Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Thursday, November 8, 2007

PSKK UGM

Soal Jajak Pendapat Kompas Dan PSKK UGM
Asintel Kejati Banten: Penilaian Itu Bersifat Subyektif

Serang – I Gede Sudiatmadja, Asintel Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten mengatakan, jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas dan PSKK UGM dengan hasil 78 persen menilai kejaksaan berkinerja buruk, dinilainya sebagai pendapat yang bersifat subyektif. Kejati Banten tidak akan terpengaruh oleh hasil jajak pendapat tersebut.
Oleh : Lulu Jamaludin / Gabriel Jauhar

“Jajak pendapat itu hak mereka. Tapi hasilnya kami nilai bersifat subyektif. Yang penting bagi kami bagaimana bekerja lebik baik dari kemarin,” kata I Gede, Kamis (14/9) didampingi Damly Rowelcis dan Royani, Jaksa Intel Kejati Banten.
Apalagi dugaan kasus-kasus korupsi banyak yang terhenti (mandek) di bagian Intelejen Kejati Banten. Menurutnya penilaian itu keliru, karena Kejati Banten sudah berusaha menegakan hukum semaksimal mungkin.
“Kalau kasus-kasus korupsi mandeg di Intel, itu keliru. Soalnya di Intelijin itu hanya tahapan penyelidikan. Bila sudah ditingkatkan menjadi penyidikan, maka sudah menjadi urusan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus). Di tahap penyidikan ini, dapat dilakukan upaya paksa seperti penahanan atau penyitaan,” ujar I Gede.
Dari semua kasus dugaan korupsi yang masuk ke bagian intelijen, menurutnya, 30 – 40 persen sudah ditingkat menjadi penyidikan, artinya sudah ada di bagian Aspidsus untuk diteruskan pemeriksaannya hingga maju ke pengadilan.
“Saat ini sudah 8 kasus dugaan yang ditingkatkan menjadi penyidikan dan sekarang merupakan kewenangan Aspidsus. Kedelapan kasus itu adalah kasus KPUD Provinsi Banten, KPUD Kota Tangerang, pengadaan pupuk bersubsidi, dana umroh Kabupaten Tangerang, Perda Non Perda DPRD Banten, JLS Kabupaten Tangerang, PDAM Tangerang dan gaji guru fiktif di Serang. Untuk detailnya keadaan kasus-kasus itu, silahkan tanya ke Aspidsus,” papar I Gede. Bahkan I Gede menantang GNPK Banten, Lira Banten dan BCW untuk menunjukan kasus dugaan korupsi yang mandeg di bagian intelejen.

Sebelumnya diberitakan, tiga lembaga anti korupsi di Banten (GNPK, Lira dan BCW) meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengganti jaksa-jaksa yang ada di Kejati Banten. Soalnya, banyak kasus-kasus dugaan korupsi yang mandeg di tengah jalan. Akibatnya tingkat kepercayaan masyarakat menurun drastis, seperti dibuktikan oleh jajak pendapat Kompas dan PSKK UGM. Bahkan BCW menduga mandegnya kasus tersebut disebabkan bagian intelejen berkinerja buruk.

“Banyak kasus-kasus dugaan korupsi yang penyelesaiannya tidak jelas, mulai dari kasus dugaan Karangsari, Manggis, pengadaan susu, lahan parkir Banten Lama, Alun-Alun Serang, JLS Tangerang, dan kasus-kasus lain, mandeg di Kejati Banten. Bahkan mandegnya beberapa kasus, baru tahap penyelidikan di bagian intelejen Kejati Banten,” kata Fitriyadi, Sekretaris II Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GNPK) Banten, Rabu (13/9).

Ini belum termasuk kegiatan-kegiatan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Banten tahun 2005 yang diindikasikan telah terjadi penyimpangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ada 19 temuan penyimpangan yang diungkapkan BPK sebesar Rp90,4 miliar, tapi penyelidikannya terkesan tidak serius.

