Sekilas BCW

Banten Corruption Watch adalah gerakan anti korupsi di Propinsi Banten, didirikan tanggal 05 Oktober 2000, diresmikan 10 November 2000 (akta notaris:Subandiyah). Secara organisasi BCW telah dibubarkan untuk sementara waktu sejak tahun 2007 hingga terbentuk pengurus baru yang belum tersusun.Sebagai gantinya sejak tahun 2007 kegiatan sementara waktu adalah mendokumentasikan kliping dari berbagai sumber media dan membuat artikel menyoal kejahatan korupsi di Banten.

Tuesday, November 13, 2007

Politisasi Kasus Korupsi Daerah

Politisasi Kasus Korupsi Daerah
Rabu, 18-Oktober-2006


Panitia Kerja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah DPR RI mengeluarkan rekomendasi kepada publik yang kontroversial. Rekomendasi itu intinya meminta presiden untuk merehabilitasi dan memulihkan nama baik anggota DPRD dan kepala daerah terutama yang terkait dengan pelanggaran Peraturan Pemerintah No 110 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD.

Rekomendasi ini dibuat karena panja berkesimpulan bahwa pemberantasan korupsi yang melibatkan anggota DPRD dan kepala daerah dilakukan dengan dasar hukum yang tidak tepat, diskriminatif, mengkriminalisasi kebijakan daerah, dan mengarah pada skenario deparpolisasi. Rekomendasi ini menimbulkan reaksi keras dari publik yang menilai tindakan ini mengarah pada intervensi politik terhadap penegakan hukum kasus-kasus korupsi di daerah. Tudingan panja DPR bahwa telah terjadi diskriminasi, kriminalisasi, dan deparpolisasi pun dikecam. Panja DPR justru dituding mempolitisasi kasus-kasus korupsi di daerah dan menggunakan jabatan publik yang disandang untuk membela kepentingan sempit kader-kader partainya yang korup.

Sebenarnya upaya politisi di DPR RI dalam melakukan pembelaan terhadap politisi daerah yang terlibat kasus korupsi bukan pertama kali terjadi. Isu ini juga pernah mencuat dalam rapat tertutup antara Komisi III DPR dengan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan (20 Maret 2006). Saat itu, ketua Komisi III DPR RI meminta ketua MA membuat surat edaran yang meminta hakim di daerah menolak perkara yang masih menggunakan PP 110 tahun 2000.

Permintaan ini dilatari tuntutan anggota DPRD dan kepala daerah dari berbagai daerah di Indonesia seperti Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi) dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi). Para anggota DPRD keberatan karena aparat hukum (kepolisian dan kejaksaan) tetap menggunakan PP 110 tahun 2000 sebagai rujukan, sementara PP tersebut sudah dicabut oleh MA pada tahun 2002.

Korupsi daerah Sejak bergulirnya otonomi daerah dan berpindahnya sebagian kewenangan di bidang anggaran dari pusat ke daerah, praktik korupsi pun ikut terboyong ke daerah. Maraknya korupsi di daerah lebih banyak disebabkan oleh kecerobohan dalam proses alokasi anggaran.

Anggaran kerap disusun tanpa mematuhi aturan yang ada. Pelanggaran PP 110 tahun 2000 misalnya terjadi karena dalam menyusun alokasi untuk anggota DPRD menyangkut gaji dan tunjangan seringkali dimasukan alokasi tambahan yang tidak diatur. Selain itu terdapat bentuk penyiasatan yang lain seperti menitipkan anggaran dewan atau kepala daerah di dinas-dinas untuk meningkatkan total akumulasi jatah anggaran untuk para politisi daerah.

