Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Thursday, November 8, 2007

Distribusi Susu Terlambat

Membangun Moralitas PBJ Di Banten
(Kasus Keterlambatan Distribusi Susu Dan Biskuit)
Oleh: Sudarman LC dan Manar MAS

KASUS ‘molornya’ distribusi susu dan biskuit dalam Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi 3.303 Balita Gizi Buruk yang tersebar di Kabupaten/Kota di Provinsi Banten oleh Dinas Kesehatan Provinsi Banten sebagaimana telah ‘dibeberkan’ kepada publik oleh Lembaga Analisis Kebijakan Publik (LANSKEP) Banten, diniscayakan hanyalah salah satu contoh rendahnya akuntabilitas birokrasi publik pemerintah Provinsi Banten, terutama kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ). Perlu kerja lebih ’ekstra’ untuk mengungkap contoh-contoh lain yang menjadi realitas rendahnya akuntabilitas birokrasi publik Pemprov Banten dalam PBJ yang terjadi selama ini.
Di kalangan aparatur Pemprov Banten kegiatan PBJ merupakan ’idola’ bila ingin mendapatkan peningkatan kesejahteraan secara cepat. Karenanya, setiap penyusunan RAPBD, hampir setiap SKPD berlomba memperbanyak kegiatan PBJ. Akibatnya, dapat ditebak, pada setiap APBD di provinsi ini, sulit menemukan alokasi Belanja Aparatur yang rasional. Bahkan, dalam pengalaman lima tahun berjalan ini telah memberikan kesimpulan kentalnya kepentingan sempit (vested interest) dalam penyusunan APBD daripada pelayanan publiknya (public servant).
Rendahnya akuntabilitas birokrasi publik di tubuh Pemprov Banten merupakan persoalan serius. Birokrat secara umum berorientasi kekuasaan dan bukan kepada kepentingan publi. Di lapangan, sebagian besar birokrat menempatkan dirinya dalam posisi sebagai penguasa (authorities) dan rasanya masih terbatas birokrat menyadari perannya sebagai penyedia layanan masyarakat. Ini mengindikasikan lemahnya akuntabilitas birokrasi publik di pemerintahan provinsi Banten, situasi yang memprihatinkan.
Celakanya, dalam perspektif administrasi publik, rendahnya akuntabilitas birokrasi merupakan penyebab timbulnya praktek korupsi atau penyalah-gunaan wewenang di tubuh Pemprov Banten. Inilah yang menjadi akar dari semua masalah (the root of all evils) rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik di tubuh Pemprov Banten. Karenanya rakyat kini sulit menghargai apa yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, birokrat, atau unsur-unsur lain yang terdapat dalam birokrasi publik.