“Sebagian contoh, pengadaan alat kesehatan (alkes) berupa highscan ct dual di Dinas Kesehatan (Dinkes) Banten untuk RSUD Tangerang senilai Rp5,13 miliar. Sudah jelas di temuan BPK dikatakan, dokumen kegiatan menyatakan alat itu sudah diperiksa dan ada di RSUD Tangerang. Tapi ketika BPK memeriksa, ternyata alat tersebut tidak ada. Ini membuktikan telah terjadi pemalsuan dokumen, bukan masalah fiktif atau tidak fiktifnya kegiatan itu. Pemalsuan dokumen sudah termasuk tindak pidana,” ujar Fitri.

Hal senada diungkapkan Ahmad Yani, Sekretaris Lembaga Lumbung Informasi Rakyat (Lira) Banten mengatakan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum, terutama kejaksaan sangat rendah. Dari tahun ke tahun, hasil jajak pendapat Kompas yang dimulai dari tahun 2001 hingga sekarang, jumlah responden yang menilai kinerja jaksa buruk semakin meningkat. Dari nilai 63 persen responden, sekarang jumlah itu meningkat menjadi 78 persen.

“Hasil jajak pendapat ini menggambarkan juga kualitas jaksa di Kejati Banten, tidak akan jauh dari jajak pendapat itu. Ini dibuktikan oleh jajak pendapat PSKK UGM yang menyebutkan 60,67 persen masyarakat Banten percaya pada lembaga kejaksaan di Banten. Ya, jelas salah satunya Kejati Banten,” kata Yani, Rabu (13/9).

Bahkan jajak pendapat itu diperluas hingga masalah moral jaksa, dugaan keterlibatan jaksa dalam KKN dan tidak independennya jaksa dari kepentingan politik. Jajak pendapat menyebutkan 71 persen responden menilai moralitas jaksa buruk dan 85 persen responden menduga jaksa terlibat KKN.

“Jadi wajar saja, GNPK Banten menduga kasus-kasus korupsi itu mandegnya di Kejati Banten. Buktinya, moral jaksa dinilai 71 persen buruk dan kinerja 71 persen buruk. Kalau moral dan kinerja sudah kacau, dugaan jaksa bermain dalam kasus-kasus korupsi jelas sangat kuat. Buktinya, nilai dugaan korupsi di kejaksaan mencapai angka 85 persen,” papar Yani.
Bahkan Adityawarman, Kepala Divisi Data dan Investigasi Banten Corruption Watch (BCW) menegaskan agar Kejagung mengganti semua jaksa yang ada di Kejati Banten. Soalnya, mereka diduga meng-uang-kan kasus-kasus korupsi, agar pelaku dapat bebas.
“Kami menduga Kejati Banten sering menguangkan kasus-kasus korupsi. Indikasinya, kalau kasus korupsi itu menimpa pejabat yang kaya, maka kasus korupsinya gak kelar-kelar dengan berbagai alasan. Apalagi kalau kasus korupsi itu menimpa kelompok dominan, pasti bisa berujung gak jelas,” kata Adit.

Satu-satu kasus korupsi yang menyeret pejabat hingga ke penjara, hanya kasus dugaan korupsi Dana Perumahan (DP). Djoko Munandar, Gubernur Banten, (alm) Muslim Jamaludin, Wakil Ketua DPRD Banten, Mufrodi Muchsin, Wakil Ketua, Dharmono K Lawi, Ketua, Tuti, Anggota DPRD, dan (alm) Tardian, Sekwan DPRD, telah divonis hukum penjara.

Kasus ini menurut BCW sangat kental nuansa politisnya, pertama, dari seluruh pemeriksaaan baik saksi maupun terdakwa, ada pejabat puncak yang tidak pernah diminta keterangan sama sekali. Padahal, keberadaannya dalam kasus itu sangat jelas. Kedua, sudah menjadi rahasia umum ada perselisihan antara Gubernur Banten dan Wakil Gubernur Banten.

“Apalagi, pengisi Gubernur Banten saat ini mencalon jadi Gubernur Banten yang akan datang. Jadi kalau disimpulkan, Kejati Banten tidak berani menyentuh kasus-kasus dugaan korupsi yang mengarah ke kelompok dominan. Sementara kasus-kasus yang dapat menguntungkan kelompok dominan, Kejati akan uber hingga ke kontrakan. Makanya kami sekarang menduga Kejati menegakan hukum berdasarkan pesanan alias Law by order,” ujar Adit. (gb) Sumber : Banten Link

No comments:

Post a Comment