Cara lainnya adalah dengan menggelembungkan alokasi belanja terutama pada proyek-proyek pembelian barang dan proyek konstruksi. Korupsi modus ini kerap melibatkan rekanan pengusaha --yang tak jarang adalah politisi atau kerabat politisi itu sendiri. Praktik-praktik korupsi anggaran seperti itu kemudian oleh polisi dan jaksa dijerat dengan pelanggaran beberapa aturan formal yang dibuat pemerintah pusat. Di antaranya dengan PP 110 tahun 2000, PP 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, PP 109 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah, serta Keppres 18 tahun 2000 dan Keppres 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah.

Selain itu beberapa korupsi di daerah juga dijerat dengan pelanggaran atas azas kepatutan atau dalil materil. Dengan penerapan dalil materil ini praktik tercela yang dipandang melanggar nilai-nilai yang berlaku di masyarakat --seperti dengan sengaja menambah alokasi dengan tujuan mendapatkan keuntungan-- juga dapat ikut menjerat pelaku korupsi. Skala korupsi di daerah memang besar. Menurut data Kementerian Dalam Negeri, selama periode tahun 2004-2006 telah dikeluarkan izin pemeriksaan untuk 67 kepala atau wakil kepala daerah dan sebanyak total 1.062 anggota DPRD baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota.

Kasus yang ditangani Kejaksaan Agung sebanyak 265 perkara korupsi daerah yang melibatkan 967 orang anggota DPRD. Dari total jumlah perkara tersebut, 67 perkara terkait pelanggaran PP 110 tahun 2000 dan 198 perkara lainnya dijerat dengan dasar hukum selain PP 110 tahun 2000 seperti pelanggaran PP 105 tahun 2000 dan keputusan menteri dalam negeri. Politisasi Besarnya volume korupsi di daerah itu menggambarkan besarnya dampak yang dapat ditimbulkan jika rekomendasi panja DPR RI dikabulkan pemerintah atau Mahkamah Agung. Persoalannya, panja DPR hanya menggunakan alasan PP 110 tahun 2000 sebagai pintu masuk untuk menghapusbukukan kasus korupsi yang lain.

Padahal kasus yang terkait PP 110 tahun 2000 jumlahnya hanya 25 persen dari total kasus korupsi daerah yang kini ditangani Kejaksaan Agung. Inipun bukan berarti harus dianulir semua, karena pelanggaran PP 110 tahun 2000 sebelum dicabutnya PP ini pada tanggal 9 September 2002 tetap harus dilanjutkan prosesnya hingga tuntas. Sangat riskan jika hanya karena alasan pencabutan PP 110 tahun 2000 kemudian panja DPR merekomendasikan rehabilitasi terhadap semua politisi daerah yang terkait korupsi.

Bagaimana nantinya nasib 75 persen kasus yang tidak terkait dengan pelanggaran PP 110 tahun 2000? Di sini terlihat bahwa ada upaya politisasi kasus daerah dalam bentuk intervensi terhadap kekuasaan pemerintah dan peradilan. Hal ini sangat berlebihan karena telah melampaui fungsi DPR dalam kaitan dengan perimbangan kekuasaan.

Rekomendasi ini lebih berwujud pembelaan sebuah institusi politik yang berisi kader beberapa partai politik yang ada di tingkat pusat kepada kader-kadernya yang ada di tingkatan lebih di bawah. Upaya membela elite daerah yang selama ini menyokong pundi keuangan partai di tingkat lokal. Hal ini juga sangat buruk bagi pembelajaran politik. Di era semakin meningkatnya rasionalitas politik, partai seharusnya semakin menunjukan komitmennya bagi penegakan hukum kasus korupsi.

Secara eksternal hal ini dapat mendongkrak citra partai di mata publik sementara secara internal dapat mendorong kaderisasi dan tata kelola partai yang lebih baik. Mengorbankan kepentingan publik untuk kepentingan sempit kader partai yang korup justru membuat citra partai semakin terpuruk. Ibrahim Fahmy Badoh, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Tulisan ini disalin dari Republika, 18 Oktober 2006

No comments:

Post a Comment