Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Thursday, November 8, 2007

Krisis Trust Para Jaksa

Menurunnya Kepercayaan Terhadap Kejati Banten
Masyarakat Minta Jaksa Di Kejati Diganti

Serang – Lembaga-lembaga anti korupsi di Banten mempertanyakan kredibilitas dan independensi Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, soalnya banyak kasus-kasus dugaan korupsi yang tidak sampai ke meja pengadilan. Ditenggarai jaksa-jaksa di Kejati Banten menerapkan sistem law by order (penegakan hukum berdasarkan pesanan). Sehingga, mereka meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengganti jaksa-jaksa yang bertugas di Banten sekarang ini, terutama Asintel Kejati Banten.
Oleh : Gabriel Jauhar

“Banyak kasus-kasus dugaan korupsi yang penyelesaiannya tidak jelas, mulai dari kasus dugaan Karangsari, Manggis, pengadaan susu, lahan parkir Banten Lama, Alun-Alun Serang, JLS Tangerang, dan kasus-kasus lain, mandeg di Kejati Banten. Bahkan mandegnya beberapa kasus, baru tahap penyelidikan di bagian intelejen Kejati Banten,” kata Fitriyadi, Sekretaris II Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GNPK) Banten, Rabu (13/9).

Ini belum termasuk kegiatan-kegiatan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Banten tahun 2005 yang diindikasikan telah terjadi penyimpangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ada 19 temuan penyimpangan yang diungkapkan BPK sebesar Rp90,4 miliar, tapi penyelidikannya terkesan tidak serius.

“Sebagian contoh, pengadaan alat kesehatan (alkes) berupa highscan ct dual di Dinas Kesehatan (Dinkes) Banten untuk RSUD Tangerang senilai Rp5,13 miliar. Sudah jelas di temuan BPK dikatakan, dokumen kegiatan menyatakan alat itu sudah diperiksa dan ada di RSUD Tangerang. Tapi ketika BPK memeriksa, ternyata alat tersebut tidak ada. Ini membuktikan telah terjadi pemalsuan dokumen, bukan masalah fiktif atau tidak fiktifnya kegiatan itu. Pemalsuan dokumen sudah termasuk tindak pidana,” ujar Fitri.

Herannya, I Gede Sudiatmadja, Asintel Kejati Banten mengatakan tidak ada tindak pidana korupsi dalam kegiatan pengadaan alkes itu, yang terjadi adalah keterlambatan pengadaan highscan ct dual. Namun I Gede tidak pernah mau berkomentar soal pemalsuan dokumen penerimaan barang. Hal yang sama terjadi pada kasus dugaan korupsi pengadaan obat Dinkes Banten, pembangunan jalan DPU Banten, dan pengadaan susu.

Begitu pula pada temuan-temuan lainnya, Kejati Banten selalu menggiring opini ke arah keterlambatan penyelesaian kegiatan atau proyek dan kerugian negara. Sehingga, kasus dugaan korupsi itu dapat dihilangkan dengan membayar denda keterlambatan atau mengembalikan kerugian negara.

Padahal, tindak pidana korupsi itu bukan hanya masalah kerugian negara atau pengembalian uang negara. Pemalsuan dokumen itu dapat dikatagorikan tindakan yang merugikan negara atau tindak pidana korupsi. “Sebenarnya tergantung Kejati Banten, mau atau tidak memberantas korupsi di Banten. Kayaknya sih tidak, lihat saja hasil jajak pendapat Kompas dan PSKK UGM, kinerja kejaksaan sangat buruk sekali hingga mencapai angka keburukan 78 persen,” ungkap Fitriyadi.

Hal senada diungkapkan Ahmad Yani, Sekretaris Lembaga Lumbung Informasi Rakyat (Lira) Banten mengatakan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum, terutama kejaksaan sangat rendah. Dari tahun ke tahun, hasil jajak pendapat Kompas yang dimulai dari tahun 2001 hingga sekarang, jumlah responden yang menilai kinerja jaksa buruk semakin meningkat. Dari nilai 63 persen responden, sekarang jumlah itu meningkat menjadi 78 persen.

“Hasil jajak pendapat ini menggambarkan juga kualitas jaksa di Kejati Banten, tidak akan jauh dari jajak pendapat itu. Ini dibuktikan oleh jajak pendapat PSKK UGM yang menyebutkan 60,67 persen masyarakat Banten percaya pada lembaga kejaksaan di Banten. Ya, jelas salah satunya Kejati Banten,” kata Yani, Rabu (13/9).

