Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Thursday, November 8, 2007

Alkes

Modus Operandi Pengadaan Alkes Di Dinkes Banten Indikasikan Korupsi Dan Kolusi Rp5,13 Miliar
Oleh : Gabriel Jauhar / Erwin SP

Serang – Muhammad Fitriyadi, Sekretaris II Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GNPK) Banten meminta penegak hukum, dalam hal ini kejaksaan dan kepolisian untuk mengusut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap proyek pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) Dinas Kesehatan (Dinkes) Banten, senilai Rp5,13 miliar. Sebab temuan BPK sudah memastikan terdapat tindak pidana korupsi dan kolusi yang berdasarkan modus operandi pengadaan Alkes itu.

Pengadaan Alkes itu salah satunya berupa Highspeed CT/e dual untuk RSUD Tangerang, dinyatakan fiktif oleh BPK. Namun, BPK dalam sarannya tidak menyoroti masalah fiktif atau tidaknya proyek pengadaan itu, tapi lebih diarahkan kepada modus operandi pengadaan alkes tersebut berindikasikan tindak pidana korupsi dan kolusi.

“Masalahnya bukan fiktif atau tidak fiktif. Karena kalau proyek pengadaan fiktif dapat dirubah menjadi terlambat. Kalau sudah diubah menjadi terlambat, BPK juga tahu, itu menjadi kasus perdata. Yang berhak mengurus kasus perdata, ya pemprov sendiri. Ini sudah dipikirkan BPK,” kata Fitri, Minggu (30/7).

Fitri menunjukan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK halaman 56 paragraph terakhir. Tertulis dalam paragraph itu “Berdasarkan modus operandi dari penyimpangan yang terjadi yang diduga adanya unsur korupsi dan kolusi, maka atas masalah ini seyogyanya ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum”.

“Modus operandi atau pola proyek itu yang mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi dan kolus, bukan alkesnya ada atau tidak ada. BPK mengerti akan kewenangannya. Ketika masuk pada tataran hukum, BPK tidak dapat menindaklanjuti, itu urusan aparat menengak hukum. Makanya, BPK menyarankan pada aparat hukum untuk menindaklanjuti tindak pidana korupsi dan kolusi dengan dasar modus operandinya, bukan alkesnya,” tegas Fitri.

Fitriyadi memaparkan, pada tanggal 30 Mei 2005 PT BWU mendapatkan Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) No 03.a/ Peng/ PA/ APBD/KES/V/2005 untuk mengadakan alkes di Dinkes Banten dengan nilai Rp15,5 miliar. Alkes ini akan didistribusikan ke dinas terkait di Kabupaten Serang, Lebak, Pandeglang dan Tangerang. Dan ke RSUD di Serang, Pandeglang, Adjidarmo (Lebak) dan Tangerang. Pengadaan ini sesuai dengan SPK mempunyai batas waktu hingga 10 Desember 2005.

Pada tanggal 16 November 2005, Dinkes Banten lewat Tim Panitia Pemeriksa Barang / Jasa, menerbitkan Berita Acara Pemeriksaan Barang (BAP) No 71/ Peng/ PPMBJ/ APBD/KES/XI/2005. Isinya mengatakan pengadaan alkes telah mencapai 75 persen, di antaranya pengadaan alkes untuk RSUD Tangerang sudah 100 persen diselesaikan.
Dalam lampiran BAP disebutkan alkes yang sudah diterima untuk RSUD Tangerang senilai Rp6,13 miliar yang terdiri dari Highspeed CT/e dual senilai Rp5,13 miliar, Full Autohematolyzer senilai Rp397,45 juta, Mesin Anesthesi 1 Vaporizer senilai Rp179,98 juta, Elektro Stimulasi senilai Rp103,89 juta dan Monitor Anesthesi Rp319,96 juta.
BPK mengadakan pemeriksaan di Dinkes Banten pada tanggal 27 Desember 2005, atau 17 hari setelah lewat batas waktu pengadaan Alkes. Ternyata, alkes berupa Highspeed CT/e dual tidak ada dan seluruh alat belum dapat dioperasikan oleh RSUD Tangerang. Alasanya, belum diujioperasikan PT BWU.

“Tim Pemeriksa Barang / Jasa Dinkes Banten telah melakukan kebohongan dengan menerbitkan BAP itu. Kesalahan pertama, mengatakan highspeed CT/e itu ada, tapi ternyata tidak ada. Tidak mungkin tim itu lalai, karena highspeed itu ukurannya besar dan beratnya 280 kg. Masak tidak terlihat,” papar Fitri.

