
4. Uchyana, Onong. 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Jakarta
5. UU 32/ 2004 Tentang Pemilihan Langsung Kepala Daerah
6. Anatomi Konflik, 2002. Jurnal Dinamika Masyarakat Indonesia Vol. l No. 1 Juli 2002, LIPI-Jakarta dan Konrad Adenaur Stiftung,Jerman


II. SUMBER MEDIA

A. Radar Banten 15 Januari 2005
Radar Banten.11 Juni 2005
Radar Banten 23 Juni 2005
B. Fajar Banten 11 Juni 2005
C. Harian Kompas 23 Juni 2005



--------- Edisi 2005---------
















Catatan Khusus 2007

1. KPUD Cilegon diduga korupsi oleh BPK RI Ta. 2005 berdasarkan Hasil Pemeriksaan atas Ketaatan Pada Peraturan Perundang-undangan.
A. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Cilegon
a. Pengajuan SPP-PK oleh KPUD Kota Cilegon Sebesar Rp1.455.956.550,00 Dilakukan Tidak Sesuai Ketentuan.
b. Pembayaran Uang Lembur Sekretariat KPUD dan PPK Melebihi Ketentuan Sebesar Rp9.980.000,00.
c. Pengeluaran Belanja Operasional Sebesar Rp103.680.000,00 Kurang Dapat Dipertanggungjawabkan.
d. Pengeluaran Bantuan Operasional Penunjang Kegiatan Pokja KPUD Sebesar Rp.95.000.000,00 Kurang Dapat Dipertanggungjawabkan
e. Duplikasi Penganggaran dan Pembayaran Upah Pokja Senilai Rp28.500.000,00
f. PPh Pasal 21, 22, 23, dan PPN Sebesar Rp41.911.541,00 Terlambat Disetor
g. Laporan Pertanggungjawaban yang Dibuat oleh KPUD Kota
Cilegon Belum Sepenuhnya Mengacu Surat Edaran Mendagri No.279/536/BAKD

B. Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada Kota Cilegon
Pengajuan SPP-PK oleh Panwas Kota Cilegon Sebesar Rp.448.156.500,00 Tidak Sesuai Ketentuan

2. Kasus Pilkada Cilegon hampir mirip dengan Pilkadal Banten dalam hal masalah yang terjadi contohnya, DPT kartu suara sah tidak diperoleh dan politik uang serta tidak transparansinya hasil pilkada sebelumnya.
3. Aat Syafaat dan Rusli Ridwan dimenangkan oleh pengadilan dan tidak ada gugatan peninjauan kembali oleh penggugat.
4. Rusli Ridwan lolos dari jeratan hukum kasus Kubangsari.
5. Kasus korupsi besar lainnya di Cilegon tenggelam hampir 1 tahun lebih.
6. Gerakan social yang dipelopori kelompok oposisi juga telah hilang di kota Cilegon. Terakhir gugatan PP.37 tentang tunjangan rapelan oleh HMI masih bergema sangat keras di Cilegon.
7. Metamorfosa LSM Gempar pada bulan ini melontarkan kritik tajam pada legislative DPRD Cilegon mengenai Studi Banding ke kota-kota penting di Pulau Jawa senilai Rp. 2 Milyar lebih. BCW , FKM Untirta, FAM Untirta, Gema Baraya, KPPI Banten pernah melakukan juga di masa lalu, ketika DPRD Banten akan studi banding ke China.
8. Pemkot Cilegon sekarang mencoba lebih aspiratif dan tidak terdengar lagi kasus korupsi baru.

Serang. 24 Januari 2007

No comments:

Post a Comment