Bahkan jajak pendapat itu diperluas hingga masalah moral jaksa, dugaan keterlibatan jaksa dalam KKN dan tidak independennya jaksa dari kepentingan politik. Jajak pendapat menyebutkan 71 persen responden menilai moralitas jaksa buruk dan 85 persen responden menduga jaksa terlibat KKN.

“Jadi wajar saja, GNPK Banten menduga kasus-kasus korupsi itu mandegnya di Kejati Banten. Buktinya, moral jaksa dinilai 71 persen buruk dan kinerja 71 persen buruk. Kalau moral dan kinerja sudah kacau, dugaan jaksa bermain dalam kasus-kasus korupsi jelas sangat kuat. Buktinya, nilai dugaan korupsi di kejaksaan mencapai angka 85 persen,” papar Yani.
Padahal, jajak pendapat itu juga mengatakan 80 persen responden menyalahkan birokrasi yang korup menyebabkan gagalnya usaha di Provinsi Banten.”Bila kita kaitkan moral jaksa, kinerja jaksa dan birokrasi yang korup, maka wajar tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Kejati Banten dibawah 30 persen saja. Jadi menurut kami, sudah sewajarnya kalau jaksa-jaksa di Kejati Banten itu ditingkatkan kwalitasnya. Bila perlu meminta Kejagung untuk mengganti semua jaksa di Kejati Banten,” katanya.

Bahkan Adityawarman, Kepala Divisi Data dan Investigasi Banten Corruption Watch (BCW) menegaskan agar Kejagung mengganti semua jaksa yang ada di Kejati Banten. Soalnya, mereka diduga meng-uang-kan kasus-kasus korupsi, agar pelaku dapat bebas.
“Kami menduga Kejati Banten sering menguangkan kasus-kasus korupsi. Indikasinya, kalau kasus korupsi itu menimpa pejabat yang kaya, maka kasus korupsinya gak kelar-kelar dengan berbagai alasan. Apalagi kalau kasus korupsi itu menimpa kelompok dominan, pasti bisa berujung gak jelas,” kata Adit.

Satu-satu kasus korupsi yang menyeret pejabat hingga ke penjara, hanya kasus dugaan korupsi Dana Perumahan (DP). Djoko Munandar, Gubernur Banten, (alm) Muslim Jamaludin, Wakil Ketua DPRD Banten, Mufrodi Muchsin, Wakil Ketua, Dharmono K Lawi, Ketua, Tuti, Anggota DPRD, dan (alm) Tardian, Sekwan DPRD, telah divonis hukum penjara.
“Tapi masyarakat tahu, masalah ini lebih kental nuansa politiknya dibandingkan nuansa pemberantasan korupsi. Kami menduga ada aktor intelektual yang menggerakan Kejati dan Pengadilan untuk memvonis mereka. Karena ada dua hal yang menurut kami sangat ganjil,” ungkap Adit.

Pertama, dari seluruh pemeriksaaan baik saksi maupun terdakwa, ada pejabat puncak yang tidak pernah diminta keterangan sama sekali. Padahal, keberadaannya dalam kasus itu sangat jelas. Kedua, sudah menjadi rahasia umum ada perselisihan antara Gubernur Banten dan Wakil Gubernur Banten.

“Apalagi, pengisi Gubernur Banten saat ini mencalon jadi Gubernur Banten yang akan datang. Jadi kalau disimpulkan, Kejati Banten tidak berani menyentuh kasus-kasus dugaan korupsi yang mengarah ke kelompok dominan. Sementara kasus-kasus yang dapat menguntungkan kelompok dominan, Kejati akan uber hingga ke kontrakan. Makanya kami sekarang menduga Kejati menegakan hukum berdasarkan pesanan alias Law by order,” ujar Adit. (gb) Sumber : Banten Link

1 comment:

  1. Gunung es itu mulai menyembul, saat ini upaya menenggelamkan puncak Gn Es sdg di upayakan mati-matian oleh Hendarman yg didukung SBY. Jaksa Sriono yg menangani BLBI Antoni Salim menerima hampir 10M msh aman-aman saja, ini mengindikasikan Hendarman terlibat dlm penyuapan tsb. dan seandainya KPK nggak mengungkap suap saya yakin tidak ada upaya kejagung mengungkap kejanggalan lolosnya BLBI, kita tunggu aja siapa yg akan menagkap Sriono selaku jaksa BLBI antoni Salim

    ReplyDelete