Dengan terbitnya BAP itu, artinya seluruh alkes diterima dalam kondisi baik. Ternyata alkes itu belum diujioperasikan oleh PT BWU. Sehingga tidak diketahui, apakah alkes itu dalam kondisi baik atau rusak. Ini merupakan kesalahan yang kedua.

“Dari 2 kesalahan itu, ada pemaksaan pencairan dana alkes sebesar Rp6,13 miliar dengan melanggar ketentuan Keppres 80 tahun 2003. Dan jelas-jelas melakukan tindak pidana korupsi dengan membayar highspeed CT/e dual senilai Rp5,13 miliar yang ternyata barangnya tidak ada. Tim pemeriksa barang / jasa Dinkes Banten sudah memalsukan laporan BAP,” tegas Fitri.
Sementara I Gede Sudiatmadja, Asintel Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten masih bersikukuh bahwa pengadaan alkes di RSUD Tangerang tidak ada masalah. “Pengadaan highspeed CT/e dual itu tidak fiktif, hanya keterlambatan saja. Karena alat ini dibeli dari Amerika dan harus menggunakan kapal laut yang memakan waktu lama. Sekarang, dari keterangan Dinkes Banten, alkes itu sudah dioperasikan,” kata Gede tanpa menjelaskan modus operandi korupsi dan kolusi yang diindikasikan BPK.

Hal senada diungkapan Bambang Irawan, Kasubdin Farmaminalkes dan Ririn, Pinlak Pengadaan Alkes Dinkes Banten. “Temuan di LHP BPK, sebetulnya sudah diklarifikasikan oleh Kadinkes dan Plt Gubernur Banten ke BPK Pusat, kira-kira dua bulan yang lalu. Hasilnya, tidak ada yang fiktif. Hanya terjadi suatu keterlambatan saja, sehingga yang timbul adalah denda keterlambatan pengadaan barang,” kata Bambang Irawan.

Bahkan Ririn menunjukan 2 buah dokumen berkaitan dengan pengadaan Highspeed CT/e dual yang mengarahkan pada keterlambatan pengadaan alkes tersebut. Dokumen pertama berupa surat dari PT Tripatra Andalan Medika ke PT BWU bernomor 012/TAM/XI/05 tertanggal 30 Nopember 2005 atau 10 hari sebelum batas waktu kontrak.

Isi surat itu menyebutkan, Highspeed CT/e dual yang direncanakan sampai ke Dinkes Banten tanggal 5 Desember 2005, tidak dapat dipenuhi. Alasannya, ada badai Hurricane di Amerika. Sehingga, Highspeed CT/e dual baru sampai pada tanggal 27 Desember 2006. Uniknya, masih dalam surat ini, pengiriman Highspeed CT/e dirubah lagi menjadi tanggal 9 Januari 2005. Alasannya terjadi permasalahan di Bea Cukai. Kedua dokumen ini tidak disebutkan dalam LHP BPK.

Sedangkan dokumen yang kedua, malah mementahkan dokumen yang pertama. Dokumen itu berupa pemesanan Highspeeed CT/e dual dari GE Pacific PTE Ltd yang berlokasi di 298 Tiong Bahru Road, Singapore.

Dalam dokumen itu disebutkan pemesanan barang didasarkan pada Purchasing Order (PO) No 2606336.1 untuk CT Highscan dengan berat 280 Kg dan berukuran 53 x 46 x 45. Dan tanggal yang tertera adalah 21 Desember 2005. Sedangkan batas waktu akhir pengadaan sesuai dokumen kontrak pada tanggal 10 Desember 2005.

Baik Bambang maupun Ririn, merasa temuan itu tidak menjadi beban baginya. Alasannya, mereka tidak melakukan tindak pidana korupsi dan tidak terlibat dalam masalah pembayaran Alkes itu.

“Saya gak ada beban, karena saya tidak makan. Saya tidak ngurusin penagihan. Kalau mau tanya barang tidak ada kok dibayar? Sebaiknya tanyakan sama yang ngurusin proses pencairan. Proses pencairan itu, melibatkan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) alias Kepala Dinkes, Pimpronya dan penerima, pengendalian dan pemegang kas. Orang-orang itu yang tahu kenapa sudah dibayar,” tegas Bambang Irawan. (nr) Sumber : Banten Link

No comments:

Post a Comment