Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Friday, July 10, 2009

Kepala Itwil Provinsi Banten Akui Keterbatasan, Integritas BPK Diragukan

Kepala Itwil Provinsi Banten Akui Keterbatasan, Integritas BPK Diragukan
Koran Banten 1 July 2009

BANTEN Kepala Inspektorat Pemerintah Provinsi Banten, Tjetje Sjamas, mengakui bahwa kinerja lembaga pengawasan yang ia pimpin memiliki banyak keterbatasan, seperti halnya jumlah petugas pemeriksa serta minimnya alokasi anggaran. Sementara kegiatan yang ada pada seluruh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di Provinsi Banten jumlahnya mencapai lebih dari 800 proyek.

“Mestinya ada penambahan personil pemeriksa dari 28 menjadi 50 orang serta penyesuaian anggaran sesuai dengan Permendagri, yakni sebanyak 1 persen dari total pendapatan daerah,” katanya kepada wartawan, Rabu sore (1/7) di ruang kerjanya.

Menurut Tjetje, akibat keterbatasan tersebut pelaksanaan pengawasan tidak memungkinkan untuk dilakukan secara menyeluruh tetapi dengan metode sampling pada kegiatan tertentu yang dianggap skala prioritas. “Saya rasa semua lembaga pemeriksa melakukan hal yang sama, begitu juga dengan kami. Tidak semua kegiatan atau proyek harus diperiksa, kami hanya mengambil sampelnya saja,” tambah Tjeje.

Namun demikian, terkait temuan BPK terhadap pelaksanaan APBD Banten tahun anggaran 2008 yang mengindikasikan kerugian daerah senilai Rp 2,9 miliar lebih yang terdapat dalam 15 proyek, menurut Tjetje, telah ditindaklanjuti hingga mencapai 90 persen. “Semua temuan yang terindikasi merugikan keuangan daerah hampir seluruhnya sudah ditindaklanjuti oleh SKPD yang tersangkut,” katanya.

Menurutnya, kalau dipersentase tindaklanjut sudah mencapai 90 persen. SKPD yang melakukan pelaksanaan 15 proyek yang telah menindaklanjuti temuan BPK adalah Dinas Kesehatan dari total kerugian daerah Rp 200 juta baru dikembalikan sebesar Rp 110 juta (pengembalian kelebihan pembayaran atas pembangunan gedung Balai Kesehatan Tenaga Kerja).

Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Permukiman dari total kerugian negara Rp 1,6 miliar baru dikembalikan Rp 70 juta (pengembalian kelebihan atas proyek jasa konsultasi pekerjaan teknis manajemen KP3B), Dinas Bina Marga dan Tata Ruang (DBMTR) dari total kerugian negara Rp 391 juta baru dikembalikan Rp 108 juta (pengembalian kelebihan volume pekerjaan pembangunan jalan Parigi-Sukamana), serta Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) dari total kerugian negara Rp 1,3 miliar sudah dikembalikan seluruhnya.

“Untuk data tindak lanjut oleh sejumlah SKPD itu rasanya sudah saya konfirmasikan dengan BPK,” jelasnya.

Sementara tentang temuan BPK tahun 2003-2007 yang juga terindikasi kerugian negara, Tjetje mengatakan, tahapan penyelesaian tindak lanjut terus dilakukan SKPD. “Kalau diprosentase belum bisa menyebutkan sebab terkadang data kita dengan data BPK tidak sama,” katanya.

Sebelumnya, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Banten meragukan kredibilitas lembaga pemeriksa keuangan seperti Itwil Provinsi Banten maupun Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia terkait dengan hasil pemeriksaan terhadap pelaksaan APBD Banten. Menurut mereka sejumlah kasus hukum yang terjadi serta kecilnya jumlah temuan mereka membuktikan jika lembaga pemeriksa kurang memiliki komitmen dalam upaya perbaikan kinerja aparatur di daerah.

Seperti dalam temuan atau LHP BPK-RI pada pelaksanaan APBD Banten tahun anggaran 2008, lembaga pemeriksa itu hanya menyebutkan indikasi kerugian daerah sebesar Rp 2,9 miliar. Mereka menilai jika temuan BPK itu aneh dan kurang sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.

“Terus terang kami ragu atas kredibilitas mereka, masa temuan mereka begitu kecil. Padahal hasil investigasi kami di lapangan serta banyaknya keluhan di masyarakat membuktikan banyaknya kasus yang terjadi dalam proses pembangunan di Banten,” ujar Ade Gogo, Koordinator LSM SIBAK Banten. Salah satunya, kata Ade, adalah proyek pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) pada Dinas Kesehatan Provinsi Banten tahun anggaran 2007 lalu.

Menurut Ade, proyek pembangunan Poskesdes yang nilai keseluruhannya mencapai puluhan miliar rupiah itu sangatlah janggal mengingat adanya proyek serupa yang bersumber dari APBD Kabupaten Lebak yang kondisinya nyaris serupa namun nilainya jauh berbeda. Per unit nilai proyek pembangunan Poskesdes APBD Lebak sekitar Rp 150 juta sementara yang dibangun oleh Provinsi Banten sekitar Rp 290 juta,” kata Ade seraya mengatakan bahwa beberapa Poskesdes produk Diskes Pemprov Banten tersebut sejak dibangun hingga saat ini ada yang belum dioperasikan.

Temuan BPK ini menurut Ade terkesan kurang ‘menggigit’ dan hanya kulit luarnya saja. Padahal jika mereka berani melaporkan fakta yang sebenarnya dan membeberkan temuannya secara maksimal, maka dipastikan akan memberikan nilai positif yang sangat besar bagi perkembangan mental aparat birokrasi, pelaku usaha dan kemajuan pembangunan di Banten. (IKA)

No comments:

Post a Comment