Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Tuesday, November 13, 2007

APBD-P 2006

Menyoal Perubahan APBD Banten 2006:
Dari Lembaga Penderma Hingga Tuan Tanah

Oleh: Nadya Syifana


BULAN Juni 2006, Provinsi Banten mencatat kejadian di luar kebiasaan, yaitu perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Banten 2006 yang mendahului laporan keterangan pertanggung jawaban (LKPJ) APBD 2005. LKPJ penggunaan anggaran 2005 itu hingga sekarang belum disampaikan ke DPRD Banten, selaku lembaga legislatif daerah.

Bisa dipastikan, persitiwa ini baru pertamakali terjadi sejak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dibentuk dengan Undang-undang (UU) No.23 tahun 2000. Biasanya, perubahaan anggaran atau disebut anggaran belanja tambahan (ABT) dilakukan setelah pertanggung jawaban penggunaan APBD tahun sebelumnya.

Ketika UU No.22/1999 tentang pemerintah daerah dikenal dengan nama UU Otonomi Daerah (Otda) masih diberlakukan, laporan pertanggung jawaban (LPJ) kepala daerah menduduki posisi penting. Pasalnya, DPRD diberi wewenang untuk menerima atau menolak LPJ itu yang bisa berakibat pada terbitnya rekomendasi memberhentikan masa tugas kepala daerah itu. Dengan demikian, kepala daerah berupaya sekuat tenaga untuk menyusun LPJ agar bisa diterima DPRD.

UU ini direvisi dengan UU No.32/2004 yang menyebutkan kepala daerah hanya menyampaikan LKPJ. DPRD tidak berwenang lagi menolak atau menerima, hanya memberikan penilaian. Sedangkan LPJ kepala daerah itu sendiri akhirnya kembali kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri (Depdagri), yang dimaknai sebagai kembalinya sistem sentralistik dalam pengelolaan pemerintahan di negeri ini.

Meski UU pemerintahan daerah itu direvisi, kelaziman urutan pengajuan anggaran tidak berubah. Sebab dalam LKPJ tercantum sisa lebih perhitungan anggaran (silpa) yang bisa digunakan untuk anggaran berikutnya. LKPJ ini, termasuk Silpa dibuatkan peraturan daerah (Perda), bermakna memiliki keabsahan hukum yang kuat. Sehingga penggunaan Silpa sebelum LKPJ yang menjadi dasar perda memang menimbulkan pertanyaan besar tentang dasar-dasar hukumnya.

Defisit dan Penambahan

Terlepas semua itu, perubahan APBD Banten 2006 mengandung logika yang saling bertentangan, membuat kebingungan dan kecurigaan di kalangan masyarakat. Di satu sisi, disebutkan perubahan anggaran disebabkan tidak tercapainya target pajak, penyesuaian atas kebijakan pemerintah pusat tentang pajak dan terjadinya penggeseran pos-pos anggaran. Namun saat bersamaan, Pemprov Banten mengajukan penambahan anggaran yang sebenarnya dinilai tidak perlu dilakukan.

Dari pemberitaan di media cetak lokal disebutkan besarnya defisit berkisar Rp 70,07 hingga Rp 80 miliar. Sayangnya, media cetak lokal itu tidak membedah lebih jauh soal defisit tersebut. Yang ada, sambutan pengantar nota perubahan itu dimuat secara utuh dalam rubrik sosialisasi dari Pemprov Banten yang sudah menjadi langganan media cetak lokal yang terbit di Kota Serang.

Yang menarik, situs www.bantenlink.com edisi 12/6 menyajikan bahasan soal perubahan APBD 2006 yang sumbernya berasal dari sambutan dan nota pengantar keuangan yang disampaikan eksekutif. Hasil analisis situs ini menyebutkan, angka defisit mencapai Rp 221,1 miliar, meskipun Pemprov Banten sudah melakukan pemangkasan anggaran dan menggunakan Silpa tahun 2005. Sebagai catatan, Silpa tahun 2005 yang menurut management letter Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp347,5 miliar ternyata hanya bisa digunakan Rp 64,5 miliar untuk menutupi defisit anggaran. Sisanya, Rp 283 miliar sudah dipakai untuk pos-pos yang tidak dirinci secara jelas selama tahun 2006.

Penyebab defisit APBD demikian besar adalah penambahan anggaran sebesar Rp … dan hilangnya pajak yang dinihilkan oleh pemerintah pusat Rp 116,4 miliar, selain berkurangnya target pendapatan dari pajak dan bagi hasil bea kendaraan bermotor (Lihat Tabel). Kedua pos ini menyebabkan pembengkakan defisit. Seandainya, penambahan anggaran itu dihilangkan, maka defisit APBD Banten diyakini semakin sedikit.