KASUS PMT SUSU DAN BISKUIT
Sepanjang tahun 2005, berbagai peristiwa yang memprihatinkan dalam bidang kesehatan mewarnai Banten. Tercatat berbagai wabah penyakit berjangkit dan memakan korban yang tidak sedikit. Tercatat pula, Provinsi Banten sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang terjangkiti virus H5N1 dan telah pula menimbulkan korban jiwa serta banyaknya balita yang dinyatakan bergizi buruk.
Dari berbagai persoalan kesehatan tersebut, yang memprihatinkan adalah tercatatnya Provinsi Banten sebagai peraih peringkat kelima dalam urusan kasus balita gizi buruk, peringkat yang menunjukkan berlangsungnya situasi serius dan gawat. Karenanya, tidak ada jalan kecuali pihak pemerintah mengeluarkan kebijakan penanganan. Lebih dari itu, kasus tingginya angka balita yang mengalami gizi buruk sesungguhnya layak disebut sebagai Kejadian Luar Biasa atau dikenal dengan singkatan KLB.
Gizi Buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Kasus Balita Gizi Buruk di Provinsi Banten yang mendapatkan pemberitaan yang luas berkaitan kasus tingginya angka balita gizi buruk, baik oleh media massa lokal maupun nasional, cetak dan elektronik. Terutama Kabupaten Tangerang tercatat 1.290 balita gizi buruk, di antaranya 48 balita meninggal dalam periode 2004-2005.
Karenanya, Pemprov Banten mengalokasikan anggaran Rp 3,06 miliar, untuk kegiatan Perbaikan Gizi Masyarakat melalui Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa susu dan biskuit untuk balita gizi buruk dalam Anggaran Biaya Tambahan (ABT) APBD Provinsi Banten Tahun Anggaran 2005. Kebijakan ini sesungguhnya telah memenuhi prinsip keberpihakan kebijakan anggaran kepada publik dalam rangka menghapus kesulitan hidup dan penderitaan masyarakat.
Alokasi anggaran sebesar Rp 3,06 miliar dalam DASK dimaksudkan memberikan pertolongan kepada 3.303 balita mengalami gizi buruk yang tersebar di kabupaten/kota. Dinas Kesehatan Provinsi Banten menetapkan kebijakan pemberian makanan tambahan berupa susu dan biskuit masing-masing satu kotak setiap harinya selama 60 hari. Dengan alokasi anggaran sebesar itu, berarti pemerintah daerah melalui ABT Anggaran 2005 mengalokasikan pengadaan susu dan biskuit masing-masing 198.180 kotak.
Melalui suatu proses tender, Dinas Kesehatan Provinsi Banten menunjuk PT Rizky Fitria yang berkedudukan di Serang sebagai perusahaan yang menyediakan susu dan biskuit, kemudian mengeluarkan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) kepada PT Rizky Fitria mulai tanggal 14 November 2005 dengan waktu pelaksanaan selama 31 hari kalender. Sesuai Kontrak, selambat-lambatnya tanggal 15 Desember 2005, pekerjaan pengadaan susu dan biskuit untuk 3.303 balita gizi buruk sudah harus diserahterimakan oleh PT Rizky Fitria di tempat yang telah ditentukan yaitu Dinas Kesehatan Provinsi Banten Jl. KH. Fatah Hasan No. 28 Serang, Banten.
Namun distribusi yang semestinya diselesaikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Banten sebelum berakhirnya Tahun Anggaran 2005, justru hingga akhir Mei 2006 ternyata belum juga selesai didistribusikan seluruhnya. Berdasarkan temuan lanskepbanten, susu untuk balita gizi buruk sampai berakhirnya Tahun Anggaran 2005 baru didistribusikan sebanyak 49.200 kotak untuk Kabupaten Lebak. Sehingga masih terdapat 148,980 kotak yang belum didistribusikan ke Kabupaten/kota di Provinsi Banten. Sedangkan, biskuit baru didistribusikan sebanyak 182.380 kotak ke Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, minus Kota Tangerang, sehingga karenanya masih terdapat 25,800 kotak milik Kota Tangerang yang belum didistribusikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Banten.