Masyarakat patut mencermati penambahan anggaran yang diajukan eksekutif, apakah pos-pos itu memiliki kegunaan yang tinggi untuk kepentingan masyarakat secara luas atau hanya menguntungkan sekelompok orang saja? Atau penambahan ini bermuatan politis, menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Banten 2006? Simaklah telaah beberapa pos penambahan anggaran di bawah ini.

Kerancuan pemikiran terjadi pada pengajuan tambahan anggaran untuk biaya putaran ke-2 Pilkada Banten 2006 sebesar Rp 10 miliar. Kerancuan terjadi karena pada pos yang sama anggaran Pilkada dipangkas dari Rp 80 miliar menjadi Rp 70 miliar atau dikurangi Rp 10 miliar. Logika dikurangi di pos sebelumnya, kemudian ditambah untuk putaran ke-2 ini membingungkan dan sulit dipahami oleh sebagian masyarakat.
Penambahan anggaran Biro Kesejahteraan Rakyat (Biro Kesra) Rp 5,7 miliar dengan alasan untuk memenuhi 5.800 proposal dari masyarakat yang masuk ke Pemprov Banten. Dalih ini menggamangkan masyarakat yang telah rela uangnya dipotong pajak dan retribusi untuk dikumpulkan menjadi anggaran pemerintah. Sebab sebelumnya, Biro Kesra memperoleh alokasi anggaran Rp 64,5 miliar, di antaranya Rp 62,5 miliar untuk bantuan organisasi kemasyarakatan dan profesi.

Dengan dalih ini, tersirat dana di Biro Kesra telah habis dibagi-bagikan. Di luar itu, KONI diajukan tambahan Rp 16,2 miliar. Ironisnya, eksekutif juga mengajukan dana tambahan bagi acara pameran pembangunan Rp 1,6 miliar. Acara ini dinilai tidak memiliki signifikan bagi masyarakat Ini mengesankan Pemprov berupaya menjadi lembaga penderma, bukan lembaga yang memutarkan roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan secara efisien.

Bantuan ke Kabupaten Serang Rp 5 miliar di luar bantuan penguatan keuangan daerah Rp 20 miliar per kabupaten/kota menimbulkan pertanyaan. Menurut keterangan sejumlah pejabat di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serang, bantuan itu berkaitan dengan rehab Alun-alun Barat. Menurut tugas pokok dan fungsi, maka rehab alun-alun itu bukan tanggung jawab Pemprov Banten, tetapi Pemkab Serang. Mungkin dalihnya adalah Alun-alun Barat sering digunakan kegiatan pejabat Pemprov Banten. Tapi harus diingat, sebelumnya bantuan serupa juga dialirkan ke Pemkab Lebak dan Pandeglang.

Tuan Tanah

Yang menarik adalah diajukannya tambahan bagi belanja modal berupa pengadaan tanah calon pusat Pemprov Banten sebesar Rp 24,6 miliar. Sebelumnya, pos ini mencantumkan Rp 12,5 miliar untuk pembebasan lahan seluas 2,8 hektare . Hingga Mei 2006, tanah itu baru dibebaskan 1,9 hektare, berarti tersisa 0,9 hektare yang belum dibeli Pemprov Banten. Harga tanah di lokasi itu dibeli Rp 473.000 per m2. Dengan diajukannya kembali biaya pembebasan lahan tersirat dana itu telah habis terpakai.

Menurut pemberitaan di koran-koran lokal, rencana luas tanah Puspemprov Banten adalah 60 hektare. Sejak tahun 2002, dana yang dihabiskan telah mencapai Rp 62,5 miliar dan hanya mampu membebaskan 57,2 hektare. Jika sisa lahan ini mampu dikuasai, berarti biaya pembebasan lahan Puspemprov mencapai Rp 99,5 miliar untuk 60 hektare, atau Rp 1,65 miliar per hektare.

Jika ditelisik ke tahun-tahun anggaran sebelumnya, APBD Banten memang mencantumkan banyak pos belanja modal untuk tanah. Misalnya, Pemprov membelanjakan Rp 25,3 miliar untuk lahan 10 hektare yang kini digunakan sebagai Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Banten. Tanah yang lokasinya tidak jauh dari calon Puspemprov Banten dibeli dengan harga Rp 231.000 per m2.