FAKTA PENYIMPANGAN
Mungkin saja, apabila kasus ’molornya’ distribusi Susu dan Biskuit Untuk 3303 Balita Gizi Buruk di Provinsi Banten tidak muncul di pemberitaan berbagai mass media di Banten, kasus ini akan berlalu begitu saja. Bahkan mungkin, sisanya ’tidak perlu’ didistribusikan atau diselewengkan! Tapi, syukurlah, semuanya sudah terungkap di publik, dan pihak Dinas Kesehatan Provinsi Banten juga telah menunjukkan i’tikad baiknya untuk menyelesaikan pendistribusian sisa Susu dan Biskuit yang belum didistribusikan. Konon, pengiriman terakhir (untuk Kota Cilegon) akan diselesaikan pada tanggal 15 Maret 2006.
Terlepas dari adanya i’tikad baik pihak Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk menyelesaikan pendistribusian sisa susu dan biskuit yang belum didistribusikan, ada yang aneh dari cara pihak Dinas Kesehatan Banten dalam bersikap. Dinas Kesehatan Banten memberikan alasan bahwa keterlambatan tersebut semata-mata karena adanya keterlambatan dari pabrik di Tulungagung, Jawa Timur.
Cara Dinas Kesehatan Banten dalam memberikan alasan tersebut terkesan sedang ’pasang badan’ untuk PT Rizky Fitria. Bukankah soal sampainya barang berupa susu dan biskuit ke Dinas Kesehatan Banten adalah tanggung jawab PT Rizky Fitria, dan bukan tanggung jawab Dinas Kesehatan Provinsi Banten? Bukankah tanggung jawab Dinas Kesehatan Provinsi Banten hanyalah mendistribusikan barang berupa susu dan biskuit ke Kabupaten/Kota di Provinsi Banten? Bila demikian, ada apa sebenarnya? Dan siapa yang patut disalahkan?
Beberapa fakta penyimpangan telah terjadi dalam kasus ini, yaitu:
1. Keterlambatan penyerahan pekerjaan berupa pengadaan susu sebanyak 198.180 boks dan biskuit sebanyak 198.180 boks oleh PT. Rizky Fitria untuk diserah-terimakan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten adalah merupakan pelanggaran terhadap Kontrak, yaitu Ayat (3) Pasal 2 yang mewajibkan PT. Rizky Fitria menyelesaikan pekerjaannya paling lambat tanggal 15 Desember 2005.

2. Keterlambatan pendistribusian susu dan biskuit ke Kabupaten dan Kota oleh Dinas Kesehatan Banten mengabaikan Instruksi Gubernur Banten Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penyelesaian Pelaksanaan Kegiatan APBD Provinsi Banten Tahun 2005 yang menginstruksikan kepada para Pengguna Anggaran agar mengkonsentrasikan pada kegiatan dan penyelesaian tepat waktu sesuai dengan schedule Program Tahun Anggaran 2005 yang akan berakhir pada bulan Desember 2005.

3. Kebijakan Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk membiarkan keterlambatan penyerahan pekerjaan oleh PT. Rizky Fitria dan tidak memberikan sanksi atau menolak seluruhnya atau sebagian dengan seluruh kerugian akibat penolakan tersebut ditanggung oleh pihak PT. Rizky Fitria telah memberikan kesan adanya kolusi yang karenanya telah melanggar Pakta Integritas dalam Kontrak yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan barang dan jasa/jasa.

4. Karenanya, dengan fakta-fakta di atas maka baik PT. Rizky Fitria maupun Dinas Kesehatan Provinsi Banten telah melanggar Keppres No. 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

PENINGKATAN AKUNTABILITAS
Sekali lagi, kasus keterlambatan distribusi susu dan biskuit (baca: penyimpangan) dari APBD Provinsi Banten tahun 2005 untuk 3303 Balita Gizi Buruk yang tersebar di Kabupaten/Kota di Provinsi Banten hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus penyimpangan dalam kegiatan-kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Provinsi Banten selama ini yang terjadi sebagai akibat dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik di tubuh pemerintahan provinsi Banten. Dan dari sinilah kebocoran anggaran publik terjadi secara deras. Semakin rendah akuntabilitas birokrasi publik, maka semakin tinggilah tingkat kebocoran anggaran publik!
Modusnya bervariasi, dari korupsi terhadap volume barang dan jasa, korupsi terhadap anggaran barang dan jasa, kolusi dengan cara memenangkan perusahaan yang memiliki pressure (politik, kekerasan maupun uang), maupun nepotisme dengan cara memenangkan perusahaan yang ada kaitan jaringan dengan birokrat pengguna anggaran. Namun, apapun modusnya, hakikatnya tetap sama, yaitu pengkhianatan terhadap publik!
Maka, selain langkah-langkah kuratif terhadap pelaku-pelaku korupsi di tubuh pemerintahan Banten, langkah-langkah strategis dalam rangka peningkatan akuntabilitas birokrasi publik di tubuh pemerintahan selalu bersifat mendesak. Dan dari sini lah kita semua merentas jalan untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Akuntabilitas birokrasi publik diukur oleh sejauh mana pemerintah sebagai organisasi publik mampu mengakomodasikan kepentingan publik (public interest) dan sejauh mana pemerintah mampu melaksanakan urusan publik (public affairs). Akuntabilitas birokrasi publik, dengan demikian, adalah kesediaan untuk menjawab pertanyaan publik, dan bagi publik akuntabilitas adalah hak publik.
Untuk tegaknya akuntabilitas birokrasi publik di provinsi Banten, diperlukan sejumlah syarat yang harus dimiliki para birokrat, di antaranya adalah moralitas, perangkat peraturan, responsivitas, keterbukaan, penggunaan sumberdaya secara optimal dan perbaikan efisiensi dan efektivitas. Akan tetapi, dari syarat-syarat tersebut, terpenting adalah moralitas. Betapapun, landasan perilaku yang berpedoman pada moral adalah landasan yang paling kokoh untuk bertindak. Ada kalimat bijak mengatakan, ”Kemampuan dan kecakapan dapat diperoleh dengan segera, tetapi tidak demikian halnya dengan moralitas dan nurani.”
Dengan landasan moral itu pulalah penyelesaian terhadap suatu penyimpangan sebelum terjadinya keputusan pidana oleh pengadilan adalah penjelasan kepada publik terhadap suatu penyimpangan, lalu permohonan maaf kepada publik dan pengunduran diri dari jabatannya agar birokrat lain menggantikannya! Sulit itu semua dilakukan bila moralitas birokrat berada pada titik yang paling rendah. Bagaimanapun, tinggi-rendahnya moralitas birokrat berbanding sama dengan besar-kecilnya peluang akuntabilitas seorang birokrat.
Dengan modal syarat-syarat di ats, maka beberapa langkah selanjutnya diperlukan sejumlah langkah konkrit, di antaranya:
Pertama, sistem pengawasan yang dikembangkan melampaui fungsi-fungsi auditing, akan tetapi hingga pengawasan material di lapangan, pengecekan secara fisik serta pembuktian-pembuktian lainnya. Di sini, peran lembaga-lembaga pengawas independent Banten Corruption Watch, Lembaga Analisis Kebijakan Publik Banten memiliki peran yang signifikan dengan pengawas formal. Tidak perlu ragu untuk membeberkan adanya penyelewengan dan korupsi.
Kedua, mengembalikan hubungan yang wajar antara kekuasaan (power) dan kejujuran (integrity) dan kompetensi birokrat di pemerintah provinsi Banten. Karena itu, yang diperlukan bagi penempatan pejabat adalah mekanisme fit and proper test yang lebih lengkap yang melibatkan pertimbangan track record, reputasi dan integritas calon pejabat dari berbagai sumber yang obyektif.
Ketiga, perlu suatu penyadaran umum bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan selalu merugikan publik keseluruhan. Yang jauh lebih penting, semua upaya itu harus dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat. Media massa harus terus meliput berbagai macam tindak korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, para mahasiswa harus lantang berteriak setiap kali muncul penyelewengan, dan para aktivis LSM harus punya komitmen untuk ikut mengungkap berbagai bentuk penyelewengan birokrat.
Berkaitan kasus keterlambatan pendistribusian susu dan biskuit bagi 3.303 balita gizi buruk di Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, maka sudah sepatutnya pihak Dinas Kesehatan Provinsi Banten mempertanggung-jawabkan segalanya kepada publik; pertama, berikan penjelasan kepada publik mengenai penyimpangan tersebut; kedua, sampaikan permohonan maaf yang tulus kepada publik atas penyimpangan tersebut; ketiga, para pihak yang menjadi penyebab terjadinya penyimpangan maka dengan legowo mengundurkan diri.y

* Sudarman, LC. adalah Ketua Fraksi PKS DPRD Provinsi Banten
* Manar MAS adalah Koordinator Lembaga Analisis Kebijakan Publik (lanskep) Banten

No comments:

Post a Comment