Pembebasan tanah 10 hektare juga dilakukan untuk Sekolah Menegah Atas (SMA) Unggulan yang kini diberi nama SMA Cahaya Madani Banten Boarding School (CMBBS) di Kampung Kuranten, Kabupaten Pandeglang. Dalam pembebasannya, sempat mencuat persoalan adanya 2 surat penagihan pemberitahuan pajak terutang (SPPPT) yang mencantumkan 2 nilai jual objek pajak (NJOP) yang berbeda, meskipun tahun SPPPT itu sama, yaitu harga Rp 1.700/2 dan Rp 36.000 per m2. Tanah ini dibebaskan dengan harga Rp 36.000 per m2 atau total Rp 3,6 miliar.

Sedangkan pengadaan tanah untuk pos terpadu di Gerem yang berbuntut dengan dihukum penjara A Tsabit, mantan Kepala Biro Perlengkapan Pemprov Banten. Tanah yang berada di bukit ini dibeli dengan harga Rp 700.000 per m2. Mantan Kabiro Perlengkapan itu dihukum 1 tahun penjara karena terbukti melakukan mark up (penggelembungan) harga. Yang menyedihkan, tanah itu kini tidak jelas apakah digunakan posko terpadu atau tidak.

Nasib serupa menimpa Agus Kuspiandi, mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banten yang divonis 1 tahun penjara karena melakukan penggelembungan harga tanah di Karanghantu, 10 kilometer sebelah utara Kota Serang. Namun tanah yang merupakan bagian dari proyek perikanan senilai hampir Rp 3 miliar itu tidak jelas lagi penggunaannya. Ketidakjelasan juga menimpa tanah Karangsari yang dibebaskan dengan biaya berasal dari Pemprov Banten Rp 3,5 miliar. Entah, tanah itu milik Pemkab Pandeglang atau Pemprov Banten.

Sedangkan tanah 5 hektare yang digunakan Balai Benih Ikan Perairan (BBIP) di Sumur, Kabupaten Pandeglang juga belum tuntas kepemilikannya. Proyek senilai Rp 3,7 miliar pada APBD 2005, termasuk di dalamnya pembebasan tanah itu dipersoalkan warga. Pasalnya, tagihan pajak bumi dan bangunan (PBB) masih atas nama warga setempat.
Data pembelian tanah itu merupakan catatan yang pernah mencuat dalam pemberitaan di media cetak lokal maupun nasional. Tentunya, masih banyak data pembelian tanah yang belum terungkap. Entah sudah berapa puiluh hektare tanah yang dikuasai Pemprov Banten, sehingga menimbulkan kesan kuat lembaga ini seperti tuan tanah yang tengah mengumpulkan hartanya. (***)

Penulis adalah praktisi kehumasan
dan pemerhati sosial yang tinggal di Kota Tangerang

Analisis Defisit APBD Banten 2006 dari www.bantenlink.com

(Miliar Rupiah)
Pos Anggaran Target Awal Penyesuaian Selisih
Pajak
Pajak KB 374,532 374,532 0,000
Balik Nama KB 618,399 400,000 - 218,399
Pajak BBM 197,841 300,000 + 102,159
Pajak ABT 20,067 20,067 0,000

Bagi Hasil
Pajak KB 106,741 106,741 0,000
Balik Nama KB 176,243 114,000 - 62,243
Pajak BBM 128,547 199,500 + 70,953
Pajak ABT 13,344 13,344 0,000

Dana Perimbangan
PPh 194,000 98,100 - 95,900
Bagi Hasil PPh 116,400 0,000 - 116,400

PBB dan Tanah
PBB 62,000 68,740 + 6,740
BPHTB 41,000 67,300 + 26,300

Jasa Giro 13,000 14,180 + 1,180

Jumlah Pendapatan 2.062,114 1.776,504 - 285,610

Penambahan Anggaran Yang Diusulkan Plt Gubernur
Penyelenggaraan Pilkada Putaran II 10,000
Penambahan Coklit (P4B) 1,237
Lahan Infrastruktur Sarana Puspemprov 24,498
Gedung Puspemprov 26,640
Pameran Pembangunan 1,600
Penanganan Masalah Hukum 0,500
Bantuan Keuangan KONI 16,283
Bantuan Ke Kabupaten Serang 5,000
Bantuan Ormas & Profesi (Ada 5.800 Proposal) 5,700
Penambahan BAU SKPD, Korpri & CPNSD 13,285
Penambahan Belanja DPRD Banten 8,748
Total Penambahan Anggaran 113,491

Silpa 2005 Untuk Menutupi Defisit 64,580

Efisiensi Anggaran Pemprov 119,362

Defisit Pendapatan + Penambahan Anggaran - Silpa 2005 - Efisiensi Pemprov - 215,159 Miliar


Sumber Data: Sambutan dan Nota Pengantar Perubahan Keuangan Provinsi Banten

No comments:

Post a Comment